Kepemimpinan Agile dan Revitalisasi Birokrasi Publik di Indonesia

Oleh:  Ernestus Holivil (Dosen CB Binus-Bandung)

Sejak kemunculan era informasi, komunikasi, dan teknologi (ICT), dunia dihadapakan dengan fenomena kehidupan serba tidak pasti dan bergejolak (tubulence and uncertainly). Hampir kita tidak bisa membayangkan dan memastikan dunia seperti apa yang akan terjadi di hari esok. Yang pasti, dalam bahasanya Heraclitus, seorang Filsuf asal Yunani Kuno itu, tidak ada yang tidak berubah.  Perubahan itu ada, bergerak begitu cepat dan bahkan tak terduga.

Kondisi yang tidak bisa diprediksi itu yang kemudian Warren Bennis dan Burt Nanus menyebutnya sebagai era Vuca; Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity, yang dalam perkembangan teknologi, istilah ini berubah menjadi BANI World (brittle, Axiety, Non-Linier, Imcomprehensible). Istilah Vuca sendiri pertama kali diterapkan di dunia Militer Amerika Serikat (AS) tahun 1987 untuk menggambarkan kondisi multilateral yang dinamis, fluktuatif, bergejolak, tidak pasti, kompleks, dan tidak jelas pasca perang dingin.

Dalam perkembangannya, konsep VUCA menjadi populer di berbagai perusahan dan organisasi lintas sektor, termasuk organisasi birokrasi publik. Cara kerja birokrasi kita mau tidak mau harus seadaptif mungkin mengikuti perkembangan zaman. Sebab kalau dinilai birokasi publik indonesia selama ini masih bekerja secara kaku, rutin, dan prosedural, bertolak belakang dengan kondisi VUCA saat ini. Padahal Birokrasi di era kemajuan ICT ini harus cepat beradaptasi dengan keadaan. Kalau tidak, Vuca yang seharusnya menjadi peluang bagi birokrasi publik untuk berinovasi dan agile malah berubah menjadi ancaman yang serius bagi birokrasi.

Kepemimpinan Agile

Era Vuca yang berkarakter serba fluktuatif dan tidak bisa diprediksi menuntut sebuah model kepemimpinan baru dalam birokrasi publik. Model kepemimpinan itu sangat menentukan masa depan birokrasi ke depan, setidaknya mampu melayani semua kebutuhan masyarakat dalam upaya mencapai kesejahteraan umum (Bonum Commune). Model kepepiminan baru itu, saya namai dengan kepemimpinan Agile (Agile Leadership).

Agile itu sendiri merupakan terminology yang berasal dari dunia IT (Informatioan Technology) yang secara harafiah bisa diartikan sebagai suatu yang gesit atau tangkas. Selama ini agile ini cendrung dipakai dalam perusahan-perusahan swasta yang kemudian dikaitkan dengan kepemimpinan yang tangguh dan strategis. Joiner dan Joseph (2007) merupakan dua penulis yang mengaitkan antara konsep agile dengan leaderhip, yang kemudian dinamai agile leadership.

Secara sederhana, Joiner dan Joseph mengartikan agile leadership ini sebagai kemampuan membuat keputusan bijaksana dan efektif di tengah lingkungan yang kompleks, dinamis, dan berubah-ubah. Dalam artian ini, pemimpin berkarakter agile harus keluar dari model kepemimpinan tradisonal yang cenderung lambat dan gagap dengan tekonologi informasi.

Kepemimpinan agile juga menunut proses kemampuan adaptasi yang gesit. Sekurang-kurangnya cepat mengambil tindakan, intelektual yang mumpuni, reseptif terhadap perubahan, dan fleksibel dalam menanggapi peristiwa yang tidak terduga. Itulah sebabnya dalam kepempinan agile sangat tidak berurusan dengan prinsip rantai komando, tipe kepemimpinan top-down yang sangat otoritatif.

Dalam berbagai literatur, setidaknya ada empat kompetensi utama seorang pemimpin agile;

Petama, context-setting agility. Kompetensi ini menunut seorang pemimpin agar mampu membaca konteks dan memprediksi perubahan yang akan terjadi, baik jangka pendek maupun jangka Panjang. Setelah memprediksi perubahan, barulah seorang pemimpin tersebut mengambil keputusan yang serba cepat untuk mencapai tujuannya.

Kompetensi kedua, stakeholder agility. Kompetesi ini menutut pemimpin mampu mengidentifikasi stakeholder dalam meningkatkan efektifitas kerja. Artinya, kita mampu menilai mana stakeholder dengan tingkat efektivitas kerjanya tinggi, mana yang stagnan. Efektivitas itu penting dalam menunjang karia-karia yang inovatif dan kredibel.

