Geçmiş Olsun Türkiye!
Oleh: Sitti Aaisyah (alumni Departemen Sistematika Filsafat dan Logika, Ankara University,
saat ini sebagai Dosen di Bina Nusantara Jakarta
Turki sedang mengalami ujian yang begitu berat. Turki dihantam gempa di tengah musim dingin dengan suhu yang ekstrim. Merespon bencana nasional yang sedang dialami Turki, Presiden mengumumkan sebagai 85 miliyon tek yürek olma günü, yaitu hari 85 miliar jiwa menjadi satu hati. Setelah gempa bumi yang menghantam Turki pada 6 Februari 2023 yang terjadi pertama kali pada pukul 04.26 (Waktu Turki) yang berkekuatan 6,4 SR yang kemudian dilanjutkan dengan beberapa kali gempa susulan yang juga dalam skala tinggi dan yang paling menghancurkan adalah yang terjadi pada pukul 13.24 gempa berkekuatan 7,8 SR, menimbulkan korban jiwa meninggal, korban luka dan kerusakan infrasturktur yang cukup massif. Bisa dikatakan, ini adalah gempa dengan dampak terburuk sepanjang sejarah Turki. Tercatat bencana gempa yang juga cukup banyak memakan korban jiwa dan kerusakan fisik adalah pada 17 Agustus tahun 1999 yang menghantam daerah Istanbul dan daerah sekitar dengan kekuatan gempa 7.6 SR. Gempa dengan skala 7,2 SR juga menghantam provinsi Van pada tahun 2011.
Episentrum gempa berada di bagian timur Turki yang berbatasan dengan Suria dan Lebanon. Daerah yang parah terdampak ada 10 provinsi, yaitu Kahramanmaras, Adana, Gaziantep, Malatya, Diyarbakir, Osmaniye, Hatay, Sanliurfa, Kilis, dan Adiyaman. Sudah dua hari berlalu, gempa masih terus terjadi meski dengan skala tidak terlalu tinggi. Pemerintah menetapkan masa darurat selama 3 bulan dan mengerahkan seluruh personil kepolisian dan keamanan untuk melakukan penjagaan.
Puluhan ribu personel AFAD (BNPB Turki) dan petugas kesehatan serta rakyat Turki yang mendaftar sebagai relawan dikirimkan langsung ke daerah bencana. Jalan lintas provinsi yang rusak dan terbelah karena gempa, sehingga tidak bisa dilalui kendaraan dari arah barat Turki. Oleh karena itu, seluruh bala bantuan dan logistik dikirmkan melalui jalur udara dan laut. Untuk jalur laut melalui pelabuhan Mersin, bantuan diantarkan dengan kapal menuju pelabuhan Iskandarun di Hatay dan baru kemudian didistribusikan ke daerah-daerah terdampak. Begitupun korban luka yang tidak bisa lagi ditampung di rumah sakit daerah, melalui pesawat dan kapal laut mereka diangkut dan dibawa ke kota-kota besar lainnya termasuk Istanbul untuk mendapatkan perawatan.
Kita perlu belajar banyak dari Turki bagaimana merespon bencana dengan sangat baik. Kondisi yang dialami Turki begitu memprihatinkan. Dalam satu hari, 10 provinsi luluh lantak karena gempa di tengah musim dingin yang begitu berat. Selain akses jalanan darat yang tertutup sehingga mempersulit bantuan masuk ke daerah tersebut, daerah-daerah terdampak juga kekurangan alat berat untuk menyelematkan korban di bawah reruntuhan, termasuk mengungsikan ratusan ribu warga yang tidak bisa memasuki bangunan karena kekhawatiran terjadi gempa-gempa susulan. Tentu saja tidak mudah untuk bertahan di ruang terbuka di musim dingin tanpa ada penghangat. Namun, dalam kondisi yang begitu memprihatinkan, setiap elemen menjalankan fungsinya masing-masing dengan sangat baik.
Pemerintah mengambil langkah yang terukur dengan mengoordinasikan AFAD, tentara, tenaga kesehatan, dan juga lembaga-lembaga kemanusiaan (seperti Kizilay) untuk melakukan penyelematan kepada korban gempa. Selain petugas yang ada di daerah, seluruh personil secara nasional juga ditugaskan dan diterbangkan langsung ke lokasi bencana. Selain itu, warga biasa yang ingin menjadi relawan, melalui jalur yang terkoordinir, mereka mendaftarkan diri di kantor pencatatan sipil masing-masing wilayah. Dengan mekanisme tersebut, gerakan-gerakan kemanusiaan dari seluruh elemen berada di bawah koordinasi tunggal pemerintah sehingga kerja kemanusiaan tepat sasaran, bekerja tidak tumpang tindih dan tidak saling melempar tanggung jawab. Tampak ketika petugas melakukan pencarian korban di bawah reruntuhan, masyarakat dengan sabar menunggu di luar batas bangunan yang rubuh agar tidak mengganggu atau malah memperburuk proses pencarian. Bagaimanapun, mereka yang profesional yang telah dilatih khusus yang bisa melakukan penyelamatan karena strüktür reruntuhan yang tidak stabil sehingga perlu hati-hati untuk dipijak.
