Memento Mori

Oleh: Kartika Yulianti, Ph.D

Saya terinspirasi menulis artikel ini dari percakapan dengan rekan dosen Character Building di ruang 509. Percakapan tentang menyiapkan kematian. Percakapan tentang menyiapkan kuburan, tanah tempat jasad kita bersemayam kelak.

Pembicaraan mengenai kematian masih sering dianggap pamali, tabu di masyarakat kita, termasuk di keluarga rekan saya. Padahal, kematian itu sesungguhnya proses alami dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan itu sendiri. Jadi, semestinya membicarakan kematian, membicarakan persiapan diri menghadapi kematian termasuk di antaranya menyiapkan tanah tempat kita dikubur kelak, bukanlah tabu atau pamali.

Lalu, di malam harinya, saya merenung, berkelana dalam memori. Saya teringat Memento Mori.

Apa itu Memento Mori?

Memento Mori (the realization that you are mortal)

Di kampus almamater tempat saya menempuh studi doktoral di Belanda, ada sebuah projek meditasi di kuburan. Kuburan yang diberi nama Purification Grave itu berada di belakang kapel di area kampus. Biasanya kuburan dibuka pada bulan Juni. Pada dasar kuburan ditutupi kain putih sebagai alas yang bertuliskan “STAY WEIRD”. Ternyata program ini diminati banyak mahasiswa.

Mereka dipersilakan untuk menghabiskan waktu minimal 30 menit dan maksimal 3 jam berbaring di kuburan tanpa buku, ponsel dan gangguan lainnya untuk merenungkan kehidupan mereka, pilihan hidup mereka, pertanyaan dan keraguan mereka.

Menurut John Hacking, penggagas projek Memento Mori di universitas yang dahulu bernama Katholieke Universiteit Nijmegen itu, program ini diadakan agar para mahasiswa lebih mengapresiasi hidup mereka. Menurutnya, waktu untuk hidup di dunia ini semakin sedikit, sehingga terkadang perlu memikirkan tentang hidup kita dan apa yang benar-benar penting bagi kita. Namun, karena kesibukan sehari-hari, kita tidak selalu mendapat kesempatan untuk melakukan ini. Padahal, death comes in every life. Melalui Memento Mori, dengan berbaring, merenung, meditasi di dalam liang kubur, kita diajak untuk mendengarkan diri dengan cermat pada tingkat yang lebih dalam.

You are dust and you will return to dust.

 

Kartika Yulianti