Integrasi Nasional dan Peristiwa Gelap Indonesia

Oleh:  Belinda Meylia, I Putu Nandana Widiarta Githa, Kreshna Adhitya Chandra Kesuma, Paul Calvin, Stephanie, Vicensia Charitas Avianny 

Integrasi nasional merupakan salah satu konsep yang menjelaskan mengenai penyatuan berbagai perbedaan dalam suatu negara untuk menciptakan suatu harmoni nasional. Basisnya sendiri berfokus pada hak warga negara, terutama hak sipil yang mana harus dipenuhi oleh negara. Hak sipil sendiri membicarakan kebebasan fundamental setiap warga negara terkait identitas sosial, membuat setiap warga negara berdiri dengan identitasnya masing-masing, namun menyatu secara menyeluruh.

Bila menilik kembali ke atas, entah itu Pembunuhan Massal 1965, Talangsari Lampung 1989, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Kerusuhan Mei 1998, Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II, Peristiwa Penembakan Petrus, dan lainnya; kasus-kasus ini tentunya mengancam integrasi nasional. Dari persepsi warga negara, hal ini memicu terbentuknya dua kelas, seperti pihak yang berhubungan dengan korban dan pihak yang tidak berhubungan dengan korban. Dengan terbaginya warga negara ke dalam dua kelas ini, akan menciptakan ketegangan sosial serta membuat ketidakadilan dalam berbagai hal (sipil,  politik, sosial-ekonomi) karena perbedaan persepsi tersebut.

Melalui pengakuan tersebut, maka negara sendirilah yang menghapus stigma sosial yang ada pada masyarakat selepas peristiwa tersebut. Pada awalnya, pemikiran masyarakat terbagi-bagi dan cenderung saling menyalahkan sehingga banyak terjadi perbedaan pendapat yang terkadang membuat Indonesia menjadi terpecah belah dan terbagi-bagi. Selain itu, adanya ketegangan pada keluarga korban sehingga menimbulkan stigma negatif terhadap negara. Namun, setelah adanya pengakuan bahwa peristiwa-peristiwa tersebut merupakan kesalahan murni pemerintah, pemerintah bersedia dan harus bertanggung jawab akan hal itu, maka masyarakat akan perlahan mulai bersatu karena penderitaan yang dialami ternyata sama dan bukan kesalahan dari salah satu pihak atau kelompok warga negara, tetapi murni kesalahan negara dan akhirnya korban dan publik mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Pengakuan tersebut merupakan bentuk pertobatan dan komitmen dari pemerintah tentang peristiwa-peristiwa tersebut, dengan adanya transparansi dan pengakuan terhadap peristiwa-peristiwa tersebut, secara tidak langsung pemerintah mengakui hak-hak korban, seperti hak informasi penyelesaian perkara, Misalnya, dari peristiwa Talangsari Lampung 1998, para korban menuntut hak informasi penyelesaian perkara kepada pemerintah. Dengan adanya pengakuan tersebut, pemerintah memenuhi hak informasi penyelesaian perkara mereka.

Di sisi lain, pengakuan tersebut juga sebagai peringatan dan penegasan dari pemerintah  bahwa setiap orang dapat menjalani hidup sebagai warga yang setara dengan hak-hak yang sama. Dengan demikian, hak-hak sipil, ekonomi, dan politik setiap warga negara dapat terpenuhi dan terbentuk harmoni nasional.

Belinda Meylia, I Putu Nandana Widiarta Githa, Kreshna Adhitya Chandra Kesuma, Paul Calvin, Stephanie, Vicensia Charitas Avianny