Guruku, Pahlawanku, Orang Tuaku
Oleh: Murty Magda Pane
Memasuki bulan November tahun 2022 ini, biasanya kita teringat akan Hari Pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November, dan kita peringati setiap tahunnya, yang biasanya, dengan cara berziarah ke makam-makam pahlawan yang sangat berjasa bagi kemerdekaan Indonesia. Tetapi, tahukah kita ada hari lain yang patut kita ketahui dan seyogyanya kita rayakan juga di bulan November ini? Ada lho, hari lain yang seyogyanya kita mengetahuinya, yaitu Hari Guru, yang jatuh pada tanggal 25 November setiap tahunnya.
Frase-frase “guru panutanku, guru pahlawanku” sudah sering kita dengar dari dulu. Istilah ini menjadi cerminan dan pemberitahuan kepada setiap orang bahwa guru adalah orang yang paling berjasa dan dianggap mulia dengan tugas sucinya mencerdaskan anak bangsa. Westwood, (2008:1) mengatakan bahwa mengajar sebagai tugas utama guru merupakan suatu proses imparting knowledge, yaitu proses melengkapi dan membekali anak didik dengan berbagai pengetahuan dan informasi tersebut melalui suatu metode yang sistematik). Kehadiran sang pendidik menjadi sangat vital dan bermanfaat berdasarkan keberhasilan mereka mencetak anak-anak cerdas yang bisa menguasai dunia dan anak-anak berakhlak mulia yang mampu menyemaikan benih-benih kerinduan untuk selalu berbakti kepada Sang Maha Pencipta. Hal-hal inilah yang menempatkan guru pada posisi tertinggi, disegani dan dihormati.
Orangtua kita dahulu tentu pernah bercerita bahwa begitu dihormatinya posisi seorang guru sehingga ketika berjumpa di jalan atau dimanapun, anak didik akan segera cepat-cepat bersembunyi karena takut ketahuan bahwa mereka sedang bermain di luar dalam artian tidak mengkaji ulang pelajaran mereka di rumah. Begitu tingginya penghormatan kepada sang guru dibarengi dengan tingginya kualitas akhlak dan budi pekerti yang mereka miliki. Kemampuan menguasai ilmu agama dan profesional dalam menjalankan tugas sebagai seorang pendidik. Kedisiplinan yang kuat dan terealisasi dalam segala tindak-tanduk mereka, gaya mengajar yang menarik dan menghibur, profil yang menyenangkan dan teduh dipandang dari kaca mata batin, menjadikan mereka sebagai pohon mangga rindang nan berbuah lebat, tempat berlindung dari sengatan teriknya mentari dan tempat menyumpal cacing-cacing kelaparan dengan buah ranumnya hingga tak ada lagi kelaparan semangat untuk terus menuntut ilmu.
Kasih sayang dan kesederhanaan yang merupakan ciri khas mereka untuk menggugah hati muridnya untuk menguasai dan menyerap berbagai ilmu pengetahuan yang diberikan. Bayaran yang mereka terima pun hanya senilai satu kaleng susu dutch lady ukuran 500 gram ataupun kadang-kadang ditukar dengan setengah botol kecil minyak tanah sebagai penyulut api pada alat penerang mereka saat belajar di malam hari. Keikhlasan dan tanpa pamrih yang mereka baktikan menjalar menjadi akar-akar dengan urat yang kokoh dan membentengi sanubari murid mereka dengan ilmu, iman, dan kedisiplinan. Saat itu guru agama atau guru merupakan sosok penuh wibawa dan pantas untuk dihormati.
Namun, masihkah peran guru begitu dihormati di masyarakat saat ini? Pertanyaan ini cukup panjang jawabannya. Saya akan menghentikan tulisan ini disini untuk menjadikan pertanyaan tersebut sebagai renungan bagi diri kita dan akan melanjutkannya pada bulan Mei tahun depan dalam rangka menyambut Hari Pendidikan Nasional.
Referensi: https://riaupos.jawapos.com/1361/opini/11/10/2012/guru-yang-dihormati-dan-menghormati.html