Media pun bekerja dengan sangat baik, menyatukan emosi warga Turki untuk terus menumbuhkan harapan dan bergerak bersama untuk saling membantu. Media menyampaikan update berita dari lokasi terus-menerus tanpa jedah. Media secara berkala mengabarkan jumlah korban meninggal, korban yang berhasil dievakuasi, korban yang terluka, masyarakat yang dievakuasi dari daerah rawan gempa, jumlah bangunan yang rubuh, serta jumlah bantuan yang telah diterima di setiap kota. Meski beberapa kali reporter dari lokasi gempa tampak frustasi dengan keadaan yang ada dengan mengatakan bahwa hanya mukjizat yang dibutuhkan saat ini, namun segera dengan suara yang bergetar mengajak pemirsa untuk terus berharap yang terbaik, berdoa kepada Tuhan yang Maha Kuasa dan menyerukan untuk bahu membahu bekerja sama melewati masa-masa sulit. Masyarakat Turki memiliki kebudayaan insanseverlik, yaitu menghormati kemanusiaan atau filantropis. Sejak dahulu, Turki terkenal dengan sifat kemanusiaannya ini. Turki menjadi negara yang selalu terbuka bagi mereka pencari suaka, imigran, atau korban bencana perang, apakah dari benua Afrika atau dari negara-negara Arab, seperti Palestina, Suria, Lebanon, Iran, dan Irak. Mereka tidak hanya menolong karena aspek kesamaan keyakinan (muslim), namun karena penghargaan kepada kemanusiaan itu sendiri. Dengan penghayatan dan pengamalan nilai kebudayaan insanseverlik, seringkali orang Turki begitu iba dan ringan tangan membantu mereka yang sedang menuntut ilmu di Turki, meski kondisi ekonomi mereka sendiri sebenarnya tidak dalam ukuran sebagai orang kaya. Termasuk jika kita ingat peristiwa Sunami di Aceh tahun 2004 dan di Palu pada tahun 2018, melalui lembaga kemanusiaannya Kizilay, Turki juga banyak menyalurkan bantuan ke Indonesia. Ketika terjadi bencana nasional, dengan fondasi nilai insanseverlik, mereka seakan-akan digerakkan secara otomatis, bekerja dalam kerumunan yang teratur, mengatasi hal yang dianggap tidak mungkin dan mengubahnya menjadi mungkin. Dunia internasional pun memberikan perhatian yang luar biasa. Dalam hari yang sama, para pemimpin dunia satu persatu menghubungi presiden Erdogan menyampaikan bela sungkawa dan keinginan untuk memberikan bantuan. Tidak terhitung lama, dengan itikad baik dan semangat kemanusiaan para negara, segera mengirimkan bantuan SDM dan juga materi yang sangat dibutuhkan Turki saat ini. Hal ini menunjukkan betapa bencana yang menghantam Turki membangkitkan aspek kesetiakawanan dan empati dari dunia Internasional, yang semoga saja menjadi koreksi cara berpikir yang mengedepankan keinginan berperang untuk manancapkan dominasi kepada negara-negara lain. Menarik mengamati situasi dalam merespon bencana Turki, Rusia dan Amerika Serikat yang memiliki hubungan tidak harmonis saat ini, adalah negara-negara yang mengawali penyalurkan bantuan kepada Turki. Harapan yang besar, semoga negara-negara adidaya dapat berada di depan untuk menjaga kelestarian dunia, alih-alih menjadi promotor perang perusak kehidupan.
Ada satu poin yang penting yang perlu diperhatikan dalam penanganan masa kritis yang dipraktikkan oleh Turki, yaitu kesiapan SDM, fasilitas di setiap wilayah, dan juga pendidikan tanggap bencana kepada masyarakat. Masyarakat meski dalam keadaan panik, kalut, dan bersedih, memiliki mekanismme bencana yang cukup responsif dan membuat proses penyelamatan berjalan lancar. Saluran komunikasi untuk keadaan darurat tersedia sehingga koordinasi ke pusat bisa berjalan lancar. Tenda-tenda pengungsian tersedia di setiap wilayah. Yang tidak kalah penting, setiap warga memberikan apa yang mereka punya untuk bisa bertahan hidup bersama. Meski terbatas, namun paling tidak di masa awal bencana, persiapan penanganan bencana telah tersedia daripada tidak ada sama sekali.
