Belajar Melepas yang Pulang

Oleh: Kartika Yulianti, Ph.D

Di setiap libur hari Raya, selain bersilaturahmi dengan keluarga besar dari kedua orangtua, biasanya saya juga menyempatkan waktu untuk catching up dengan sahabat-sahabat, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia.

Seperti minggu lalu, saya dan sahabat saya yang menikah dengan pria berkebangsaan Canada dan kini menetap di Toronto bertukar cerita cukup lama melalui video call.

Kami juga saling bertanya kabar ibu kami masing-masing. Orangtua kami yang tinggal satu.

“Mom is still having a hard time accepting my sister’s passing,” sahabat saya bercerita tentang ibunya.

“Sorry to hear that. I feel her, been there done that when I lost my very best friend a couple of years ago. Well, every individual reaches acceptance in their own time.  Always be there for her, give her emotional support, with your siblings be her best support system. I believe these will help her going through this difficult time,” I was trying to comfort my best friend.

Untuk mencapai acceptance atau penerimaan atas berpulangnya orang yang kita cintai memang tidak mudah. Setiap orang memiliki kemampuan dan tahapan yang berbeda-beda dalam menghadapi kedukaan.

Seperti yang saya tuliskan di atas, saya pun mengalaminya ketika ayah saya berpulang pada tahun 2007 dan sahabat saya meninggal dunia pada tahun 2018. Mengenai kedukaan saya ini, suatu saat saya akan menuliskannya. Kemungkinan tulisan itu nanti akan mengandung bawang, istilah anak muda jaman now.

Menurut Elisabeth Kubler-Ross ada 5 tahap kedukaan antara lain:

  1. Penyangkalan (denial). Penyangkalan adalah reaksi yang amat normal di tahap pertama kedukaan. Orang yang sedang berduka mungkin akan mengalami kondisi ketidakpercayaan atas kehilangannya dan bahkan menganggapnya sebagai mimpi. Setelah tahap ini, orang yang sedang berduka mungkin akan merasakan emosi yang sebelumnya dia sangkal.
  1. Marah (anger). Di dalam kedukaan, marah pun adalah reaksi yang wajar. Sekali lagi, proses penyesuaian dari keadaan sedih apalagi karena kehilangan orang yang dicintai memang tidak mudah. Perasaan yang intens memungkinkan orang yang sedang berduka kurang dapat berpikir secara rasional.
  1. Menawar (bargaining). “Seandainya saya lebih menyediakan waktu untuk mama saya, mungkin mama tidak pergi secepat ini.” “Seandainya saya mencari pertolongan dokter lebih cepat.” Seandainya begini. Seandainya begitu. Atau tawar menawar dengan Tuhan terjadi pada tahap ini agar mendapat kekuatan dari kedukaan dan rasa sakit.
  1. Depresi (depression). Pada tahap depresi, orang yang sedang berduka terpaksa menghadapi situasi sulit di mana ketika emosinya mereda, dia harus benar-benar melihat kenyataan. Kemudian dia akan mengalami kesedihan kembali serta kebingungan yang mendalam. Sebaiknya, jika orang yang sedang berduka tidak bisa melewati tahap ini, bicaralah dengan orang-orang terdekat atau psikolog.
  1. Penerimaan (acceptance). Pada tahap ini, pada akhirnya bisa berdamai dengan kedukaan dan dapat menerima kenyataan yang terjadi. Pada proses ini, mereka yang kehilangan orang yang dicintai mulai belajar untuk menjalani hidup baru dengan situasi yang baru.

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.”

 Referensi:

  1. Kubler-Ross, On Death & Dying: What the Dying Have to Teach Doctor, Nurses, Clergy & Their Own Families. SCRIBNER, 2014.
  2. Mengenal Tahapan Kedukaan dari Dr. Kubler-Ross (https://upt-lbk.unj.ac.id/blog/Tahapan%20kedukaan)
Kartika Yulianti