Kuasa dan Wibawa

Oleh: Arcadius Benawa

Luar biasa pengaruh kuasa dan wibawa personal yang ada pada Yesus. Sabda-Nya yang tidak panjang lebar mampu meredam amuk massa. Lebih dari sekadar meredam amuk massa, Sabda-Nya juga mampu menghunjam pribadi lepas pribadi orang-orang yang sok suci untuk mengakui dosa-dosanya, sehingga mereka dengan menahan malu satu per satu meninggalkan the accused mulai dari yang paling tua.

Bandingkan dengan kata-kata kita sebagai orang yang tidak memiliki kuasa dan wibawa, atau kalau toh memiliki tak se-powerful yang dimiliki Yesus. Alih-alih mampu meredam amuk massa, justru malah menyulut amuk massa, sehingga massa makin beringas dan tak terbendung emosinya. Demikianpun kalau toh kata-kata kita tertuju kepada pribadi lepas pribadi. Juga akan sama dampaknya. Alih-alih meredam emosi orang, kata-kata kita kerap justru memperkeruh keadaan emosi orang yang sudah keruh. Pasalnya, kita memang tidak memiliki kuasa dan wibawa seperti yang ada pada Yesus. Kuasa dan wibawa-Nya berasal dari Allah Bapa-Nya, sehingga powerful. Sabda-Nya bisa menjadi cambuk pengingat bagi kita saat makin tua, bahwa kita perlu semakin memiliki self awareness.

Sabda Tuhan yang membebaskan itu lebih dialami lagi oleh Maria Magdalena (MM) yang saat itu nyawanya sudah di ujung rambut. “Di manakah mereka yang akan merajam kamu? Tidak adakah yang melemparimu?” MM menggeleng. “Akupun tidak menghukummu. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi!” Sabda yang benar-benar penuh wibawa dan kuasa.

Dosa tetap adalah dosa, maka tidak diperkenankan-Nya untuk dilakukan lagi. “Jangan berbuat dosa lagi!” Namun, dosa tidak untuk ditutupi dengan mengekspose kedosaan orang lain. Dosa sesama mestinya justru untuk bahan refleksi diri kita akan kedosaan kita sendiri. Sejauh mana saya juga tak luput dari dosa; dan sejauh mana saya turut andil membuat seseorang jatuh dalam dosa. Bukan malah untuk cuci tangan dan lepas tanggung jawab dengan menyudutkan orang yang telah jatuh dalam dosa.

Sementara pembebasan dari hukuman atas dosa yang dialami MM menjadi cermin bagi kita untuk bagaimana kita pun berani tidak berbuat dosa lagi. Aku jadi ingat pesan Romo Parokiku saat aku membarui perkawinanku. “Pak Ari, semoga Bapak tidak jatuh dalam dosa lagi. Setialah dalam perkawinanmu dengan istrimu!” Aku pun menjawab, “Ya, Romo!” Sebuah jawaban yang implikasinya luas. Saya bayangkan MM pun tidak mudah untuk mengamini Sabda Tuhan Yesus untuk tidak berbuat dosa lagi. Namun kekuatan cinta Tuhan yang membebaskan mengatasi segala ketakutan dan kecemasan MM, sehingga ia setia di jalan Tuhan. Bahkan MM pun tak lagi memperhitungkan keselamatan dirinya saat ia memberanikan diri pada subuh buta pergi ke makam Yesus untuk “nyuceni” (membersihkan) Yesus yang waktu wafat belum di-suceni selayaknya, karena sudah sore sehingga harus buru-buru agar bisa dimakamkan sebelum masuk hari Sabbat. Dan, betapa shock-nya MM saat dilihatnya makam telah kosong. Ke-shock-an MM demikian besar, sehingga ia pun pangling (tak sanggup mengenali) dengan yang menyapanya, sedemikian rupa sehingga mengira-Nya sebagai tukang kebun, penjaga makam. Namun, dengan personal touch lewat sapaan personal Yesus padanya, “Maria!” dengan aksentuasi yang tiada duanya, barulah MM terbebas lagi dari keterbelengguannya pada emosi dan nalarnya. MM dapat masuk dalam pola sikap, kata, dan tindakan Yesus, sehingga ia pun berseru: “Rabbuni” yang artinya “Guru”. Saat kita menempatkan Yesus adalah Guru saat itulah kita mestinya juga menanggalkan emosi dan nalar personal kita ganti dengan nalar dan emosi sang Guru sejati. Rupanya itu jugalah yang menginspirasi Paulus ketika menasihati kita: “Hendaklah kamu sehati sepikir dengan Kristus!” Sebuah amanah yang tidak mudah. Namun kuasa kasih Tuhan yang membebaskan itulah sandaran kita. Semoga.

Arcadius Benawa