“Cambridge Analytica” : Solusi Penangkal Darurat Hoax Media Sosial
Oleh: Baladiffa Aurora Herkanyaka | PPTI 13 |2502040644
#HapuskanFacebook, trending jagat maya.
Kesepakatan yang telah terungkap antara Cambridge Analytica dengan Facebook mengandung semua elemen seru Hollywood : CEO ala musuh Bond, miliader naif pemangku kepentingan, ilmuwan data bergaya hipster yang banting stir jadi politikus, dan tentunya presiden Amerika terpilih beserta keluarganya yang terpengaruh. Diskusi dunia masih berkutat tentang apiknya skandal data si antagonis dunia Cambridge Analytica. Teknik mutakhir yang membius psikologis jutaan manusia dengan momok hoax. Hingga kini, kasus serupa masih marak menghiasi media masa.
Media di seluruh dunia beberapa tahun lalu seperti tergila-gila menurunkan tulisan apa pun terkait Cambridge Analytica, sebuah perusahaan berbasis data multinasional di London, Inggris. Pangkal kontroversinya adalah terungkapnya fakta bahwa perusahaan memanfaatkan sedikitnya 50 juta data pribadi pengguna Facebook yang ‘dipanen’ secara ilegal. Ini pelanggaran berat lantaran panen itu tanpa seizin Facebook dan pemilik akun. Cerita Cambridge Analytical kemudian menjadi seram setelah diketahui data yang dipanen itu dijadikan fondasi analisis dan rekayasa sentimen dan psikologi pemilih di Amerika dan Inggris.
Dengan mengacu kepada teknik-teknik mutakhir manipulasi informasi dan psikologi publik dari data curian itulah, Cambridge Analytica sukses dalam dua proyek fenomenal: memenangkan Donald Trump, politisi karbitan yang lebih dikenal sebagai properti dan selebritas, dalam Pemilu Presiden 2016 di Amerika serta mengayunkan sentimen publik Inggris untuk memilih “Brexit” dalam referendum perceraian dari Uni Eropa pada tahun yang sama.
Lepas dari segala peran antagonis skandal Cambridge Analitycal, sejatinya terdapat poin pembelajaran penting khususnya bagi masyarakat Indonesia. Teknik pengumpulan data baik data pribadi, data umum, ataupun data spesifik seperti “like” yang dilakukan oleh Cambridge Analytical secara otomatis, akurat, dan nyata memprediksi “highly sensitive personal attributes” seorang pengguna seperti: etnis, religi, orientasi seksual, hingga attribut pribadi lainnya. Informasi-informasi tersebut diperoleh dan dianalisis sedemikian rupa untuk mengetahui psikologis pengguna dan cara yang efektif guna mempengaruhi pengguna dengan cara penyebaran informasi dan berita fiktif (hoax) untuk tujuan politik.
Dengan kata lain, pengumpulan data oleh Cambridge Analytical mampu memetakan masyarakat (pengguna Facebook) bergantung dengan psikologisnya dan kemampuannya memahami sebuah informasi dan berita yang beredar. Dari data ini diperoleh data masyarakat yang rentan dan mudah dipengaruhi hasutan berita di media sosial. Masyarakat ini merupakan perwujudan dari masyarakat yang belum cerdas dan kritis dengan sebuah bacaan berita atau informasi yang menandakan bahwa masyarakat minim literasi.
Memetakaan masyarakat yang minim literasi dengan teknik pengumpulan data yang sama dengan Cambridge Analitycal, dapat digunakan untuk target penyuluhan gerakan literasi. Sehingga penyuluhan gerakan literasi dapat tepat sasaran. Masyarakat yang minim literasi lebih digalakkan lagi untuk lebih cerdas dan kritis dalam menanggapi sebuah informasi atau berita yang beredar di media sosial. Dengan demikian, penyuluhan gerakan literasi lebih efektif dan efisien.
Teknik pengumpulan data yang mutakhir dengan pendekatan psikologis dan sensitivitas pengguna sosial terhadap penyebaran informasi dan berita seperti yang dilakukan oleh Cambridge Analytica melalui platform media sosial, menjadi salah satu tolak ukur bahwa masyarakat Indonesia masih rentan terhadap penyebaran berita fiktif (hoax). Untuk itulah penggalakan literasi untuk remaja harus ditekankan lagi. Salah satu upaya tepat guna menghadapi maraknya berita hoax dan masalah lainnya adalah dengan literasi digital dalam bersosial media.
Literasi digital penting dalam kehidupan sosial media. Dengan literasi digital ini, masyarakat terutama remaja diharapkan menganalisis kevalidan data dalam setiap informasi ataupun berita yang tersebar di media sosial. Masyarakat diharapkan tidak menerima mentah semua informasi yang beredar. Mereka dituntut untuk berperan aktif dalam mengulik kebenaran suatu informasi ataupun berita. Jadi, penyebaran berita fiktif (hoax) dapat ditangani. Sehingga, dengan litersi digital ini diharapkan masyarakat daoat cerdas dan kritis dalam bermedia sosial, sehingga masalah tentang penyebaran berita fiktif (hoax) khususnya di media sosial dapat ditangani. Tentunya, dengan cara yang sama dengan Cambridge Analytica. Upaya penyuluhan literasi digital ini berdasarkan pemetaan dari masyarakat yang minim literasi.
Literasi digital juga sangat penting dalam menghadapi arus globalisasi. Globalisasi menyediakan kemudahan akses yang tidak terbatas ruang dan waktu, sehingga informasi dan berita fakta ataupun fiktif dapat dengan mudah viral dan tersebar luas. Unuk itulah remaja sebagai generasi penerus bangsa diharapkan mampu mengikuti arus perkembangan globalisasi dan teknologi dengan kritis dan cerdas berliterasi.
