Edisi Refleksi: Membunuh Waktu!
Oki Hermawati
Suatu kali seorang sahabat menceritakan kisah menarik soal waktu. Cerita itu menjadi menarik buat saya yang baru beberapa bulan tinggal di kota metropolitan Jakarta. Ia mengisahkan setelah menikah ia berhenti bekerja dan suaminya saja yang bekerja. Ia bingung menghabiskan waktu bahkan ia mengistilah dengan tiap hari berpikir untuk “membunuh waktu” yaitu waktu yang harus ia lalui dari pagi sampai sore hari. Hari-hari yang biasa ia jalani mulai bangun jam 5 pagi dan pergi mengajar dari pagi sampai sore di sebuah sekolah mulai berubah sejak ia mengundurkan diri dari pekerjaan. Ceritanya menjadi menarik karena kegiatannya yang padat berubah drastis menjadi sedikit sekali atau hampir tidak ada yang dapat dikerjakan. Pagi-pagi ia mulai memasak, setelah memasak, ia mencuci, menyetrika dan siang hari sampai sore hari ia mulai kebingungan untuk mengisi kegiatan. Hari-hari terasa sulit bagi dia karena ia harus mencoba mengadakan kegiatan untuk “membunuh waktu” selama ia di rumah dari pagi hingga sore hari.
Cerita sahabat saya ini membuat saya iri karena saya merasakan keadaan yang sebaliknya soal waktu. Jika ia merasakan waktu berjalan lambat maka saya merasakan waktu begitu cepat berlalu. Pagi-pagi harus bangun dan bersiap ke tempat kerja, mengalami kemacetan parah hampir setiap hari baik berangkat atau pulang kerja, bekerja selama 9 jam di kantor ditambah 3-4 jam perjalanan menuju kantor pulang-pergi menjadikan waktu cepat berlalu. Saya membayangkan betapa menyenangkannya sahabat saya yang memiliki banyak waktu untuk ia habiskan, sementara saya merasa tidak banyak waktu karena padatnya kegiatan sehari-hari. Apa yang dapat saya pelajari berkaitan dengan pengalaman sahabat saya yang tinggal di kota kecil dan pengalaman saya di kota besar berkaitan dengan waktu?
- Waktu menjadi relatif bagi setiap individu! Persepsi tentang waktu yang sehari terdiri dari 24 jam memiliki pandangan yang berbeda satu dengan yang lain. Bagi saya waktu cepat berlalu sementara bagi sahabat saya, waktu menjadi lama sekali berlalu. Seorang yang sedang menunggu antrian yang panjang akan merasakan waktu berjalan dengan lambat. Seorang yang sedang berkencan akan merasa waktu cepat berlalu. Persepsi kecepatan waktu menjadi berbeda bagi setiap orang dan ini dapat dilihat dari kondisi atau pengalaman yang masing-masing individu hadapi.
- Waktu harus dinikmati dan dimaknai! Sahabat saya dalam kondisinya saat itu tidak menikmati waktu dan ia mencoba menghabiskan waktu. Saya dalam kondisi saat itu juga tidak menikmati waktu karena merasa begitu cepat berlalu. Saya dan sahabat saya dalam kondisi yang sama yaitu kami tidak menikmati waktu. Belajar menikmati dan memaknai waktu merupakan suatu disiplin yang seyogyanya ada di pikiran kita. Waktu yang terasa lambat dan waktu yang terasa cepat keduanya perlu dinikmati. Cara menikmatinya adalah dengan memaknai apa yang sedang dikerjakan bahkan ketika tidak mengerjakan apapun. Bagi yang sedang mengerjakan sesuatu maka nikmati apa yang dikerjakan dan bagi yang tidak mengerjakan sesuatu nikmati sebagai suatu bentuk kesempatan untuk memikirkan ulang atau merefleksikan banyak hal tentang kehidupan. Saya teringat suatu kali saya diberikan kesempatan istirahat di rumah sakit beberapa hari karena kelelahan yang amat sangat. Waktu beristirahat di rumah sakit menjadi waktu yang saya nikmati sekaligus maknai untuk merefleksikan kehidupan yang sudah saya jalani.
Mari nikmati dan maknai waktu, sebab kita tidak tahu kapan saatnya waktu akan diambil dari kehidupan kita. Salam semangat!