Pentingnya Kecerdasan Emosi Dalam Literasi Digital Untuk Menangkal Bias Kognitif
Oleh: Erwin Gunawan | PPTI 13 | 2502041445
“Sri Mulyani tetapkan tarif pajak 5% untuk penghasilan 5 Juta”. Akhir-akhir ini banyak media berita digital yang secara kompaknya memberitakan tagline berita seperti diatas. “wah kena palak lagi rakyat”, “aduh menguras uang rakyat”. Begitulah respond susulan wajar yang dilontarkan oleh netizen di Indonesia, pada isu baru yang dipahami dengan pengetahuan minim.
Namun dibalik hangatnya berita ini terdapat respond antusias masyarakat yang teramplifikasi begitu cepat. Respond dasyat yang terus mengalir di dunia digital inilah yang patut untuk dikaji dan dinilai. Jika dinilai secara seksama hal ini bisa saja memiliki implikasi yang buruk baik dilevel individu ataupun masyarakat. Implikasi buruk tersebut salah satunya adalah bias kognitif yang terbentuk dari penafsiran masal yang salah, kecerdasan emosi yang rendah dan tingkat literasi digital yang tidak memadai pula.
Bias kognitif pada otak kita sebenarnya ada untuk membantu kita menafsirkan suatu kejadian lebih cepat dan mudah. Namun bias kognitif seringkali malah membawa miskalkulasi dan mispersepsi. Contohnya pada kasus ini banyak sekali masyarakat yang salah mengira bahwa masyarakat dengan pendapatan 5 jt dikenakan pajak 5%. Padahal jika masyarakat membaca dengan seksama, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang harmonisasi pajak dan kaitannya dengan PTKP. masyarakat dengan pendapatan 5jt hanya dikenakan pajak 0.5% bukan 5%. Jelas hal ini membuat kelompok menengah bawah diuntungkan karena beban pajaknya menjadi lebih rendah.
Naasnya tingkat kecerdasan emosi yang rendah dari masyarakat menyebabkan munculnya fenomena psikologi bandwagon effect (kebiasaan kita mengadopsi perilaku atau keyakinan tertentu karena banyak orang lain melakukan hal yang sama). Rasa benci dan comment negative lebih cepat mengalir dibandingkan literasi lanjutan yang seharusnya dilakukan. Menyebabkan comment negative yang banyak dilakukan oleh banyak orang, sehingga menjadi terlihat logis dan wajar. Hal ini membuktikan bahwa baca, tulis, dan yang didapat setelah menunaikan 10 tahun wajib belajar masih belum cukup untuk memitigasi bias kognitif di era digital ini.
Literasi digital bukan hanya berbicara soal membaca berita digital, namun kemampuan untuk menggunakan, mengerti dan, membuat konten online. Mari garis bawahi kemampuan untuk mengerti, yaitu kemampuan untuk menilai, dan mengevaluasi informasi baik fakta maupun palsu. Sejak semua informasi di laman digital tidak turut membawa emosi dalam penyampaiannya. Disinilah peran kecerdasan emosi sangat penting. Kecerdasaan Emosi (Emotional Intellegence) penting untuk meningkatkan kebijaksanaan dalam memahami kebenaran informasi yang sifatnya multipersepsi atau sedang hangat. Karena manusia yang memiliki kecerdasaan emosi akan cenderung cepat menyimpulkan informasi berdasarkan judulnya saja. Sebaliknya manusia dengan kecerdasaan emosi yang tinggi akan cenderung (1) menantang kesimpulan awalnya, (2) menahan bias individunya, (3)memperlambat pengambilan keputusan, dan (4)mengkritisi judul berita baru tersebut.
Dengan adanya kecerdasan dalam mengatur emosi itulah, logika manusia dapat dipertahankan dan kegiatan literasi digital dapat dilanjutkan dan ditingkatkan. Dimana ketika literasi itu dapat di perdayakan lebih lanjut, implikasi dari bias kognitif di masyarakat yang sifatnya sistemik juga dapat dipotong tuntas. Pada akhirnya untuk menjadi rakyat digital yang kompeten, dimulai dari mindset yang dapat mengatur emosi diri sendiri, dilanjutkan dengan kebiasaan mengevaluasi dan literasi, hingga membuat kesimpulan yang objekif.
REFERENSI :
323-Article Text-2688-1-10-20220727.pdf
https://thedecisionlab.com/biases/bandwagon-effect
https://www.youtube.com/watch?v=cf4DZiw6r9E
https://www.youtube.com/watch?v=PXJ6MXeM_Cs&t=98s
https://www.youtube.com/watch?v=GgEGbMPJcAo
Baddeley M. Herding, social influences and behavioural bias in scientific research: Simple awareness of the hidden pressures and beliefs that influence our thinking can help to preserve objectivity. EMBO Rep. 2015;16(8):902–905. doi:10.15252/embr.201540637