Otonomi Daerah: Harapan dan Realita

Oleh: Steven Sumadi | PPTI 11 | 2502040404

Otonomi daerah merupakan sebuah produk politik dari orde reformasi, sebuah orde yang terkenal dengan kebebasan berpendapatnya, sebuah orde yang muncul setelah berakhirnya orde baru pada tahun 1998, sebuah orde yang menjadi puncak perjuangan dari para demonstran yang menginginkan Indonesia yang lebih baik, di mana kini rakyatnya bebas untuk berkumpul dan bebas untuk berpendapat. Otonomi daerah hadir setelah melihat bagaimana jalannya pemerintahan masa orde baru yang cenderung sentralistis. Di mana seluruh kebijakan-kebijakan yang dibuat, tertuju pada sebuah pulau, tepatnya sebuah provinsi, sebuah kota, kepada sekelompok orang dan berakhir kepada kepala negara Indonesia itu sendiri, presiden yang menjabat kala itu. Dengan pemerintahan yang sentralistis itu, partisipasi rakyat dibatasi pada berbagai hal mulai dari hak politik, sipil, budaya hingga sosial-ekonomi. Masyarakat tingkat lokal pun tidak bisa menyalurkan bentuk-bentuk peduli mereka terhadap pemerintahan, dan aspirasi mereka tidak dapat tercapai dengan baik. Oleh karena itu, otonomi daerah hadir sebagai lawan dari sentralisasi tadi, yakni desentralisasi. Dengan adanya desentralisasi itu pula, partisipasi masyarakat lokal sangat terbuka.

Secara sederhana, otonomi daerah berarti pemindahan tanggung jawab dari pusat ke daerah. Pemindahan tanggung jawab yang dimaksud adalah tentang perencanaan pembangunan. Setiap daerah pun dapat merencanakan pembangunan daerahnya masing-masing. Sebagai contoh, seorang pemerintah daerah dapat memperkenalkan UMKM lokal dengan pihak asing, di mana hal ini dapat menguntungkan daerahnya dalam hal perekonomian. Berbanding jauh dengan masa lalu, di mana bila bertentangan dengan pemerintahan pusat, maka akan langsung dibatalkan

Sistem ini memungkinkan daerah untuk mengelola sumber daya yang dimilikinya. Sumber daya yang dimaksud bisa berupa sumber daya politik, ekonomi, manusia, sosial hingga budaya. Dengan memanfaatkan sumber daya-sumber daya tersebut, sebuah daerah dapat membuat berbagai kebijakan program yang lebih adaptif, lebih fleksibel, tidak bersifat generalis sesuai dengan kebutuhan daerahnya masing-masing. Dengan demikian, kesejahteraan warga lokal pun akan meningkat.

Begitulah harapan dari adanya otonomi daerah di Indonesia saat ini. Tak dapat dipungkiri masih banyak permasalahan yang harus dihadapi oleh negara kita tercinta ini. Sebagai contoh dari permasalahan tersebut adalah tentang bagaimana kondisi otonomi daerah di daerah-daerah terpencil di Indonesia saat ini. Daerah terpencil cenderung memiliki keterbatasan sumber daya manusia yang berkualitas, sehingga pengelolaan keuangan dan perencanaan pembangunan sulit untuk dilakukan dengan baik. Akses yang mereka miliki pun sering kali mengalami keterbatasan, baik akses terhadap sumber daya maupun terhadap informasi dan teknologi. Tak jarang pula, daerah terpencil juga kerap kali terlalu bergantung kepada pemerintah pusat dalam hal sumber daya dan dukungan keuangan yang menjadikan mereka tidak mampu secara mandiri mengambil kebijakan yang seharusnya dibuat. Tidak berhenti di sana saja, masalah sosial dan budaya yang cukup kompleks seperti konflik antar suku dan agama juga masih saja terus terjadi. Dengan demikian, apakah benar otonomi daerah bisa mengatasi permasalahan-permasalahan yang dialami oleh daerah terpencil, atau justru menyulitkan mereka untuk bisa membuat kebijakan-kebijakan secara mandiri karena untuk sehari-harinya saja masih bergantung kepada pemerintah pusat? Lalu apabila pengelolanya sudah baik sekalipun, apakah sumber daya yang dimilikinya cukup untuk memajukan daerah tersebut?

Permasalahan dalam menerapkan otonomi daerah di Indonesia pun tidak hanya sebatas daerah-daerah terpencil saja. Praktik otonomi daerah di Indonesia cenderung eksklusif. Pemerintah cenderung mengutamakan konstituen yang memilih, dan seakan melupakan pihak yang tidak memilih. Padahal mereka pun masih berada pada sebuah wilayah yang sama, sebuah negara yang sama. Hal ini tampak pada adanya praktik KKN serta adanya eksklusi sosial, yakni kebijakan-kebijakan yang menutupi fasilitas umum untuk dinikmati secara adil. Pertanyaan yang sama tentang otonomi daerah pun dapat muncul kembali melihat permasalahan tersebut. Apakah dengan adanya otonomi daerah, pemerintah daerah yang dilimpahkan tanggung jawab tersebut benar-benar membuat kebijakan yang sesuai dan merupakan harapan dari seluruh warganya atau hanya sekadar permainan politik belaka, guna memudahkan praktik korupsi, dengan menciptakan ladang keuntungan dari sebuah sistem yakni otonomi daerah?

Otonomi daerah tidak hanya berbicara tentang sebuah pemikiran yang sederhana yakni sebagai pemindahan tanggung jawab perencanaan pembangunan dari pusat ke daerah saja, melainkan adalah sebuah komitmen yang seharusnya ditekuni oleh seluruh warga negara Indonesia pada tiap-tiap daerah asalnya masing-masing. Kebijakan-kebijakan pembangunan yang dibuat, harus merupakan respons dari masyarakat lokal itu sendiri. Harus ada keseriusan dalam hal mengambil partisipasi dalam sistem otonomi daerah ini sendiri. Kegiatan-kegiatan sederhana seperti mematuhi aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah seperti beralih menggunakan tas ketimbang kantong plastik saat berbelanja misalnya, sudah menjadi bagian dari partisipasi dalam jalannya otonomi daerah di Indonesia. Namun, apabila memiliki kesempatan yang lebih lagi dalam membangun daerah, maka tidak ada salahnya mengambil partisipasi yang lebih besar lagi dengan komitmen membangun negeri. Dengan demikian, otonomi daerah baru benar-benar akan mewujudkan Indonesia yang maju dan sejahtera.

Sulit dikata dan diperbuat rasanya. Otonomi daerah yang benar-benar sempurna, yang bukan hanya sebatas kata-kata dan tulisan saja. Otonomi daerah yang benar-benar memajukan setiap daerah, menjadikannya mandiri namun masih tetap memegang teguh cita-cita negara, sebagai negara yang satu dan untuk menjadi bagian dari negara-negara maju. Otonomi daerah yang bersih dari praktik-praktik kotor yang merusak negeri. Otonomi daerah yang mengedepankan aspirasi warga lokalnya. Namun dengan memegang teguh komitmen membangun negeri, sebuah sistem sederhana tersebut akan menunjukkan siapa itu Indonesia, di kancah internasional.

Steven Sumadi