Kompetensi Ketiga, creative agilibility. Kompetensi ini mengharuskan pemimpin mengidentifikasi peluang. Kira-kira solusi alternatif apa yang mesti dilakukan di tengah persoalan yang sulit dicapai. Proses indentifikasi ini kemudian bisa mempertimbangkan asumsi dan sudut pandang orang lain.

Kompetensi keempat yang juga cukup penting, self-leadership agility. Kompetensi model ini menuntut pemimpin mengembangkan pribadi dan profesionalitas. Tetapi seseorang harus harus bisa mengenal diri. Dalam kasus tertentu, pengalaman menjadi penting dalam upaya memahami konteks masa kini dan masa yang akan datang. Hanya dengan itu seorang pemimpin mampu menjadi pendobrak perubahan di tengah situasi yang serba tidak pasti.

Revitalisasi Birokrasi melalui Agile Leadership

Di tengah perkembangan teknologi saat ini, atau sering kita namai sebagai era revolusi 4.0, kompetensi agile leadership menjadi suatu tuntutan. Revitalisasi Birokrasi melalui kepemimpinan Agile menawarkan banyak solusi alternatif, terutama mengubah pola kerja dan perilaku birokrasi. Setidaknya membantu kita bergerak dan beradaptasi secara cepat ditengah tuntutan situasi yang kompleks dan ambiguitas tinggi. Para birokrat sebisa mungkin lebih inovatif, fleksibel, dan mengambil keputusan cepat di situasi ketidakpastian.

Kalau kita liat dari luar (outward looking), tampaknya birokrasi publik Indonesia makin jauh tertinggal dari negara-negara maju yang hampir semua tata Kelola birokrasinya sudah sangat maju. Kita masih sibuk dengan pola kerja yang tradisional, pola kerja biokrasi Weberian yang masih berpedomaan pada regulasi, prosedur, hirearki, dan kontrol.

Pola birokrasi Weberian itu yang kemudian membuat birokrasi kehilangan ruang untuk berinovasi dan mengembangan kreativitas. Sebab kultur yang terbentuk dalam birokrasi merupakan kultur yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang menghargai keajegan, rutinitas, dan kepastian. Keadaan normative semacam inilah yang membuat birokrasi kita mengalami kemunduran dan kemandekan. Orang kehilangan ruang inovasi oleh sebuah tuntutan birokrasi yang cederung presedural dan otoritatif.

Kita coba bayangkan apa hasilnya kalau model kerja tradisonal ini masih menguat. Padahal sekarang ini kita dihadapatkan dengan fenomena data raksasa (big data) yang memiliki karakter 5Vs, yaitu Velocity (data cepat berubah secara real time), Volume (data yang ada memiliki volume yang besar), Variety (bentuknya beragam), Value (data memiliki nilai yang sangat berharga), dan Veracity (data yang ada memiliki akurasi).

Ketidaktangkasan birokrasi ini berdampak pada lemahnya kualitas kebijakan dan tata Kelola pemerintahan. Belum lagi dengan praktik korupsi berjemaah yang merejalela di instasi pemerintahan kurang bisa memberi keyakinan akan masa depan birokrasi kita yang lebih baik. Diperparah lagi dengan lemahnya koordinasi antara pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, serta perencanaan dan penganggaran yang tidak sinkron.

Dari persoalan-persoalan yang ada, lantas kita bertanya, bagaimana organisasi publik Indonesia bergerak dengan lebih gesit? Saya kira agile leadership itu menjadi sebuah tuntutan di tengah semua persoalan birokrasi saat ini. Birokrasi yang tangkas dan cepat menjadi pendobrak utama untuk menunjang birokrasi berkembang secara signifikan. Hanya pertanyaanya, agile leadership seperti apa yang diperlukan?

Barangkali yang pertama harus memiliki hyperawerness. Artinya sebisa mungkin menciptakan kesadaran tinggi tentang sesuatu yang terjadi di sekitar organisasi sehingga bisa mengetahui akan persoalan. Yang kedua, Informed decision making. Artinya organisasi harus merubah karakternya yang eksklusif menjadi inklusif, dari yang tertutup menjadi terbuka (open access data). Dan ketiga, fast excecution, organisasi yang responsif terhadap keluhan yang disampaikan masyarakat. Masyarakat sekarang mudah mengawasi dan melaporkan kinerja organisasi. Karena itu wajah birokrasi harus dirubah dari yang manusia menjadi digital, termasuk the way of thinking.

Pada akhirnya, pemimpin agile sangat diperlukan di era ketidakpastian ini. Kita memerlukan birokrasi yang gesit dan tangkas dalam menghadapi berbagai perubahan yang akan datang. Setidaknya mampu membaca peluang apa yang bisa kita kerjakan di tengah kemajuan teknologi yang begitu gesit. Karena itulah agile jangan diliat sebagai ancaman, tetapai sebagai roh atau peluang dalam upaya mencapai cara kerja birokrasi publik kita yang tangguh

Ernestus Holivil