Akar Persoalan Politik Identias

Jakarta, Character-Building – Indonesia adalah bangsa yang dibangun diatas keberagaman yang sangat kompleks. Hal ini diungkap oleh Prof. Prof. Firman Noor, MA, PhD pada seminar dalam rangka perayaan Hut Lahir Pancasila 1 Juni dengan tema, “Demokrasi Elektoral berbasis Pancasila versus Identitas” yang selenggarakan oleh Unit Character Building Development Center (CBDC), Universitas Bina Nusantara (22/6/23) Jakarta.

Dalam materi pemaparannya, Prof. Firman menunjukkan bahwa Indonesia sebagai entitas majemuk. Bangsa Indoensia ditopang oleh sekitar 1.340 etnis, sekitar 718 bahasa lokal, 6 agama, multi ideologi. Mengutip John S. Furnivall (1939), Indonesia menjadi bangsa dengan masyarakat majemuk paling kompleks di dunia, tegasnya.

Keberagaman tersebut pada satu sisi dapat menjadi modal bagi persatuan dan kemajuan bangsa, namun jika dikelolah dengan tidak bijaksana, maka keberagaman itu dapat menciptakan problem kebangsaan.

Mengutuip dari beragam sumber Prof. Firman yang juga dikenal sebagai  Penelitia Utama, Pusat Riset Politik  pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan akar persoalan yang kondusif bagi bertumbuh dan menguatnya politik Identias. Akar-akar persoalan tersebut adalah sebagai berikut:

  • Rasa terancam akan kehilangan privilege, mengalami marginalisasi ekonomi, budaya atau hak politik(Gurr, 1993, Henders2004, Gunawerdana, 2004, Castells 2010)
  • Perlawanan atas praktik dominasi, ketertindasan atau diskriminasi masa lalu baik dari sisi ekonomi, budaya atau politik (Castells 2010).
  • Kesempatan dari transformasi atau restrukturisasi politik yang membawa peluang atau ketidakpastianàDemokratisasi, Otonomi Daerah (Horowitz 1994, Rupeshinge1996, Betrand2004, Ghosal 2004, Buchari2014)
  • Pola kepemimpinan yang berkecenderungan membiarkan perluasan politik identitas.
  • Terdapatrasa sebagai“korban” (victimized), “terabaikan” (ignored), atau“tersingkirkan” (exclusion) atau“terlucutihak-haknya” (disempowerment), yang kemudian membentuk perasaan“kami versus kamu”. (Eberstadt, 2023)
  • Rasa terancamakan kehilangan privilege, mengalami marginalisasi ekonomi, budaya atau hak politik(Gurr, 1993, Henders2004, Gunawerdana, 2004, Castells 2010)
  • Perlawanan atas praktik dominasi, ketertindasan atau diskriminasi masa lalu baik dari sisi ekonomi, budaya atau politik (Castells 2010).
  • Kesempatan dari transformasi atau restrukturisasi politik yang membawa peluang atau ketidakpastianDemokratisasi, OtonomiDaerah (Horowitz 1994, Rupeshinge1996, Betrand2004, Ghosal 2004, Buchari2014)
  • Pola kepemimpinan yang berkecenderungan membiarkan perluasan politik identitas.
  • Terdapat rasa sebagai“korban” (victimized), “terabaikan” (ignored), atau“ tersingkirkan” (exclusion) atau“terlucuti hak-haknya” (disempowerment), yang kemudian membentuk perasaan“kami versus kamu”. (Eberstadt, 2023)
Yustinus Suhardi Ruman