Persatuan Bangsa Indonesia Sebagai Payung Emas Akan Rintikan Perbedaan Identitas Sosial

Oleh: Made Adhiaksena Wikrama Putra | PPTI 11 | 2502041022

 “Sang Kala pernah bercerita bahwa di dalam perbedaan terdapat perpaduan antara kecantikan dan kekuatan, dan kini aku menyuratkan rangkaian aksara ini untuk membuktikannya padamu” – Adhiaksena, 2023

Dua dekade telah berlalu, namun peristiwa di kala itu tak akan terlupakan oleh segenap anak-anak ibu pertiwi. Banyak perusahaan gulung tikar, jutaan insan kehilangan sumber pendapatan, banyak bank dilikuidasi, dan ekonomi negara merosot bak air yang terjun dari tebing batu. Kerusuhan Mei 1998, menjadi sejarah kelam bagi bangsa Indonesia. Kerusuhan dipicu dari berbagai macam arah. Berawal dari unjuk rasa akibat krisis finansial Asia, berujung pada penindasan etnis Tionghoa. Prasangka yang diciptakan oleh oknum-oknum berkepentingan menjadi pemantik terjadinya pengerahan massa dalam mengkambinghitamkan dan menyerang masyarakat dengan etnis tersebut. Kesenjangan sosial menjadi salah satu alasan terbesar munculnya asap prasangka negatif terhadap etnis Tionghoa karena melihat mereka menguasai perekonomian Indonesia. Prasangka yang berasal dari keyakinan diri dan kelompok yang tak terbukti kebenarannya membangun kabut yang amat pekat terhadap pemikiran masyarakat yang dikatakan pribumi pada saat itu. Bibit prasangka tersebut adalah pembatasan hak-hak warga keturunan Cina pada masa orde baru, mulai dari atribut, nama, dan segala sesuatu yang berbau Cina lainnya. Kerusuhan, penjarahan, dan kekerasan seksual menjadi titik balik hidup masyarakat beretnis Tionghoa pada saat itu. Meski telah 20 tahun berlalu, emosi yang diselimuti ketakutan masih menghantui korban kerusuhan tersebut tanpa ada langkah hukum yang dipijak untuk memberikan arti konsekuensi atas perbuatan tak manusiawi di kala itu. Rasa aman adalah kunci utama keinginan mereka, dimana kekerasan yang terjadi tahun ke tahun membentuk pola perilaku mereka dalam menjalani hidup sebagai warga negara Indonesia.

Mei Berdarah 1998: Titik Balik Penguatan Solidaritas Indonesia

Bak pembiasan cahaya pada prisma memberikan gambaran bahwa setitik cahaya dapat membentuk susunan ragam warna yang indah nan elok. Begitu pula dengan peristiwa ini yang dapat menjadi pemantik bagi kita bahwa perbedaan identitas sosial dapat menjadi kobaran api yang melalap persatuan bangsa kita. Pemantik ini seharusnya dijadikan api unggun dalam menghangatkan raga ibu pertiwi yang berjiwakan kebhinnekaan. Kondisi bangsa kita seharusnya dijadikan sebagai kacamata untuk melihat tujuan yang sama di tengah perbedaan yang ada. Bagai warna pelangi yang berbeda-beda, namun dapat menciptakan persatuan dan keharmonisan diantara setiap warnanya dapat memberikan lukisan bagi kita untuk membangun bersama esensi dari identitas sosial yang sesungguhnya. Dimana identitas sosial dimaknai sebagai bagian dari identitas individu yang terbentuk melalui interaksi dan pengalaman mereka dengan lingkungan sosial sekitarnya. Sehingga identitas tersebut bersatu dan menjadi nilai bagi setiap individu itu sendiri dalam bagaimana cara mereka melihat dirinya sendiri dan bagaimana mereka dipandang oleh orang lain. Perbedaan suku, bangsa, agama, ras, dan yang lainnya dapat menjadi nilai tambah bagi kita untuk membangun tanah air ini. Hingga kini, udara segar mulai terhirup, dimana pemerintah bersama masyarakat mulai memelihara iklim persatuan di atas berbagai etnis di bangsa ini.

Konflik sosial ini dapat membentuk solidaritas antar individu masyarakat dan memberikan jalan keluar untuk mencapai kesepakatan bersama. Dari berbagai perbedaan yang ada, pejuang terdahulu kita telah mengisyaratkan bahwa kita memiliki tujuan bersama yang dituliskan dalam alinea keempat UUD 1945. Jauh sebelum pesatnya perkembangan teknologi, kita telah diikat pada satu kesatuan untuk membangun keharmonisan nasional. Perbedaan dapat membuat kita kaya, kaya akan kedewasaan, ilmu, dan perasaan. Membenci perbedaan berarti kita membenci semua orang, karena setiap manusia memiliki keunikannya tersendiri, bahkan anak kembar sekalipun. Kita harus menanamkan prinsip bahwa hidup bukan tentang mempermasalahkan perbedaan, namun bagaimana kita saling melengkapi kekurangan satu sama lain. Sehingga sebagai penerus tongkat emas bangsa, sudah seyogyanya kita tidak menyulut api perbedaan atas setiap aspek dalam kehidupan ini. Tak peduli apa warna kulitnya, bagaimana fisiknya, ataupun darimana ia berasal, namun kaki kita telah sama-sama terpijak sebagai anak-anak ibu pertiwi. Maka dari itu, menjunjung nilai-nilai Pancasila yang dirancang dengan luhur dapat menjadi kunci bagi kita semua untuk membina dan memelihara persatuan bangsa di tengah keberagaman identitas sosial.

Made Adhiaksena Wikrama Putra