Korupsi di Tingkat Daerah: Meninjau Implementasi Otonomi Daerah Saat Ini
Oleh: I Putu Denio Pranatha Ramananda | PPTI 12 | 2502040493
“Dalam otonomi daerah, anggaran daerah menjadi pintu yang paling mungkin bagi setiap wilayah untuk mendinamiskan kegiatan pembangunan daerah melalui alokasi anggaran yang tepat.” -Achmad Maulani
Didasari dengan semangat pelayanan kepada masyarakat, otonomi daerah mulai diterapkan di Indonesia sejak tahun 1945, melalui UU Nomor 1 tahun 1945. Sampai saat ini, otonomi daerah menjadi suatu media bagi setiap daerah untuk dapat mengatur aparatur, kekayaan, pajak dan retribusi, serta sumber daya alam daerah. Otonomi daerah telah banyak membantu daerah untuk berkembang sesuai dengan keunggulan daerahnya sendiri dan melayani masyarakat sepenuhnya. Akan tetapi, di balik keuntungan-keuntungan daerah ini, terdapat beberapa kekurangan dari otonomi daerah. Kutipan oleh peneliti ekonomi politik Universitas Gadjah Mada, Achmad Maulani, di atas barangkali telah menggambarkan salah satu kelebihan, sekaligus celah kekurangan otonomi daerah, yaitu kontrol alokasi anggaran pembangunan daerah yang mungkin dapat menyebabkan adanya korupsi dan praktik kecurangan lainnya.
Menilik Titik Kelemahan Sistem Desentralisasi
Karena adanya otonomi daerah, setiap daerah dapat melakukan pengajuan permohonan Rancangan Anggaran Pembangunan Daerah (RAPBD) kepada DPRD yang disertai dengan dokumen pendukung. Dari sana, APBD akan ditetapkan dan dipergunakan oleh daerah untuk pembangunan dan kepentingan lainnya. Otonomi deaerah juga memungkinkan segala bentuk pelayanan terhadap masyarakat dilakukan oleh aparatur daerah. Pelayanan masyarakat ini meliputi segala pelayanan dalam bentuk barang maupun jasa yang dilakukan oleh Instansi Pemerintahan Daerah atau Badan Usaha Milik Daerah. Melihat kondisi tersebut, otonomi daerah dapat dikatakan memberi banyak celah untuk uang dan kepercayaan dapat berpindah tangan, akibat banyaknya pemangku kepentingan untuk pelayanan sampai di tangan masyarakat. Hal ini akan meningkatkan risiko terjadinya korupsi dan politik uang dalam proses-proses pemerintahan daerah.
Secara spesifik, jenis kecurangan menyangkut keuangan yang terjadi di dalam proses ini yaitu 1) Persekongkolan dengan anggota legislatif untuk membuat anggaran-anggaran yang digunakan untuk kepentingan pribadi. 2) Suap untuk memenangkan proses-proses tender yang dilakukan oleh pihak swasta kepada pemerintah daerah. 3) Pemalsuan mark-up anggaran dengan pembuatan nota palsu, serta 4) Pendepositoan anggaran. Terdapat banyak sekali kasus nyata dari kecurangan ini, dari kasus suap yang dilakukan mantan Wali Kota Malang, Mochammad Anton, kepada belasan anggota DPRD untuk pembahasan dan pengesahan APBD-P Pemkot Malang, hingga kasus Wali Kota Ambon, Richard Louhenapessy, yang diduga menerima sejumlah suap dari pihak swasta yang mengikuti lelang proyek pengadaan.
Dengan menjamurnya praktik korupsi di daerah, pemerintah dituntut untuk menciptakan sistem yang dapat mencegah kecurangan-kecurangan yang meluas ini, dengan jangkauan 37 provinsi yang sekarang dimiliki Indonesia. Pengecekan ganda APBD di tingkat pusat, pengawasan anggaran daerah secara langsung oleh pihak independen, serta peningkatan hukuman terhadap koruptor merupakan beberapa hal yang dapat diperbaiki di kemudian hari. Dengan lebih efektifnya keuangan pada tingkat daerah, otonomi daerah yang didasari pada semangat pembangunan juga akan menjadi suatu senjata untuk membawa semua daerah di Indonesia ke arah yang lebih sejahtera.