“Masing-Masing Orang Indonesia Hendaknya Bertuhan, Tuhannya Sendiri”

Oleh: Faustinus Sirken, S.S., M.A

Pendahuluan

Tradisi waktu umat Kristen (Katolik dan Protestan), bulan November sampai Desember sebagai kesempatan berefleksi secara khusus mengenai kedatangan Tuhan pada akhir zaman (Sacrosanctum Concilium, 102). Teks-teks Kitab Suci yang dibacakan mengkaji dan merefleksi makna intrinsik religius dalam pokok iman kedatangan Tuhan pada akhir zaman. Peristiwa-peristiwa iman yang disimbolkan dalam ritual pengaktualisasian makna intrinsik kedatangan Tuhan pada akhir zaman ini, dengan perayaan akhir Masa Liturgi Gereja dan Perayaan Kelahiran Yesus Kristus (Perayaan Natal).

Spiritualitas waktu ini, menginspirasi saya untuk menyelidiki pengalaman ketuhanan para pendiri bangsa kita. Dengan maksud untuk menemukan makna intrinsik pengalaman ketuhanan pendiri bangsa Indonesia sehingga dapat menginspirasi juga putra-putri bangsa Indonesia zaman ini. Memotivasi putra-putri bangsa agar dapat merefleksikan, menemukan, dan mengaktualisasikan pengalaman ketuhanannya sendiri dalam hidup berbangsa dan bertanah air Indonesia.

Jadi, tulisan ini berisikan saduran pengalaman berketuhanan tokoh-tokoh pahlawan pendiri bangsa Indonesia, yakni: Haji Abdul Malik Karim Amrulla (HAMKA), H. Agoes Salim, Mohammad Hatta, dan Soekarno (Yudi Latif, 2014).

Pengalaman Berketuhanan Pendiri Bangsa Indonesia

Pada pidato 1 Juni 1945, Soekarno menguraikan prinsip ketuhanan sebagai berikut: “Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri.  Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al-Masih; yang Islam menurut petunjuk nabi Mohammad Saw; orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semua ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme agama’. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan.” (Yudi Latif, 2014).

Masyarakat zaman pra-sejarah Nusantara telah mengembangkan sistem kepercayaan tersendiri, bercorak Animisme dan Dinamisme. Animisme (anima: roh) kepercayaan bahwa setiap benda di bumi ini mempunyai jiwa yang mesti dihormati agar roh dibalik benda tersebut tidak mengganggu manusia. Namun sebaliknya roh itu membantu  manusia dari roh jahat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Sementara Dinamisme merupakan sistem kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidupnya.

Kemudian, sekitar abad ke-3 dan ke-4 masehi mulai masuk agama sejarah dari India (Hindu dan Budha), pengaruh Islam dari Timur Tengah abad ke-7 dan berkembang luas sejak abad ke-13, hampir bersamaan dengan pengaruh Islam masuk pula agama Konghucu, menyusul kemudian pengaruh Kristen dari Eropa sejak abad ke-16. Penyebaran sistem agama-agama sejarah ini tidak serta merta menghilangkan sistem keagamaan politeistik masyarakat pra-sejarah Nusantara. Pengalaman sejarah ini memberi tanda bahwa Tuhan telah hadir terlibat dalam kehidupan masyarakat Nusantara.

Sebab itu, munculah kesepakatan dalam memandang pentingnya nilai-nilai ketuhanan dalam negara Indonesia merdeka. Para pendiri bangsa Indonesia tak bisa membayangkan kehidupan kebangsaan dengan hampa Tuhan. Maka sidang pertama BPUPKI (29 Mei-1 Juni 1945) memandang nilai-nilai ketuhanan sebagai fundamen yang penting bagi negara Indonesia merdeka. Dalam pembukaan UUD 1945, terdapat suatu pengakuan para pendiri bangsa yang rendah hati dan penuh syukur bahwa kemerdekaan Indonesia bisa dicapai berkat rahmat Tuhan yang mahakuasa. Pengakuan ini mencerminkan sikap religius para pendiri bangsa yang dalam pergulatan panjang, dengan berbagai kesulitan, penderitaan dan kemelaratan sungguh merasakan makna kehadiran, perlindungan dan kasih sayang Tuhan.

