Dalam Bingkai Peribahasa “Di Mana Bumi Dipijak Di Situ Langit Dijunjung Tinggi”
Oleh: Faustinus Sirken, S.S, M.A
Suatu prinsip atau keutamaan dalam Pendidikan karakter adalah pendasaran pada keyakinan etis spiritual yang dimiliki masyarakat, sebagai nilai atau keyakinan yang semestinya diinternalisasikan oleh mahasiswa. Kesadaran demikian, menjadi alasan bagi saya untuk mengawali kuliah (introduksi) Character Building Kewarganegaraan, dengan menginspirasi para mahasiswa untuk memahami substansi dari Character Bulding Kewarganegaraan dari peribahasa “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung tinggi.” Sebab makna intrinsik dari peribahasa ini merupakan suatu keyakninan etis spiritual yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia, yang digunakan sebagai perangkat etis untuk mencapai suatu nilai dalam kehidupan sosial dan berbudaya.
Peribahasa “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung tinggi,” memiliki makna intrinsik berisi pesan tersirat, nasihat, ataupun prinsip hidup masyarakat Indonesia. Peribahasa ini mengandung makna bahwa seseorang sudah sepatutnya mengikuti atau menghormati adat istiadat yang berlaku di tempat ia hidup atau tinggal. Adat istiadat inilah yang saya maksudkan dengan keyakinan etis spiritual yang ada pada masyarakat sebagai nilai yaitu hal yang baik, yang seharusnya ditransfer kepada mahasiswa untuk diinternalisasikan atau dihabituasikan dalam keseluruhan proses Character Buliding.
Peribahasa “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung tinggi,” kemudian menginspirasi saya untuk mengarahkan para mahasiswa memahami kontkes Charakter Building Kewarganegaraan. Konteksnya adalah bumi atau tempat saat ini mahasiswa hidup dan belajar. Konteks yang pertama, adalah Universitas Bina Nusantara sebagai institusi atau komunitas formatif mahasiswa dibentuk melalui proses Pendidikan sehingga semakin menjadi pribadi yang utuh. Universitas Bina Nusantara sebagai lebaga sosial formatif memiliki keyakinan etis spiritual yang juga harus diterima dan dibiasakan dalam kehidupan akademis civitas academica (para dosen, mahasiswa, dan pegawai) Universitas Bina Nusantara. Adat istiadat BINUS University dalam bingkai peribahasa ini, antara lain: adaptability (agility, flexibility, inclusivity); social awareness (empathy, compassion, active citizenship); and collaboration skill. Inilah keyakinan etis spiritual sebagai adat istiadat institusi formatif BINUS University yang sepantasnya diikuti dan dihormati, artinya direalisasikan dalam kehidupan sosial bersama. Nilai-nilai etis spiritual inilah yang semestinya menjadi kepribadian seorang Binusian berbeda dari universitas atau kelompok sosial yang lain.
Konteks yang kedua, adalah negara dan bangsa Indonesia. Negara dan bangsa Indonesia adalah bumi di mana masyarakat ataupun mahasiswa berpijak hidup bersama. Bumi bangsa Indonesia ini tentu memiliki keyakinan etis spiritual sebagai adat istiadat yang sudah menghidupi masyarakat Indonesia sepanjang sejarah pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan Indonesia. Keyakinan etis spiritual yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia sepanjang sejarah hidupnya itulah yang semestinya ditangkap (caught) oleh pancaindra para mahasiswa, diolah hingga menjadi kepribadian atau karakter diri dan kolektif sebagai warga negara dan bangsa Indonesia. Keyakinan etis spiritual yang dimiliki masyarakat Indonesia, antara lain: demokrasi Pancasila, jiwa nasionalisme, multikulturalisme, keragaman beragama, keadilan sosial, kelautan dan kepulauan. Keyakinan etis spiritual masyarakat bangsa Indonesia inilah yang sepatutnya, ditangkap (caught) dan dibiasakan (habituated) oleh para mahasiswa dalam keseluruhan tahapan Character Buliding Kewarganegaraan pada semester ini.
Jadi, Character Building Kewarganegaraan kita sadari sebagai proses para mahasiswa belajar olah pikir, belajar olah rasa, belajar olah karsa dan belajar olah raga mengenai keyakinan etis spiritual masyarakat bangsa dan negara Indonesia agar para mahasiswa memiliki kepribadian Indonesia.