Argumentasi Tentang Sirkulasi Kepemimpinan Secara Damai

Oleh: Dr. Sukron Ma’mun, S.Ag.,M.A

Sudah lazim dalam sebuah sistem kekuasaan, orang yang memegang kekuasaan benar-benar akan menjaga setiap pintu masuk kekuasaan. Keadaan ini telah menyebabkan krisis politik di negara-negara yang sedang berkembang. Karena sering kali partai politik yang mendominasi kekuasaan disibukan dengan berbagai jargon-jargon politik sehingga masalah pergantian kekuasaan tidak pernah disingung.

Masalah sirkulasi kepemimpinan dalam konteks masyarakat muslim selain faktor tersebut ada dua faktor lain yang mendorong sebagian kaum muslimin mengisolasi diri dari pemikiran sirkulasi kepemimpinan dan enggan menyinggungnya dalam perjalanan kekuasaan mereka. Pertama, pemikiran tentang umat Islam adalah pengemban risalah ilahiyah di muka bumi ini yang tidak mungkin tercemar kebatilan. Hal ini memiliki konsekuensi bahwa keberadan mereka harus membawa kebaikan dan keberuntungan. Dokrin ini adalah suatu kebenaran yang tidak boleh dibantah sehingga jika ada kekuasaaan yang tidak menjalankan syariah maka harus ditolak. Dengan alasan tersebut umat Islam menganggap bahwa perputaran kekuasaan berarti sebagai sikap pengabaian terhadap beban syariah dan hal itu berakibat pada penyerahan kekuasaan pada orang yang tidak menjalankan Islam secara menyeluruh. Sikap demikian timbul karena kekuasaan dalam pemahaman mereka harus terus dipegang oleh orang-orang yang komitmen pada nilai-nilai Islam saja. Kedua, faktor historis, negara Islam dalam perjalanan sejarahnya tidak mengenal pergantian kekuasaan secara berkala. Dalam sejarah Islam seorang penguasa dipilih untuk waktu seumur hidup sehingga jika ada wacana untuk pergantian kekuasaan dalam batas waktu tertentu maka hal itu dianggap sesuatu yang baru dan tidak dikenal dalam sejarah Islam.

Sikap sebagian kaum mulimin yang menolak sirkulasi kepemimpinan disebabkan kesalahan dalam memahami pengertian sunah dan bid’ah serta kesalahan dalam menyimpulkan sirah. Memang benar bahwa dalam salah satu hadits disebutkan perintah untuk mengikuti sunah khulafa Rasyidin, juga benar bahwa Khulafa Rasyidin menjadi pemimpin seumur hidup, namun sebelum kaum muslimin diperintah untuk mnengikuti Khulafa Rasyidin merek terlebih dahulu diperintah untuk mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana diketahui bahwa sunah beliau berupa perkataan, perbuatan dan ketetapan. Namun perbuatan beliau yang bersifat khusus tidak mengharuskan kewajiban yang sama persis, tetapi menunjuk pada apa yang diperbolehkan. Oleh karena itu ada diantara Khulafa rasyidin menyalahi sunah rasululallah SAW yang berupa tindakan karena melihat kebaikan yang berlaku pada masa Rasulullah hidup telah berubah. Sebagai contoh Nabi Muhammad SAW membagi tanah Khaibar kepada prajurit yang ikut berperang setelah menaklukan wilayah tersebut. Sementara Umar tidak melakuakn hal yang sama seperti apa yang dilakukan rasulullah SAW ketika ia berhasil menaklukan Irak.

Adapun jika berkaitan dengan bid’ah maka mesti dilihat dahulu persoalan yang dibahas tersebut masuk dalam wilayah yang mana. Satu bentuk kesalahan apabila ada sesuatu yang baru dianggap bid’ah. Pemahaman yang benar tentang bid’ah adalah sesuatu yang berlaku dalam urusan agama yang murni seperti bidang akidah dan ibadah sedangkan jika berkaitan engan urusan kehidupan yang berubah-ubah seperti : tradisi, kebiasaan, masalah manjemen, urusan social, pengetahuan, urusan politik dan lain-lain maka itu semua tidak termasuk dalam istilah bid’ah. Begitu pula jika berkaitan dengan sirah maka yang mesti dipahami adalah bahwa ia tidak bisa disejajarkan dengan sunah karena diantara sirah ada yang tidak termasuk ketetapan syariah (hukum agama) dan sama sekali tidak ada hubungannya. Oleh karena itu para ulama ushul fikih tidak memasukan sirah ke dalam sunah.

Oleh karena itu, tidak salah membatasi masa jabatan kepala negara, bahkan untuk saat ini dimana hampir seluruh negara yang berpenduduk mayoritas muslim menganut sistem demokrasi dan multi partai, maka sirkulasi kepemimpinan secara damai dan berkala menjadi keharusan. Hal ini bertujuan mewujudkan kedaulatan rakyat yang sesungguhnya dan menyelamatkan rakyat dari kesewenang-wenangan penguasa karena jabatan seumur hidup berpeluang menciptakan otoritarianisme dan sikap seperti ini sangat ditentang oleh ajaran Islam.

Dr. Sukron Ma’mun, S.Ag.,M.A