Pergulatan panjang para pendiri bangsa menemukan Indonesia, sejalan dengan pengalaman pergulatan masing-masing dalam menemukan Tuhan. Terdapat banyak cara dalam meniti jalan Tuhan. Ada yang bertumbuh dalam lingkungan religius atau sejak kecil tertarik pada masalah-masalah spiritual kemudian memperdalam ilmu-ilmu keagamaan dan akhirnya menjadi pemimpinan keagamaan. Ada juga yang mendekati Tuhan dengan mencoba masuk dari berbagai jalan dan berujung dengan menemukan jalurnya yang benar menuju Tuhan. Ada pula yang berangkat dari latar belakang kompleksitas keyakinan, namun pada akhirnya menemukan keyakinak akan adanya Tuhan yang menjadikan segalanya.

Pengalama berketuhanan Haji Abdul Malik Karim Amrulla (HAMKA). Ia lahir dari seorang ulama besar, Haji Abdul Karim Amrullah.  HAMKA dijuluki “Kiai Cinta,” yakni cinta altruistik yang memberi tenaga dan harapan bagi hidup. Ia dibesarkan dalam budaya dan agama yang kuat, ditambah penderitaan yang dialaminya pada masa kanak-kanak membentuk jiwanya yang menjadi peka terhadap masalah sosial kemasyarakatan.  Dalam usia sepuluh tahun, secara emosional HAMKA merasa berjarak dengan ayahnya yang memiliki jiwa keras (diktator) dalam mendidik. HAMKA tidak mau pulang ke rumah, tidak mau mengaji, bosan mendengarkan Kitab Fiqih yang diajarkan di Thawalib. Kerenggangan antara anak dan ayah ini, bukan sekadar ketegangan relasi individual, melainkan juga merupakan gelagat dari getaran ketegangan dalam masyarakat. Di mana sejak awal 19, Minangkabau diterjang konflik nilai yang berasal dari jantung dunia Islam, Timur Tengah (Yudi Latif, 2014).

Gaya revivalisme melanda dunia Islam sejak akhir abad ke 17. Melawan gaya visual revivalisme ini, maka para pembaharu menghendaki Islam yang relevan untuk segala zaman. Dilakukan suatu introspeksi yang memberi kesimpulan bahwa Islam yang dipraktekkan banyak menyimpang dari ajaran asli. Islam yang menyimpang mengandung banyak bid’ah dan takhyul yang dimistifikasi secara taqlid, yang tidak memungkinkan adanya pembaharuan. Dua jalan keluar yang diambil yakni: Pertama, perlu upaya pemurnian Islam dengan kembali ke sumber-sumber skriptural (teks) yang original, Al’quran dan hadis; Kedua, perlu menjebol dinding taqlid dengan membuka kembali pintu Ijtihad untuk menyelidiki secara rasional relevansi Islam dengan dinamika perkembangan masyarakat. Sepanjang abad ke 19 gerakan reformisme Islam ini merupakan wacana dan ideologi yang dominan di Makkah dan Madinah yang mengalirkan udara segar ke seluruh pelosok dunia Islam, yang membawa tantangan berat bagi kehidupan adat, juga bagi perkembangan Islam tarekat di Sumatera Barat sejak abad ke 18.

HAMKA kecil menyaksikan lapis-lapis arkeologi pengetahuan yang terbelah. Jejak-jejak pengaruh “Islam tarekat” yang disemai kakeknya masih tersisa, dihadapkan pada gempuran “Islam Syariat.” Keterbatasan pemikir Islam dan referensi dalam pengetahuan modern membuat gerakan kaum muda yang dikembangkan ayahnya lebih menekankan dimensi kemurnian daripada pembaharuan. Bentrokan antara dunia kakek dan dunia ayah tersebut memacuh HAMKA untuk melewatinya. Berjarak dengan ayah, disertai mentalitas perantau Minangkabau memacuh HAMKA mengembara mencari jati dirinya. Berbekal kemampuan akademis baca-tulis (huruf Arab dan Latin), pada tahun 1924 merantau ke Jawa, ke Makkah, Sumatera Timur, Sulewesi Selatan, Medan, hingga menetap di Jakarta. Di Yogyakarta, HAMKA mengenal pandangan Islam dari ilmu pengetahuan Barat, yaitu Islam dan Sosialisme (H.O.S Tjokroaminoto), pengetahuan Sosiologi (Soerjopronoto), filsafat dan sejarah Islam (K.H. Mas Mansur), dan ilmu tafsir (Ki Bagus Hadikusumo). Di Pekalongan ia mendalami studi Al’quran (A.R Sutan Mansur). Dan di Bandung belajar menulis dalam majalah Pembela Islam (A. Hassan dan M. Natsir).

