Resolusi Pendidikan Karakter Warsa 2023 “… pulanglah mereka ke negerinya melalui jalan lain” (Matius 2:12).

Oleh: Faustinus Sirken, S.S., M.A

Sore hari itu tanggal 28 Desember, penghujung warsa 2022. Seorang bapa dan saya bersama-sama bermaksud berteduh di serambi Indomaret store disebabkan hujan deras disertai angin badai sebagimana telah diperkirakan oleh BMKG yang disiarkan sebagai breaking news di media televisi atau pun media sosial yang lain. Dalam kurun waktu relatif singkat, Sang bapa dan saya berbincang-bincang, bahkan berkenalan seperlunya pula.

Sang bapa bertutur demikian: “Saya belum bisa pulang ke rumah, meskipun istri saya sudah menelfon berulang-ulang supaya segera pulang. Namun saya dapat pulang bila sudah berhasil menagih utang-utang kepada para debitur bangunan dan ruko-ruko. Sudah hampir seminggu ini setiap hari saya berburuh menagih utang-utang tersebut, namun belum satupun lunas dibayar oleh para klien dengan alasan tanggal tua dan setiap orang atau keluarga butuh uang saat ini. Sudah pasti untuk kebutuhan liburan keluarga pada masa Natal, liburan keluarga akhir tahun dan awal tahun baru 2023. Saya sendiri juga sebenarnya sudah janji kepada anak saya yang kuliah, bahwa bila mendapat nilai yang baik semester ini maka kita akan liburan bersama pada akhir tahun. Saya juga sudah janji kepada keluarga besar, bahwa kita akan liburan untuk families gathering pada akhir tahun, bahkan hotel dan penginapan sudah di-DP. Semua hal-hal ini membuat saya benar-benar sedang stress dan bingung terhadap janji-janji saya, baik kepada anak yang kuliah dan kepada keluarga besar yang sedang menunggu kepulangan saya saat ini. Saya sangat berharap mendapat keuntungan (bonus) dari tagihan-tagihan utang, tapi sampai detik ini belum satupun dari utang dibayar atau dilunasi. Saya menelfon para debitur tersebut seharian ini tapi handphone mereka sibuk atau tidak menjawab panggilan saya. Sementara, istri saya juga menelfon saya berulang kali agar segera pulang karena sudah ditunggu. Bingung… bingung… Beberapa menit sesudah berkisah, Sang bapa segera pamit untuk pergi. Saya memberikan respond demikian: terima kasih pak sudah mau bercerita kepada saya pengalaman dan rasa hati dan pikiran bapa. Saya mendengarkan dan menghargai keterbukaan hati bapa sudah berbagi pengalaman dan rasa hati. Sang bapa seketika, pergi dalam situasi guyuran hujan deras disertai angin dan gejolak alam meninggalkan saya. Ketika itu, saya bertanya-tanya dalam hati, kemanakah dia pergi? entah ia akan melanjutkan perburuhan utang… entah ia akan pulang ke keluarga yang sedang menunggu…”  

Teks (yang dikisahkan) ini, dalam hubungan dengan Pendidikan Karakter atau Character Building membantu kesadaran saya dalam mengasah daya-daya afektif diri untuk dapat memperkuat kepekaan estetik, kepekaan kehalusana perasaan, kepekaan keindahan budi pekerti, kepekaan empati, kepekaan solidaritas sosial, sensitivitas daya spiritualitas, ketajaman rasa keadilan, dan kepekaan-kepekaan lain lagi dalam diri saya. Daya-daya afektif yang saya sebutkan ini berhubungan dengan gerak perasaan dalam jiwa melalui pancaindra diriku. Sebab pancaindra yang saya punyai sebagai alat penyambung realitas alam semesta ini dengan eksistensi jiwa (yakni budi) diriku. Ini berarti teks tertutur membantu mengasah daya budi (daya afektif) diri saya dalam menangkap (caught) “apa itu kebenaran” (what’s right) pada realitas alam semesta dan segala isinya. Saat ini teks menarasikan eksistensi Sang bapa dalam hubungan relasional dengan anggota keluarga, relasi fungsional dengan para debitur beserta keberadaannya sendiri-sendiri.