Dalam penggunaannya media sosial memberikan sepenuhnya kebebasan tanpa terbatas ruang dan waktu bagi penggunanya. Namun, sering salah diartikan di sini adalah bebas bukan berarti tanpa etika. Tidak sedikit permasalahan sosial yang terjadi akibat kurangnya etika dalam bermedia sosial. Salah satunya adalah skandal Cambridge Analitycal yang mencuri data personal pengguna jejaring sosial media (Facebook) dengan tujuan mempengaruhi pengguna dalam memilih suatu partai politik. Hal ini dilakukan dengan menghasut pengguna secara tidak langsung membocorkan data pribadinya yang digunakan sebagai tolok ukur penilaian psikologi dan penyebaran berita fiktif (hoax) untuk kepentingan politik tertentu.
Selain itu juga literasi digital ini memuat dua aspek penting diantaranya adalah keterampilan dalam menguasai digital (keterampilan teknis) juga keterampilan etis. Hampir seluruh masyarakat pasti telah menguasai keterampilan teknis ini, namun tidak dengan keterampilan etis. Salah satu sebabnya adalah relasi manusia, orang per orang lebih cenderung pada relasi yang sifatnya impersonal. Meluas, tersebar. Relasi ini dapat memberikan dampak yang sangat luas melalui dunia virtual sehingga kadang control moral kurang diperhatikan. Inilah yang menyebabkan keterampilan etis kurang di masyarakat saat ini dan hoax masih mudah dijumpai.
Keterampilan etika menyebutkan ada 3 pendekatan yang bisa membagi suatu hal menjadi keliru atau benar. Dalam ketiga pendekatan ini seseorang bisa dikatakan baik di dalam satu aspek, bisa pula dinyatakan buruk pada aspek lain. Ketiga aspek ini bergantung kepada kondisi permasalahan yang terjadi. Namun tidak dengan berit hoax. Hal ini tidak di benarkan dalam semua pendekatan etis.
Pendekatan pertama, utilitarian. Bahwa Sesuatu dianggap baik secara etis bila itu berguna. Sebuah perbuatan, pernyataan, perkataan dianggap baik secara etis jika itu berguna. Sebaliknya, kalau tidak berguna maka dianggap buruk dalam etis. Pada pendekatan ini jelas hoax tidak ada baik dan bergunanya bagi seluruh lapisan masyarakat. Berita hoax yang sudah tersebar hanya menimbulkan kekacauan dalam bermedia sosial dan memberikan informasi serta tafsiran yang salah.
Pendekatan kedua, Duty-Based Ethics. Menurut pendekatan ini suatu perbuatan, perkaaan dianggap benar secara etis kalau itensinya dilakukan karna diwajibkan oleh suatu moralitas. Dalam pendekatan ini pun hox tidaklah dibenarkan. Hoax tidak dibenarkan dalam moralitas baik itu agama, nilai-nilai yang ada di masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pendekatan ketiga adalah right-based ethics. Sesuatu yang memiliki peran lebih besar akan dihargai lebih besar. Semakin besar jasa dan kontribusi yang diberikan, maka akan semakin besar juga ia dihargai. Sudah jelas hoax tidak dibenarkan pula pada pendekatan ini. Namun, apakah cara Cambridge Analytica dibenarkan dalam ketiga pendekatan etis ini?
Cara yang dilakukan Cambridge Analytica memang tidak dibenarkan dalam etis dalam memanen data darifacebook. Namun, bila kita melakukan hal yang sama dengan tujuan yang lebih mulia, hal itu bisa dibenarkan dalam sisi etis. Penjaringan data yang dilakukan mmang menghancurkan ranah privasi publik. Namun bila dilihat dan dikaji ulang dalam ketika endekatan etis itu, selama ia tidak menyeleweng, hal ini justru akan dianggap benar dalam etis.
Pendekatan pertama berbicara mengenai itensi berguna atau tidaknya. Bila kita mencontoh apa yang sudah dilakukan Cambridge Analytica dengan mematakan data pengguna melalui quiz psikologis guna kepentingan memetakan masyarakat yang rawan kebocoran data dan minim literasi sehingga kita dapat melakukan penyuluhan secara akurat, hal ini jelas dibenarkan pada pendekatan pertama ini. Penyuluhan literasi dengan tepat sasaran ini diperlukan dan bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat. Pendekatan kedua mengenai nilai moral, sudah sewajarnya sebagai warga negara yangbaik kita menjadi ke absahan informasi yang beredar dan ikut serta dalam menanggulangi berita hoax atau berita bohong tersebar. Hal ini merupakan tujuan yang sama dengan yang dipaparkan pada artikel ini. Pendekatan ketiga berbicara mengenai penghargaan yang lebih besar. Menyelamatkan pengguna sosial dalam terpapar berita hoax sangatlah krusial pada masalah ini. Sehingga memanfaatkan cara yang sama seperti Cambridge Analytica dengan tujuan kebaikan dapat dibenarkan.
Teknik pemetaan masyarakat minim baca menjadi salah satu topik yang sangat apik. Mengacu pada cara bekerja Cambridge Analytical, tokoh antagonis yang dipandang dunia telah melakukan skandal data, poin pembelajaran juga terkandung di dalamnya. Skandal data ini menjadikan masyarakat merasa ketakutan. Ketakutan psikologis ini dimanfaatkan dengan sangat hebatnya untuk menyebarluaskan berita hoax. Untuk itu penyuluhan tentang literasi digital dan etika bermedia sosial sangat penting digalakan. Sehingga akan tercapai masyarakat anti hoax, cerdas, dan kritis tanggap informasi serta berita terkini.