Dapat disimpulkan bahwa, keterlibatan HAMKA dalam jaringan aneka ilmu pengetahuan menumbuhkan kedalaman jiwanya sehingga menjadi pribadi yang berkarakter, produktif, toleran dan estetik. Ia berpendapat secara bijaksana, berpihak kepada kesetaraan gender dan melawan arus skeptisme. HAMKA merupakan perwujudan dari ekspresi Islam yang luas, lentur dan estetik. Menjadi pribadi yang produktif karena membawa kebaikan bersama kepada banyak orang.

Pengalaman berketuhanan H. Agoes Salim melalui pergulatan “keluar masuk.” Ia lahir dari Mohamad Salim seorang jaksa pribumi (hoofd jaksa) pemerintah Belanda. Salim mempertahankan komitmen yang kuat pada ajaran Islam. Ia melanjutkan studi ke sekolah menengah Hoogere Burger School (HBS) di Jakarta yang menimbulkan keheboan warga kampung. Sebab sekolah Belanda dianggap bukanlah sekolah bagi Muslim yang taat. Ia tinggal di rumah sebuah keluarga Belanda menjalani sekolah Belanda pada masa rezim pemerintahan Liberal, dengan sistem pendidikan liberal yang mengabaikan pendidikan agama. Situasi demikian memengaruhi sikap keagamaan pada dirinya. Ia mengakui, bahwa meskipun lahir dalam keluarga Muslim yang taat dan mendapat pendidikan agama, sejak masa kanak-kanak, namun (setelah masuk sekolah Belanda) Salim mulai merasa kehilangan iman. Ia mengakui bahwa pendidikan yang diperoleh di sekolah menengah (HBS) telah menjauhkannya dari agama.  Namun bagi Salim seorang yang terdidik, merosotnya semangat dan identitas keagamaan bukanlah merupakan kondisi yang tetap. Salim yang kecewa dengan kehidupan priayi dan beragama diskriminasi yang berlaku dalam sistem kolonial, dan kesempatan bergaul dengan tokoh-tokoh keagamaan sanggup memulihkan kembali semangat keagamaannya. Ketika ia bekerja atas nama pemerintah Belanda dan bukan pemerintahan kolonial di Jeddah-Makkah, ia mendekatkan diri dengan komunitas pembelajaran Islam. Di sini, Salim berjumpah dengan Achmad Khatib (pamannya) ulama besar Nusantara di Makkah dan Madinah. Peretemuan ini sebagai titik balik Salim dalam penemuan kembali identitas Islamnya. Saat Kembali ke Indonesia pada tahun 1911, kesadaran keagamaannya menemukan ruang ekspresinnya dalam Sarekat Islam sejak tahun 1915. Sebagai tokoh Islam, Salim mengkritik nasionalisme ala Eropa yang dianggapnya telah meminggirkan Tuhan, sebaliknya ia mengajukan gagasan nasionalisme yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan. Ketika Salim menjadi anggota BPUPKI, sebagai salah satu tokoh dari “golongan Islam” yang tidak sepenuhnya menghendaki penyatuan agama dan negara (Negara Islam).

Jadi, singkat disimpulkan bahwa pengalaman akan ketuhanan terwujud melalui hubungan Salim yang erat dengan tokoh-tokoh lintas agama, lintas etnis dan lintas organisasi. Lingkungan pergaulan yang lintas batas ini mewarnai jiwanya yang menghargai perbedaan.

