Pertobatan Ekologis

Oleh:  Ernestus Holivil, S.Fil.,MPA (Dosen Universitas Bina Nusantara)

 Jonathan Stone, seorang professor hukum dari Amerika, pernah menulis sebuah risalah pendek dengan judul “should trees have standing”. Tulisan provokatif ini merupakan bagian dari ikhtiar Stone memproteksi pohon-pohon dari prilaku eksploitatif manusia dengan cara memberi status hak-legal standing. Inilah yang kemudian Stone menjelaskan bukan saja manusia yang punya legal standing (human legal standing), tetapi juga makhluk-makhluk non human (non human legal standing). Risalah pendek Stone ini kemudian menjadi diskusi penting dalam studi-studi environmental ethics atau etika lingkugan di dunia, termasuk di Indonesia.

Stone menulis risalah itu pada tahun 1970-an, selain upaya membela keberlangsungan hidup dari alam, di sisi yang lain hadir sebagai bentuk kritik terhadap tindakan dekstruktif dan arogansi manusia terhadap alam. Stone melihat ada semacam gejala pengojekan terhadap alam, alam dilihat properti yang bisa diperlakukan dengan apa saja, termasuk eksploitatif sekalipun. Hampir segala bentuk tindak pengrusakan itu dibenarkan, karena memang tidak ada standar normatif yang bisa memberi dalil, bahwa pohon-pohon atau alam harus dilindungi.

Gejala yang dilukiskan stone, merupakan gejaja yang juga sedang kita hadapi saat ini. Kita mengalami apa yang disebut sebagai krisis ekologi, krisis lingkungan. Masalah masalah seperti banjir, polusi udara, perubahan iklim, krisis air minum, punahnya keanekagaraman hayati, dan pemanasa global, merupakan deretan isu yang jadi perbincangan serius. Krisis-krisis itu, selain akibat fenomena alam, alih-alih menempatkan manusia sebagai biang kerok. Kita kehilangan kesadaran akan pentingnya alam bagi keberlangsungan hidup manusia. Kita terjebak dalam apa yang disebut sebaga eko-terorisme, terorisme terhadap lingkungan.

Beruntunglah kita pernah diterpa oleh wabah covid-19, suatu keadaan yang mampu memberi kesadaran bahwa Kesehatan lingkungan itu penting dan bahkan dibutuhkan. Tak heran isu-isu lingkungan saat ini menjadi perhatian serius bagi banyak orang. Tidak hanya di kalangan para akademisi, pemerhati lingkungan, tetapi juga sampai di kalangan masyarakat umum. Seruan pertobatan dilakukan dalam upaya membangun kesadaran manusia akan pentingnya alam. Paling tidak, pada satu titik, manusia mengalami tranfromasi diri dalam hubungannya dengan alam.

Lingkungan hidup dan Masalah Antroposentrisme

Kalau kita berbicara tentang etika lingkungan atau apa yang disebut sebagai eco-theology, beberapa pertanyaan mendasarnya adalah mengapa lingkungan hidup itu perlu dilindungi dan dilestarikan? Atau mengapa kita harus merawat alam semesta ini sama seperti merawat manusia? Apa pentinganya alam lingkungan bagi kehidupan manusia? Deretan pertanyaan itu membawa refleksi kita kepada makna dan hubungan lingkungan hidup bagi manusia.

John Passmore, seorang filsuf ekologi menjelaskan bahwa alam dilestarikan karena secara instrinsik memiliki value atau nilai. Alam bernilai bagi keberlangsungan hidup manusia sebagai spesies. Bahkan manusia tidak bisa hidup tanpa alam. Itulah yang kemudian kata seorang Bernama Albert Einstein itu benar adanya, bahwa “kalua serangga di dunia ini mati, maka punahlah bumi ini. Karena seranggalah yang membuat penyerbukan. Kalau tidak ada penyerbukan, maka tidak ada buah. Kalua tidak ada buah, maka bisa saja manusia punah”. Artinya, manusia itu juga adalah alam itu sendiri.

Krisis ekologi saat ini disebakan karena tiga hal, yakni sesatnya cara berpikir, tidak adanya rasa empati, dan rusaknya tingkalaku manusia terhadap alam. Pada tataran cara berpikir, orang cenderung melihat alam sebagai alat untuk meraup keuntungan. Pada ranah perasaan, orang kehilangan rasa empati terhadap alam karena lebih memperhatikan kenginanannya dari pada kebutuhannya. Sementara pada tataran praktis, manusia tau dan mau memperlakukan alam secara brutal. Pada tahap ini, manusia bertindak tidak ramah lingkungan yang berujung pada penciptaan pola relasi eksploitatif terhadap alam.

