Sense of Belonging as the Entry Point to be Thankful Man

Oleh:  Arcadius Benawa

Ketika kita menyimak  sabda Tuhan, khususnya bacaan Injil Matius 13: 10-17, bisa jadi Anda pun memiliki kesan yang sama dengan saya. Bahwa nas tersebut berat untuk dicerna. “Barang siapa tidak mempunyai, apapun yang ada padanya akan diambil!” Nas yang menurut saya memberi kesan kontroversial dengan pewartaan akan Allah yang kasih. Allah yang berbelas kasih. Allah yang Pemurah. Allah yang Berbelarasa. Dan sebagainya yang kesannya soft, lembut.

Namun ayat ini, apalagi bagi yang sedang benar-benar merasa down karena apapun yang ada pada diri kita telah tiada atau lenyap dengan apapun alasannya. Akibatnya kita betul-betul merasa have nothing, baik itu pekerjaan, status, teman, kreativitas, rejeki, rumah, dan sebagainya. Tuhan terasa tega nian membiarkan kita dalam kondisi nothing.

Perlu waktu cukup lama untuk akhirnya bisa menyadari dan memaknai sabda Tuhan itu. Rupanya memang penting kita ini memiliki sense of belonging, yang bisa menghantar kita to be thankful man. Perasaan tidak memiliki  memang merupakan racun yang mematikan, sehingga kita merasa kehilangan apapun yang ada pada kita. Kita merasa apapun yang ada pada kita telah diambil-Nya. Padahal sejatinya kita masih punya harta tak ternilai, yakni hidup itu sendiri yang merupakan anugerah terbesar dari Tuhan. Dalam hidup yang masih dianugerahkan Tuhan itulah ada sekian harta milik yang patut kita sadari dan syukuri, seperti waktu, tubuh, hati, pikiran, tangan dan kaki, teman dan saudara, jejaring. Waow.

Di situlah titik balik untuk bisa kembali pada kebenaran firman Tuhan. “Barangsiapa memiliki, padanya akan ditambahkan, sehingga berkelimpahan!” Pasalnya, dalam bahasa Latin ada ungkapan “Nemo dat quod non habet” yang berarti tak seorangpun dapat memberikan sesuatu bila ia tidak memiliki apapun. Ungkapan Latin ini selaras dengan sabda Tuhan yang terasa keras tadi: “Barang siapa tidak memiliki, apapun yang ada padanya akan diambil!” Siapapun yang memvonis diri tidak memiliki apapun, sama saja telah memvonis dirinya lumpuh, tak berdaya untuk berbuat dan memberi sesuatu di dalam hidup dan kehidupannya. Lupa bahwa sejatinya dalam hidup ini kita telah dilengkapi dengan sejumlah “milik” yang dianugerahkan Tuhan. Maka Sabda Tuhan itu juga sejalam dengan ungkapan dalam bahasa Jawa “Tangan kemlawe, cangkem kemlamet” yang berarti “kalau kita mau bekerja (tangan kemlawe = tangan bergerak) niscaya kita dapat rejeki (cangkem kemlamet = mulut bisa menikmati makanan).

Dari sebab itu, kita boleh yakin bahwa sense of belonging itu merupakan pintu masuk  untuk kita bisa menjadi pribadi yang bisa bersyukur (to be thankful man) atas apa yang kita “miliki” dalam hidup untuk kita kembangkan, bukan untuk di-keep atau ditanam di dalam tanah semata atau identik dengan merasa tak memiliki apapun. Semoga.

Arcadius Benawa