Pengalaman berketuhanan Mohammad Hatta. Ia menapaki jalan Tuhan dengan cara terus melangkah walaupun jalanan berkelok. Hatta lahir di Bukittinggi, berasal dari keluarga yang kuat agamanya. Kakeknya Syekh Abdurrahman pendiri utama Surau Batuampar sebagai pusat pengajaran Tarekat Naqsyabandiyyah. Ayahnya Hadji Muhammad Djamil seorang ulama muda yang terkenal, meninggal pada saat Hatta masih berusia 8 bulan. Tidak jauh dari rumah Hatta, terdapat surau atau rumah Syekh Mohammad Djamil Djambek yang membimbing Langkah pertama Hatta ke jalan pengetahuan Islam (mengaji Quran). Selain itu Hatta kecil sering mendengar nasihat kakeknya tentang jalan spiritual, yakni bahwa dalam agama tidak ada paksaan – jalan ke Tuhan ialah meyakinkan orang lain dan dimulai dengan meyakinkan diri sendiri. Ketika pindah ke Padang, Hatta masuk sekolah dasar Belanda (ELS), kemudian melanjutka ke sekolah menegah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Pertengahan 1918 keputusan pemerintah memberi kesempatan kepada murid-murid MULO untuk mendapatkan pelajaran agama satu jam seminggu. Di sinilah Hatta berkesempatan menerima pelajaran agama Islam dari Hadji Abdullah Ahmad. Maka bersambunglah kembali pendidikan agama yang teratur, menurut cara baru, setelah terputus 5 tahun. Hatta melanjutkan sekolah menegah ekonomi atas di Jakarta, dan pada tahun 1921 berangkat ke Belanda untuk kuliah sekolah tinggi ekonomi Handels-Hoogeschool di Roterdam. Dengan dasar kerohanian yang kuat Hatta tidak pernah mengalami culture shock yang membuatnya harus memudarkan keyakinan. Memasuki budaya tinggi di Eropa, Hatta tetap taat menjalankan tuntutan agamanya. Sebagaimana biasa setelah bangun pagi hari sembahyang subuh dan membaca koran. Hatta dibujuk menjadi anggota perkumpulan Teosofi, namun dengan halus menolaknya dengan alasan taat pada Islam. Keteguhan pendirian akan keyakinannya juga membuat Hatta tidak memiliki keberanian untuk minum alkohol yang memabukkan. Sebab itu, ia sering menjadi bahan ledekan teman-temannya ketika makan di restoran, Hatta memilih minum air es daripada minum bir yang memabukkan. Meskipun berpegang tegu pada pendirian keagamaannya Hatta tetap mengembangkan pergaualan yang luas dan luwes. Selama kuliah di Belanda, Hatta menjadi aktivis Perhimpunan Indonesia, menjalin hubungan erat dengan aktivis-aktivis berlatar Sumatera, Jawa, Sunda, Indonesia Timur, dan Tionghoa. Bahkan Hatta tak segan menjalin komunikasi dengan aktivis-aktivis komunis seperti Tan Malaka dan semaun. Pergaulannya dikembangkan ke gelanggang internasional dalam liga-liga anti-penjajahan. Ia dikeluarkan dari keanggotaan liga karena menentang imperialisme dan Kemerdekaan Nasional yang berhaluan Komunis. Hatta dituduh berhaluan reformis.

Dengan singkat, Hatta menjadi seorang Muslim yang teguh dengan tetap bersifat inklusif. Ia memberi tamsil bahwa cara beragamanya tidak ingin seperti memakai “gincu”, yang begitu jelas terlihat namun kehadirannya tak bisa dirasakan orang lain. Hatta menekankan cara beragama yang tidak terlihat, namun kehadirnnya bisa dirasakan oleh setiap orang.

Pengalaman berketuhanan Soekarno. Ia mendekati Tuhan dengan mencoba masuk dari berbagai jalan, dan menemukan ujung yang benar menuju Tuhan. Soekarno berangkat dari kompleksitas keyakinan. Kakeknya menanamkan pada dirinya kebudayaan Jawa dan mistik. Bapaknya menanamkan Teosofi dan Islamisme. Ibunya menanamkan Hinduisme dan Budhisme. Ia menemukan Islam lebih lanjut saat tinggal di rumah Tjokroaminoto sewaktu sekolah di HBS Surabaya. Soekarno menuturkan, aku juga seorang yang takut kepada Tuhan dan cinta kepada Tuhan, itulah sifat yang melekat padaku sejak lahir. Aku tidak pernah mendapatkan didikan agama yang teratur karena bapakku tidak mendalaminya. Aku menemukan sendiri agama Islam pada usia 15 tahun, ketika aku mengikuti keluarga pak Tjokro masuk suatu organisasi agama dan sosial Bernama Muhammadiya. Sekali sebulan, dari pukul delapan sampai tengah malam, sertus orang berdesak-desakan mendengarkan pelajaran agama dan disusul dengan tanya jawab.” Pada pertengahan tahun 1920-an, saat kuliah di Bandung, berbagai kesulitan dan tantangan hidup membuatnya semakin mendekat kepada Tuhan. Seturut pengakuannya, ia banyak berpikir dan berbicara tentang Tuhan. Sekalipun di daerahku Sebagian besar rakyat beragama Islam. Namun konsepku tidak disandarkan semata-mata kepada Tuhannya orang Islam. Bahkan selagi aku melangkah ragu pada awal jalan yang menuju kepada ketuhanan, aku tidak melihat Yang Mahakuasa sebagai Tuhan seseorang. Menurut jalan pikiranku, kemerdekaanm bagi kemanusiaan meliputi juga kemerdekaan beragama.