Terkait dengan cara pandang atau pola pikir manusia, Passmore menjelaskan dua cara menghadapi alam; Pertama, despotic view, cara pandang yang memposisikan alam sebagai objek. Cara pandang ini bercorak tirani. Manusia berlaku sebagai tiran atau diktator terhadap alam sekitar. Alam hanyalah alat dan diinstrumentalisasi sedemikian rupa demi keuntungan manusia semata. Lahirlah cara padang Kedua, responsible dominion view. Cara pandang itu mengedepankan asas tanggungjawab dan keberlanjutan dari alam.

Krisis ekologi di Indonesia lebih disebabkan karena dominasi cara pikir despotic view,  naifnya pola pikir atau cara pandang manusia terhadap alam. Manusia terjebak dalam paham antroposentrik, memandang alam sebagai alat. Alam tidak dilihat sebagai roh kehidupan, tetapi justru menjadi instrument untuk keuntungan pribadi. Pola pikir atroposentrik ini yang kemudian membuat manusia bisa semena-mena merusak dan menegeksploitasi alam. Dengan kata lain, manusia melakukan pengingkaran dan penyangkalan eksistensi.

Akibat dari terjebaknya cara pandang antroposentrik ini, lahirlah tiga bentuk dosa ekologis manusia, yakni keserakahan, ketidakpedulian, dan tidak mau merepotkan. Dosa yang paling berat adalah serakah. Prilaku konsumtif masyarakat dewasa ini dalam bentuk keserakahan dalam memanfaatkan alam demi kepuasan pribadi menjadi amat sangat mengkhawatirkan Karena keserakahan, alam dimanfaatkan untuk meraup keuntungan pribadi. Contohnya, aktivitas pertambangan, yang demi keuntungan ekonomi semata, tanah-tanah menjadi rusak.

Selain keserakahan, dosa yang ke dua adalah ketidakpedulian. Kita tidak mau melihat apa yang sedang terjadi. Ada sampah berserakan, tetapi kita sengaja tidak peduli. Kita hanya peduli dengan urusan sendiri, tetapi seringkali apatis dengan persoalan atau urusan hidup bersama. Dosa yang ketiga adalah tidak mau merepotkan. Dosa ini cenderung tidak ingin melakukan sesuatu. Contohnya, tidak aktif dalam kegiatan bersih lingkungan, tidak berpartisipasi dalam aksi pengumutan sampah, dan lain sebagainya. Initnya, orang tidak mau berbuat sesuatu, sekali pun itu berdampak bagi dirinya.

Dosa ekologi manusia bersumber dari sikap manusia yang egoistik. Orang tidak pernah berpikir bahwa antara manusia dan alam merupakan satu entitas yang saling membutuhkan. Tetapi dalam banyak kejadian, seringkali manusia menjadi racun bagi makhluk hidup yang lain. Dan Korban pertama dari racun ini adalah tanaman. Saat tanaman dimakan binatang, racun berpindah ke binatang. Dan ketika tanaman dan binatang ini dimakan manusia, maka racun itu akan berpindah dan terakumulasi dalam tubuh manusia. Akibatnya adalah penyakit-penyakit seperti kanker dan kecacatan karena mutasi genetik.

Perlu Metanoia

Dari berbagai krisis ekologi yang dihadapi saat ini, bagaimana pun kita sebagaiknya membutuhkan sebuah Metanoia, pertobatan. Pertobatan yang merujuk pada perubahan radikal dalam diri manusia, baik itu cara hidup, sikap moral, maupun tindakan yang berpangkal pada perwujudan keimanan dan ketaqwaan yang menitikberatkan pada harmonisasi setiap aspek kehidupan. Dengan kata lain, Pertobatan ekologis dimaknai sebagai perubahan dalam cara kita memandang, berinteraksi, dan berperilaku dengan alam. Menciptakan organisme yang baik antara manusia dan alam adalah inti dari pertobatan ekologis.

Dalam konteks era modern, pertobatan menjadi semakin relevan mengingat persoalan yang dihadapi umat manusia semakin kompleks sebagai akibat pengingkaran atau penyangkalan terhadap eksistensi. Tetapi pertobatan ini menuntut perubahan sikap. Ada semacam tindakan konkret untuk menyelamatkan alam. Penyesalan bukan akhir dari pertobatan. Baru bisa dikatakan pertobatan apabila kesadaran dan pertobatan diikuti dengan perubahan cara berpikir, sikap hati, dan membalikan arah hidup ke jalan yang benar.

Cara pandang manusia terhadap alam merupakan hal mendasar dan mendesak yang harus dirubah. Pola antroposentrik yang cenderung melihat alam sebagai objek, harus dilihat sebaliknya, alam sebagai satu entitas yang hidup dengan manusia. Paradigma antroposentrik berubah menjadi Ekosentrik. Alam atau lingkugan tidak dimaknasi secara biologis atau ekonomis, tetapi dimaknasi secara religious. Makna religious alam inilah yang kemudian kita mengenal apa yang disebut sebagai Eco-theology.

