Bersahabat Dengan Teknologi Atau Cyberbullying?
Oleh: Diva Amanda Putri | PPTI 11 | 2502040966
Secara tidak langsung, teknologi telah menjadi sahabat bagi manusia. Bagaimana tidak, hampir semua aspek kehidupan dapat didukung dengan kehadiran teknologi. Kecanggihan teknologi yang terus berkembang dengan pesat mampu membuat semua generasi mau tidak mau menerima teknologi menjadi bagian dari hidup mereka. Kemudahan dalam mengakses teknologi memang sangat menguntungkan bagi manusia, tetapi kemudahan itu juga bisa membunuh moral hingga raga manusia apabila tidak dibarengi dengan penerapan etika. Pertukaran informasi pada media sosial yang sangat cepat menjadikan media sosial sebagai revolusi yang mampu mengendalikan perilaku dan nilai-nilai kemanusiaan. Bergesernya nilai-nilai kemanusiaan ini diperkuat dengan kebebasan yang ditawarkan oleh media sosial. Individu dapat berkomentar secara bebas tanpa tanggung jawab dengan bersembunyi dibalik akun sosial media sehingga tanpa sadar melakukan tindakan cyberbullying.
Fenomena cyberbullying merupakan tantangan yang muncul di tengah perkembangan teknologi. Cyberbullying sendiri memiliki makna perundungan yang terjadi di dunia maya dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan etika. Beberapa contoh tindakan perundungan di dunia maya, di antaranya:
- Memberikan komentar dan melakukan sesuatu yang bersifat melecehkan sesama atau lawan jenis.
- Mempermalukan orang lain di media sosial, seperti dengan menyebarkan aib orang lain
- Memberikan ancaman dalam bentuk apapun melalui media sosial
- Membuat akun palsu untuk tujuan melakukan perundungan, seperti memberikan komentar yang menjatuhkan.
Berdasarkan Teori Etika sendiri, perbuatan diatas telah menyimpang dari etika. Sudut pandang Duty-Based Ethics melihat bahwa perbuatan dianggap baik secara etika apabila perbuatan tersebut memiliki intensi yang baik. Baik dalam hal ini memiliki maksud memenuhi kewajiban hukum moral yang bisa berdasarkan agama, nilai yang tumbuh di masyarakat, dan dari ilmu pengetahuan. Perbuatan di atas sudah dipastikan menyimpang dari etika berdasarkan Duty-Based Ethics karena intensi dari perundungan itu sendiri adalah jahat. Seseorang melakukan perundungan di media sosial tentu saja demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri tanpa melihat dampak yang dialami oleh korban yang dirundung. Berdasarkan Ross, fenomena cyberbullying melanggar tujuh kewajiban moral dasar, salah satunya yaitu seseorang harus memberikan sesuatu secara adil sesuai dengan haknya masing masing, dimana apabila perundungan dilakukan, hak orang lain untuk hidup jadi terganggu. Dampaknya bisa memengaruhi kehidupan korban yang tentu bisa memengaruhi segala aspek dan juga orang sekitar.
Perbuatan cyberbullying juga melanggar etika menurut sudut pandang utilitarianism yang melihat seberapa banyak yang merasakan manfaat dari suatu perbuatan. Misalnya satu orang melakukan perbuatan cyberbullying memberikan ancaman dan meneror korban, dampak yang dialami korban tidak hanya berhenti pada korban, tapi juga bisa berkelanjutan dan memengaruhi sekitar. Hal ini bisa saja menimbulkan semakin besar jumlah kerugian yang terjadi, maka jelas perbuatan cyberbullying dianggapa bertentangan dengan etika.
Dilihat dari sudut pandang Right and justice-based ethics, perbuatan cyberbullying jelas melanggar hak orang lain. Meskipun juga mengandung hak kebebasan dalam berkomentar, tetapi tetap akan menjadi masalah apabila kebebasan tersebut menyinggung hak orang lain juga. Yang seharusnya memberikan orang lain hak yang seharusnya didapatkan, malah merampas hak orang lain.
Dengan demikian, perbuatan cyberbullying jelas menyimpang dari teori etika dilihat dari pendekatan manapun. Baik generasi muda dan tua perlu memahami batasan-batasan perilaku dengan memperkuat literasi digital. Literasi digital merupakan kemampuan individu dalam mengakses, mengolah, mengomunikasikan segala sesuatu yang berhubungan dan melalui teknologi. Sehingga, literasi digital akan mendukung individu dalam menggunakan media sosial yang bertanggung jawab dan tantangan cyberbullying dapat dicegah.