Pelbagai cobaan yang menimpa dirinya, mulai dari persoalan keluarga dan tantangan perjuangan yang dipikulnya setelah penangkapan Pak Tjokro tahun 1921, membuat Soekarno lebih sensitif terhadap ketuhanan. Dengan peristiwa ini ia banyak memperhatikan hal-hal kerohanian. Kedukaan telah membuka pikirannya mencari ketenangan dari Tuhan. Suasana kejiwaan demikian bertautan dengan perjumpaannya dengan berbagai tokoh lintas agama. Ketika H. Agoes Salim datang ke Bandung, Bung Karno mengunjunginnya. Bermula dari diskusi tentang pergerakan nasional, lalu mengerucut pada soal agama dan Tuhan. Setelah uraian dan pertukaran pikiran mengenai segi-segi ketuhanan hingga larut malam, apa yang menjadi pemahaman Salim tidak selalu cocok dengan jalan pikiran Bung Karno. Saya belum tahu betul tentang Tuhan, tetapi saya merasa pasti bahwa Allah yang tuan gambarkan itu tidak cocok dengan pendapat saya. Soekarno juga bertemu dengan pastor Frans van Lith. Berdebat karena Tuhan yang digambarkan tidak cocok dengan jalan pikirannya. Bung Karno menyangsikan, bahwa Tuhan itu kebesarannya tidak terbatas, tetapi kenapa oleh van Lith dibatasi pada apa yang baik saja, sedangkan yang buruk bukan datangnnya dari Tuhan? Ini tidak cocok.

Dalam pencarian berikutnya, Soekarno sering mengunjungi kampung-kampung dan gang-gang kumuh untuk mencari Tuhan seperti yang dilukiskan oleh Tolstoy, bahwa Tuhan berada di tempat-tempat yang penuh debu. Karena bagi Bung Karno, orang tidak dapat mengabdi pada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia. Tuhan bersemayam di gubuk si miskin. Pencarian menghantarkannya pada buku-buku Hinduisme dan Buddhisme. Namun baginya belum cepat puas, bahkan berseru “bukan begitu adanya Tuhan, meski sudah mendekati reinkarnasi.” Itu titis-menitisnya manusia dari satu badan ke lain badan, dari satu penghidupan ke lain penghidupan. Namun masih ada pertanyaan, yakni bila manusia diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan dan dosanya, apakah manusia mempunyai dirinya sendiri? Baginya tidak, sehingga belum memuaskan.

Soekarno menjadi lelah, tak kunjung menemukan yang dicari. Saat terlintas di kepalanya, siapakah yang mengatur perjodohan antara ayahnya dari Jawa dan ibunya dari Bali? Bila ayahnya tidak dikirim sebagai guru ke Bali, niscaya tidak terjadi perjodohan. Siapa yang mengirim ayahnya ke sana supaya bertemu dengan sang ibu, di sini kemudian ia bertemu bahwa DIA (Tuhan) yang mengatur. Meskipun pencarian spiritualnya masih jauh dari akhir, sekarang Bung Karno merasa lebih tenang karena sudah menemukan keyakinan akan adanya Dia yang menjadikan segalahnya.

Soekarno menemukan keyakinan ketuhanan dan keagamaanya ketika ia di penjarah dan diasingkan. Pada tahun 1930 sebagai ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) ia dijebloskan di penjara Banceuy. Kemudian pindah ke penjarah Sukamiskin. Berkat bacaan keagamaan dan renungan spiritual yang mendalam selama di penjarah, barulah menemukan Islam dengan sungguh-sungguh dan benar. Di dalam penjarah dirinya menjadi penganut Islam yang sebenarnya.

Pada thun 1934, Soekarno diasingkan ke Ende, di pulau Flores. Di sini ia merenungkan dan mematangkan konsep ketuhanan dalam kaitannya dengan nilai-nilai dasar kebangsaan secara lebih mendalam. Kesadaran religiusitas mendorongnya lebih banyak belajar agama, dengan pasokan buku-buku agama dan bersurat-menyurat dengan tokoh-tokoh keagamaan. Kesadara ini, memberikan dimensi tambahan terhadap Marhaenisme, selain asas sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Di Pulau Flores yang sepih, Soekarno telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya di bawah sebatang pohon di halaman rumahnya, merenungkan ilham yang diturunkan oleh Tuhan, yang kemudian dikenal sebagai Pancasila.

