Belajar Berhenti Untuk Menyebarkan Ujaran Kebencian
Oleh: Adriel Justin Amadeo | PPTI 13 |2502041350
Sekitar awal Februari 2021 Microsoft mengumumkan laporan tingkat kesopanan pengguna internet sepanjang tahun 2020. Dalam laporannya yang berjudul ‘Digital Civility Index’ (DCI), Indonesia menempati urutan ke-29 dari 32 negara yang disurvei untuk tingkat kesopanannya, dan merupakan angka terendah di kawasan Asia Tenggara. Laporan yang didasarkan pada survei yang diikuti oleh sekitar 16.000 responden di 32 negara ini, menempatkan poin 76 pada tingkat kesopanan masyarakat Indonesia dalam bersosialiasi di internet. Berdasarkan hasil riset di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sebenernya tingkat literasi digital di Indonesia ini masih rendah. Persoalan lainnya bukan hanya soal ketidaksopanan melainkan seperti pornografi, cyberbullying, kasus penyebaran ujaran kebencian, hoax, dan intoleransi menjadi beberapa faktor juga bahwa literasi digital itu perlu ada untuk disosialisasikan terhadap seluruh rakyat Indonesia. Di topik kali ini kita akan mendalami lebih pada kasus penyebaran ujaran kebencian.
Seperti yang kita sudah ketahui bersama, bahwa 2 tahun terakhir, banyak sekali kasus ujaran kebencian, terutama dalam media sosial. Mulai dari whatsapp grup yang berisikan broadcast-broadcast hoax tentang seseorang, thread twitter mengenai pemimpin baik dan pemimpin buruk, ajaran agama yang menyesatkan, dan masih banyak hal lainnya. Jika kita mengacu pada konvensi Internasional, definisi ujaran kebencian itu sendiri dikelompokkkan menjadi 4 kategori, yaitu penyebaran pesan yang mengandung kebencian atas ras atau etnis; seruan terhadap permusuhan, diskriminasi, dan kejahatan; hasutan untuk melakukan tindak terorisme; dan yang terakhir ujaran kebencian sebagai hasutan untuk melakukan genosida. Namun pada kenyataannya, definisi dari ujaran kebencian itu sendiri di Indonesia masih terlalu luas, hal ini dikarenakan banyaknya hal yang dapat dimanfaatkan orang-orang dalam menyebarkan informasi menyesatkan.
Dari hal-hal tersebut duga awal hal ini terjadi karena kuranganya literasi digital, terutama dalam memahami etika. Etika itu sendiri sebenernya dibagi menjadi 4, yaitu Utilitarian, etika berdasarkan penilaian sesuatu yang dianggap baik dan berguna bagi diri sendiri, kelompok atau sesama; yang kedua Duty-based Ethics, etika yang berfokus pada kewajiban moral yang dipercayai oleh masyrakat; yang ketiga Right-based Ethics, etika untuk memberikan setiap orang haknya; dan yang terakhir adalah Normative principles, etika tentang mana yang baik dan buruk berdasarkan norma yang berlaku di masyrakat. Dari 4 hal di atas, jika warga Indonesia mengerti dan peduli akan hal tersebut, maka era digitalisasi di Indonesia terutama dalam kasus penyebaran ujaran kebencian akan bisa tertangani.
Di era digitalisasi ini, media sosial memang merupakan sesuatu yang perlu menjadi perhatian, karena manfaatnya yang terlalu luas dan dapat dimanfaatkan banyak orang untuk melakukan hal-hal yang tidak baik. Kita sebagai pengguna sudah seharusnya mawas dalam memakai sosial media. Tidak semua apa yang kita dengar dan kita lihat di internet adalah benar, jadi sudah sebaiknya kita memahami etika yang baik. Ada salah satu ilmu menarik dari buku “How to Win Friends and Influence People in Digital Era”, disitu diberitahu bahwa cara pandang kita terhadap seseorang atau suatu masalah tidak seharusnya bersifat buruk, terkadang ada sudut pandang baik yang perlu kita olah dan bisa kita terima, hal itulah yang bisa kita bawa dalam bersosial media. Pada akhirnya semua hal ini mengacu dari bagaiamana cara masyarakat terutama warga negara Indonesia memahami literasi digital, warga negara yang baik dan cerdas adalah warga negara yang tidak hanya pintar dalam menguasai teknologi tetapi juga dapat berperilaku baik.