Berikut gambaran hermeneutika teks yang membantu daya afektif, yakni daya budi menangkap “apa itu kebenaran” pada realitas dunia dan eksistensi kehidupan. Interpretasi terjadi demikian: Pertama, Sang bapa dengan pancaindra, secara khusus indra penglihatannya menangkap (caught) “apa itu kebenaran” (what’s right) yang ada pada eksistensi sosial, yaitu hubungan relasional dengan anak yang kuliah dan hubungan relasionalnya dengan istri beserta keluarga besar. Begitu pula Sang bapa menangkap (caught) “apa itu kebenaran” yang ada pada realitas relasi fungsional dengan para debitur bangunan atau ruko ketika menagih utang-piutang. Kedua, saya sendiri juga dengan pancaindra, secara khusus indra pendengaran menangkap (caught) “apa itu kebenaran” (what’s right) yang ada pada kisah pengalaman dan rasa hati yang dinarasikan Sang bapa. Demikianlah  interpretasi daya-daya afektif yang menguatkan kepekaan-kepekaan terhadap kebenaran nilai moral dan sikap batin dalam hidup. Dalam kesadaran inilah, maka Pendidikan Karakter mengedepankan pengolahan pancaindra (antara lain) penglihatan dan pendengaran manusia terhadap what’s right dalam realitas alam semesta sehingga mengasah ketajaman daya-daya afektif yang memperkuat kepekaan estetik, empati, kehalusan perasaan dan keindahan budi pekerti. Sebab itu, untuk melatih atau mengolah perasaan perlu sekali melakukan latihan halusnya pendengaran dengan olah suara. Bila pancaindra itu tidak biasa atau sering dipergunakan, makin lama makin mundur ketajaman kepekaannya. Bila pancaindra terus-menerus dilatih dipergunakan akan bertambah cerdas dan makin halus penangkapan (caught).

Pendidikan Karakter membutuhkan bahasa yang tepat untuk melatih mengasah daya-daya afektif yang dapat memperkuat kepekaan adalah “bahasa kebenaran”. Bila kita hendak berkembang dalam berbudaya dan berkarakter dalam ruang publik masa kini, maka bahasa kebenaran menjadi dasar setiap orang atau setiap kelompok dalam mempertanyakan, “apa yang benar?” (what’s right). Bahasa kebenaran merupakan bahasa yang unik yang membuat manusia tidak terlalu nyaman mengekspresikannya. Untuk membuat manusia nyaman dalam berekspresi dan saling terhubung dalam “apa yang benar” (what’s right) di ruang publik zaman ini, baik secara online ataupun secara onsite, sangatlah berkaitan dengan daya-daya budi yang menguatkan kepekaan-kepekaan moral-praktis, wilayah dari Character Building.

Jadi, Pendidikan Karakter atau Character Building membantu mengasah daya-daya afektif untuk mempertajam kepekaan-kepekaan manusia terhadap “apa yang benar” (what’s right) itu dalam peristiwa kemanusiaan tidaklah diajarkan (taught). Melainkan “apa yang benar” dalam eksistensi kemanusiaan itu ditangkap (caught) oleh pancaindra terhadap keteladanan hidup dan tingkah laku moral yang menjadi keyakinan etis bersama. Dalam semua ini, keteladanan dan sikap hidup adalah “apa yang benar”, yang ditangkap dengan pancaindra masing-masing manusia. Pendidikan Karakter membantu mengasah daya-daya afektif dalam membina (fostering), bahkan memperbaiki (improving) kehalusan kepekaan-sensivitas dalam menangkap “apa yang benar” (what’s right) dari keteladanan dan tingkah laku hidup kemanusiaan di warsa 2023.

Faustinus Sirken, S.S., M.A