Eco-theology memberikan pendasaran bahwa terdapat hubungan atau kesatuan intrinsik antara berbagai elemen, yakni Tuhan, manusia, dan segala entitas yang ada di alam. Lingkungan terdiri dari elemen non human/infrahuman dalam alam semesta/universe. Elemen-elemen itu seperti matahari, air, udara, flora/fauna, iklim, dan lain sebagainya. Dari prespektif ekologi, manusia hanyalah salah salah satu elemen dalam jaringan ekosistem alam. Elemen-elemen itu berelasi antara satu dengan yang lainnya. Dan jika elemen yang satu dirusakan, maka elemen yang juga akan menjadi rusak. Dua pakar ekologi, Arne Naess dari Skandinavia & Val Plumwood dari Australia menyebutnya sebagai Egalitarianism biosfer, menjunjuung keseteraaan semua unsur biosfer.

­Eco-theology menuntut kita untuk bertindak adil terhadap alam melalui sikap peduli terhadap hak-hak dan kebaikan alam lingkungan hidup kita. Kecintaan kita pada lingkungan tidak hanya sebatas doktrin atau ritus-ritus religus, tetapi juga pada aksi atau tidak nyata. Iman bukan hanya sebatas pada keyakinan, melainkan juga pada perbuatan. Kata St.Yakobus, “Iman tanpa perbuatan adalah mati”. Persis di titik ini, kita sebetulnya melakukan penghijauan terhadap agama atau lebih popular dalam istilah Roderick Frazier Nash, “The Greening of Religion” .

Pertobatan menjadi nyata kalau kita berani memberantas kejahatan ekologis dengan tuntas dari hulu hingga hilir. Beberapa tindakan konkret yang perlu dilakukan sebagai perwujudan dari pertobatan ekologis;

Pertama, merubah cara padang kita terhadap alam secara radikal. Dari Antroposentik ke paradigma ekosentrik, melihat alam sebagai rumah bersama. Cari ini sebagai upaya kita dalam membangung kesadaran untuk menghargai, menghormati, dan bertoleransi terhadap alam. Teloransi dalam pengertian membiarkan alam bertumbuh dan berkembang secara alamiah. Prinsipnya, antara manusia dan alam memilki hubungan symbiosis mutualisme. Alam membutuhkan manusia, manusia membutuhkan alam. Kalau kita membunuh kehidupan alam, maka alam pun akan membinasakan kehidupan manusia. Kalau kita menjaga alam, maka alam pun akan menjaga kita. Kesadaran ini yang akan membangkitkan semangat kita untuk rajin menanam pohon hijau, tidak menebang hutan sembarangan, dan membuang sampah pada tempatnya. Sebab, sat ini kita terjebak dalam apa yang disebut sebagai throw away culture, budaya gampang membuang.

Kedua, melakukan gerakan-gerekan minimalis, hidup hemat dan sederhana dalam hidup sehari-hari. Gerekan minimalis merupakan upaya untuk memperlakukan alam secara bijaksana. Kita mencukupkan diri dengan hidup apa adanya, tanpa ambisi untuk menguras alam sebesar-besarnya. Alam bukan alat yang bisa dikapitalisasi untuk mendapat keuntungan, melainkan makhluk sakral yang harus dihormati. Gerekan minimalis ini terpancar keluar melalui sikap tidak boros memanfaatkan sumber energi alam, misalnya hemat air, hemat listrik, hemat menggunakan minyak bumi, dan lain sebagainya.

Ketiga, Mengembangkan hubungan yang etis dengan lingkungan dalam bentuk tindakan empati dan kepedulian. Kita menghargai kesucian, kekudusan, dan kekeramatan intrinsik yang melakat pada alam. Cara-cara ini akan mencegah kita untuk mengeskploitasi alam secara membabi-buta untuk kepentingan egoistik manusia. Hal ini bisa dilakukan dengan cara bergabung dengan komunitas-komunitas pecinta lingkungan untuk bersama-sama bergerak menyelamatkan bumi ini. Sudah saatnya kita membangun, menjaga dan melestarikan pola relasi baru dengan alam dalam nuansa spiritual. Pola hidup  spiritual seperti ini akan memunculkan semangat respek yang tinggi pada lingkungan alam sebagai realitas keramat yang mutlak dilindungi nilai dan martabatnya.

Tiga point di atas yang menjadi tuntutan dari pertobatan ekologis. Pertanyaannya, Siapa yang akan yang melakukannya? Tentu, bukan pemerintah saja, swasta, pengusaha, komunitas pencinta lingkungan, melainkan semua manusia (antropogenik). Kita bertanggunjawab terhadap nasip dan masa depan bumi ini. Kebaikan alam semesta ini tergantung dari cara pikir dan tingkah kita dalam memperlakukan alam. Oleh kerena itu, perlu sikap etis-religius dan bijaksana untuk masa depan lingkungan yang lebih baik.

Gratias!!!

Ernestus Holivil
  1. Mantap Pa Dosen