Banyaknya korban yang jatuh pada bencana hari ini, menurut para kritikus di media-media Turki, adalah karena struktur bangunan yang tidak adaptabel pada kondisi gempa. Kurangnya kesadaran para pengusaha properti untuk membangun strüktür bangunan yang kokoh, atau paling tidak mempelajari strüktür tanah dan memahami jalur gempa yang ada di daerah, karena hanya lebih memprioritaskan profit dari bisnis properti, menyebabkan kerusakan yang massif tidak bisa dihindari. Pelajaran yang penting bagi kita semua, bahwa bencana/penderitaan bukanlah sematamata hadir karena niat jahat untuk memberi penderitaan kepada orang lain, seperti yang dilakukan Amerika Serikat dengan menjatuhkan bom nuklir ke Hiroshima dan Nagasaki yang menyebabkan kerusakan dan kematian kehidupan yang parah, melainkan itu juga bisa karena kurangnya pengetahuan atau ketidakpedulian manusia memprediksi kerusakan yang mungkin terjadi di masa depan.
Sebagaimana yang disampaikan oleh pemikir Israil, Adi Ophir, bahwa sebuah Sistem Kejahatan terbentuk dari produksi kebodohan dan ketidakpedulian secara terus-menerus sehingga bermuara pada ketidakadilan dan tatanan yang salah. Kejahatan melahirkan penderitaan dan kehilangan, dan kedua tema ini awal untuk memasuki pertanyaan tentang moral. Epikorus mengajukan pertanyaan yang provokatif, jika Tuhan Maha Baik dan Maha Kuasa, lalu dari mana datangnya kejahatan? Apakah Tuhan tidak mampu menghalau hadirnya kejahatan? Ataukah Tuhan sengaja menciptakan kejahatan kepada manusia? Pemikir teodisi mengajukan jawaban kontemplatif mengapa kejahatan hadir di sekitar kita. Kejahatan menjadi sebuah ujian untuk mengukur kualitas dari manusia, seperti emas yang harus terus ditempa agar menjadi logam mulia. Sebaliknya, dari kelompok naturalisme/skeptisisme yang menolak adanya prinsip pertama, bahwa alam bergerak sesuai dengan nature-nya. Penderitaan yang merupakan dampak kejahatan hadir karena manusia selalu terjebak dalam pemikiran baik dan buruk. Jika sedang bahagia, itu berarti kebaikan, jika sedang bersedih itu adalah kejahatan. Padahal menurut kaum naturalis, apakah kebaikan atau kejahatan kondisi tersebut selalu ada di sana di alam, hanya sebuah proses alamiah.
Manusia beragama ketika dilanda bencana akan mengatakan bahwa, yah ini adalah ujian Tuhan, kita harus lebih bersabar agar Tuhan mengangkat derajat kita lebih tinggi. Kesan fatalistik begitu terasa dalam pandangan dunia orang beragama. Sebaliknya, bagi para naturalis, mereka akan cenderung progresif dan mengedepankan pandangan positivistik dalam menganalisa bagaimana sebuah kekacauan terjadi dan menafikkan adanya kekuatan Sang Maha Kuasa di balik seluruh kehidupan. Ophir dengan upayanya untk mensekulerisasikan pandangan filsafatnya, menempatkan Tuhan pada wilayah paling terdalam dari setiap diri. Tidak menafikkan adanya prinsip pertama, yaitu Yang Maha Kuasa, namun ketika berbicara tentang kejahatan, menurutnya, seharusnya manusia tidak sedikit-sedikit mengembalikan ke Tuhan tanpa sebelumnya menguji dan menyelidiki fikiran dan tindakan manusia yang memproduksi dan mendistribusikan sistem kejahatan sehingga menjadi langgeng. Justru kebodohan dan ketidakpedulian menyebabkan manusia menjadi agen dari produksi kejahatan itu sendiri, dan itu artinya manusia menghianati janjinya di hadapan Tuhan untuk menjadi khalifah yang mengurus kelestarian kehidupan. Menyaksikan apa yang sedang terjadi di Turki, membangkitkan perasaan empati di dalam diri manusia, betapa kehidupan dan kematian hanya serupa garis tipis. Mereka yang sebelum dihantam gempa bumi mungkin sedang bersuka cita bersama orang-orang terkasih, dalam sekejap suka cita berubah menjadi duka yang mendalam. Saya yang pernah hidup selama 8 tahun di Turki, makan dan minum dari tanahnya, mengelilingi kota-kotanya yang penuh dengan sejarah peradaban, dikenal sebagai kota para Nabi, dan memiliki pemandangan alam yang eksotis, sangat merasakan kesedihan yang sedang dialami Turki hari ini. Semoga Turki mampu melewati ujian yang berat ini. Saya sangat yakin, Turki bisa segera bangkit dari kesedihan dan keterjatuhannya saat ini. Geçmış olsun Türkiye, Allah yardımcınız olsun.