Pancasila dan Komitmen Etis

Jakarta, Character-Building – Pancasila secara substantif menyangkut nilai-nilai, prinsip-prinsip, kebijakan, dan aturan/hukum. Hal ini dikemukakan oleh Agus Wahyudi, Ph.D,  Kepala Pusat Studi Pancasila UGM dalam seminar yang diselenggarakan oleh Unit Character Building Development Center (CBDC) Universitas Bina Nusantara Jakarta (22/6/23).

Seminar yang mengambil tema “Demokrasi Elektoral berbasis Pancasila versus Identitas” ini di selenggarakan  dalam rangka merayakan Hari Lahir Pancasila yang jatuh pada tanggal 1 Juni setiap tahunya.

Dalam pemaparannya Agus Wahyudi, Ph.D mendeskripsikan ruang sosial di mana penerapan nilai-nilai Pancasila itu terjadi. Ruang-ruang sosial itu terdiri dari organisasi terkecil seperti keluarga atau hubungan dekat, ruang masyarakat sipil, dan ruang negara atau hubungan antara bangsa.

Pada ruang terkecil Pancasila berkaitan dengan etika kepedulian atau cinta, lalu pada ruang masyarakat sipil Pancasila merupakan dasar perekat dari berbagai perbedaan yang ada, dan terkahir pada ruang negara Pancasila merupakan etika keadilan dan dasar negara.

Pada Reformasi, Pancasila telah menginspirasi upaya mengurangi penyalahgunaan kekuasaan (Trias politika dan Idea HAM), pemisahan Masyarakat Sipil dari Negara, kontrol Sipil terhadap Militer, enghormatan dan Perlindungan Minoritas dan Desentralisasi (politik dan ekonomi). Selain itu, Pancasila juga menginspirasi lahirnya demokrasi electoral sebagai mekanisme untuk mewujudkan kedaulatan rakyat.

Namun, berkaitan dengan demokrasi electoral tersebut, tegas Agus, praktek korupsi, money politics, dinasti dan oligarki, ketimpangan: deconsolidasi vs konsolidasi (deepening democracy?) juga hadir sebagai tantangan terhadap demokrasi dan Pancasila. Tantangan lain yang berkaitan dengan demokrasi dan Pancasila adalah globalisasi, populisme, fundamentalisme/radikalisme dan media sosial.

Mengatasi tantangan-tantangan itu, tentu kita perlu standar moral tertentu yang dapat membimbing perilaku dan kebijakan sosial politik.  Pancasila dalam konteks ini dapat menjadi sumber atau standar moral perilaku dan kebijakan sosial politik negara.

Terkait dengan politik identitas dan konflik sosial, Agus Wahyudi, Ph.D menerangkan bahwa politik identitas tentu tidak dapat dihapus dan konflik sosial dari polarisasi politik identitas itu juga tentu selalu akan muncul. Namun, hal yang perlu diperhatikan adalah bukan usaha menghilangkan politik identias dan konflik sosial, melainkan usaha-usaha transformative menciptakan keadilan sosial yakni  komitmen etis dan pemihakan dalam implementasi Pancasila  dengan mendorong tranformasi sosial menuju keadilan sosial, mengatasi struktur yang tidak adil seperti relasi subordinasi dan relasi yang menindas.

Yustinus Suhardi Ruman