Selanjutnya, Bung Karno tumbuh sebagai pemimpin politik dengan penghayatan spiritual yang dalam. Dalam uraiannya mengenai Pancasila dan hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Ia menyebut dasar Indonesia terdiri dari lima sila, yang berakar kuat dalam jiwa bangsa Indonesia, angka lima juga memiliki nilai simbolik dalam masyarakat Indonesia, yaitu “rukun Islam” pun jumlahnya lima. Soekarno yang percaya pada mistik. Tidak dapat menggambarkan dengan masuk akal mengapa tanggal 17 memberikan harapan bagi dirinya. Namun ia merasa tujuh belas adalah angka yang suci, angka keramat di mana Al-Quran diturunkan tanggal 17. Orang Islam melakukan sembahyang 17 rakaat. Kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia. Soekarno menyadari takdir Tuhan bahwa Hari Kemerdekaan Indonesia akan jatuh di hari keramat-Nya. Proklamasi akan berlangsung tanggal 17.

Jadi, Soekarno yang mencoba memungkiri jalan Tuhan, tidak dapat meniadakan kenyataan bahwa dirinya sebagai manusia di mana pun ia merasa keahusan terhadap agama dan tetap berusaha untuk mempertahankannya. Harus diakui juga, bahwa di mana agama dimungkiri dalam bentuk-bentuk tertentu, justru timbul bentuk-bentuk lain yang menjadi penggantinya. Soekarno tetap terdorong ke arah sesuatu hal yang dipandang mutlak, yakni menyerahkan dan mencurahkan dirinya dengan cara yang total kepada Tuhan dalam memastikan ideologi Pancasila bagi cita-cita kesejahteraan bersama bangsa Indonesia.

Penutup

Pengalaman berketuhanan Haji Abdul Malik Karim Amrulla (HAMKA). Keterlibatan dalam jaringan aneka ilmu pengetahuan menumbuhkan kedalaman jiwanya sehingga menjadi pribadi yang berkarakter, produktif, toleran dan estetik. Menjadi pribadi yang produktif karena membawa kebaikan bersama kepada banyak orang. Pengalaman berketuhanan H. Agoes Salim. Lingkungan pergaualan yang erat dengan tokoh-tokoh lintas agama, lintas etnis, lintas organisasi mewarnai jiwanya yang menghargai perbedaan. Pengalaman berketuhanan Mohammad Hatta, menjadi seorang Muslim yang teguh dengan tetap bersifat inklusif. Menekankan cara beragama yang tidak terlihat, namun kehadirnnya dirasakan oleh setiap orang. Pengalaman berketuhanan Soekarno, mencoba memungkiri jalan Tuhan, namun merasa kehausan dan tetap berusaha mempertahankannya. Arah orientasi totalitas hidup kepada yang dipandang mutlak (adalah Tuhan) dasar ideologi Pancasila bagi cita-cita kesejahteraan bersama bangsa Indonesia.

Pengalaman berketuhanan para pendiri bangsa ini dapat memotivasi putra-putri bangsa untuk menemukan juga pengalaman masing-masing ber-Tuhan zaman ini. Kita pun menyadur dalam refleksi personal dan komunal pengalaman berketuanan selama tahun 2022. Berkarakter produktif, toleran dan estetik yang membawa bonum commune kepada banyak orang. Memajukan pergaulan lintas batas (agama, etnis, budaya) dalam menghargai perbedaan. Menjadi pribadi beragama yang teguh dengan tetap berkarakter inklusif sebagai cara beragama yang tidak kelihatan namun kehadiran intrinsiknya dirasakan oleh banyak orang. Mengarahkan orientasi totalitas hidup kepada yang dianggap mutlak (nilai-nilai ketuhanan) yang mendasari cita-cita kesejahteraan bersama.

Daftar Rujukan

Second Vatican Council. (1963). Sacrosanctum Concilium, inaugurated by Paus Paulus VI Desember 4, Rome.

Yudi Latif. (2014). MATA AIR KETELADANAN (Pancasila dalam Perbuatan). Bandung: Mizan Media Utama.

Faustinus Sirken, S.S., M.A