Selayang Pandang Agama dalam Perspektif Edward B. Tylor

Oleh: Gedong Maulana Kabir

Ketika ada sajian (sesajen, lihat gambar di bawah) diletakkan di bawah pohon, mayoritas orang menyebutnya sebagai praktek animis. Contoh seperti ini lazim ditemui di beberapa daerah di Indonesia. Bahkan, bukan hanya di pohon, sajian-sajian yang lain juga biasa ditemukan di tempat-tempat yang dianggap sakral oleh masyarakat sekitar seperti laut, gua, gunung dan lain sebagainya.

Selain klaim animis, secara teologis praktek tersebut juga sering dianggap sebagai praktek syirik. Praktek ini dianggap sebagai praktek yang salah karena asumsi dasar bahwa pemberian sajian dianggap sebagai bentuk penyembahan kepada roh penunggu tempat tersebut. Dalam ajaran teologis normatif, idealnya penyembahan dilakukan hanya kepada Tuhan.

Kendati demikian, kita juga tidak bisa memungkiri suatu fakta bahwa pola relasi yang spesial antara manusia dengan alam (misalnya pohon) membuat manusia bisa menjaga alam tersebut dengan segenap hati. Jangankan untuk menebang pohon secara sembarangan demi akumulasi kepentingan manusia semata, untuk bersikap tidak sopan di wilayah yang dianggap sakral saja manusia tidak berani. Pada gilirannya, hal ini melahirkan prinsip etik yang menjembatani antara dunia spiritualitas manusia dengan lingkungan.

Jika demikian situasinya, lantas bagaimana kita perlu menyikapi praktek yang disebut sebagai animis tersebut? Ia dianggap bermasalah secara teologis, namun memberikan sumbangsih dalam perawatan lingkungan yang kini terus mengalami kerusakan demi kerusakan yang ironisnya sebagian besar disebabkan oleh ulah manusia.

Guna mengurai persoalan tersebut, ada baiknya kita meninjau ulang konsep animisme secara akademis yang tonggaknya ditancapkan oleh ‘bapak antropologi budaya’: Edward Burnett Tylor (1832-1917). Dalam konteks ini, animisme—lebih jauh adalah soal agama—perlu diposisikan sebagai objek yang distudi.

Foto | dokumentasi pribadi

Memaknai Animisme

Perihal animisme ini diulas oleh Tylor dalam jilid kedua magnum opusnya Primitive Culture (1871). Bagi Tylor, animisme merupakan esensi agama. Pandangan ini muncul lantaran animisme dianggap sebagai karakteristik dasar dari semua agama: baik agama yang besar maupun kecil, agama yang purba maupun modern.

Dalam konteks ini animisme diartikan sebagai kepercayaan terhadap sesuatu yang hidup dan punya punya kekuatan di balik segala sesuatu. Sementara secara etimologis, animisme—berakar dari kata dalam bahasa Latin anima—berarti roh. Dengan ini, Tylor meyakini bahwa animisme merupakan bentuk pemikiran paling tua yang dapat ditemukan dalam setiap sejarah umat manusia (lihat Daniel L. Pals, Nine Theories of Relogion, 2015). Dengan berpegang pada hasil studi yang demikian, Tylor kemudian mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap sesuatu yang bersifat spiritual.

Sebagai catatan, pada tahun 1859 Charles Darwin menerbitkan karya yang menggemparkan banyak orang kala itu, The Origin of Species. Karya Darwin ini melihat kehidupan alam secara evolusionis. Ide dasarnya adalah tentang perkembangan (the idea of development). Demikian berpengaruhnya karya ini, sampai berbagai bidang studi ilmu pada akhirnya juga mengidap cara pandang yang sama, yaitu evolusionis. Tidak terkecuali studi agama yang dibawa oleh Tylor.

Bagi Tylor, kendati setiap agama memiliki esensi yang sama—yaitu animisme, namun dalam kebudayaan manusia ia juga terus mengalami perkembangan dan pertumbuhan.  Perkembangan tersebut bukan sebatas perkembangan animisme dan agama, lebih jauh lagi, ini juga dipahami sebagai perkembangan kebudayaan manusia dalam lintasan sejarah.

Tahap awal dari kebudayaan manusia bagi Tylor adalah savage. Yaitu masyarakat liar yang percaya pada animisme. Tahap ini ditandai dengan corak masyarakat yang berburu, mengumpulkan makanan dan tinggal dalam komunitas yang sederhana. Situasi tersebut membuat masyarakat tidak pernah bisa melampaui ide tentang roh individual yang spesifik yang menyatu dengan pohon, sungai, maupun binatang tertentu yang ditemui.

Tahap kedua merupakan periode masyarakat barbar. Secara sosial, masyarakat mulai bercocok tanam, hidup di kota-kota, mulai muncul sistem pembagian kerja yang lebih kompleks. Tylor mencontohkan periode ini dengan peradaban Babilonia, Aztec, sampai Yunani. Perihal dunia roh, pandangan manusia juga berkembang. Jika awalnya manusia mengenal roh pohon, maka pada periode ini roh-roh pepohonan yang banyak jumlahnya menyatu menjadi roh atau dewa hutan. Ketika hal yang sama juga terjadi dalam pandangan manusia tentang roh atau di alam yang lain, maka hasilnya adalah ada banyak dewa dalam kehidupan ini, misalnya dewa matahari, dewa bumi, dewa angin, dst. Karena itu, periode barbar disebut juga periode politeisme.

Pada akhirnya pandangan politeisme terus berkembang sampai ide tentang dewa tertinggi, yaitu monoteisme. Titik pangkalnya adalah pandangan masyarakat tentang adanya satu Tuhan yang mengatasi dewa-dewa atau tuhan-tuhan yang lain. Bagi Tylor, masyarakat yang percaya pada Tuhan tunggal inilah yang benar-benar dianggap beradab. Meskipun dengan cara yang beragam, secara universal, Tylor meyakini bahwa kebudayaan manusia akan terus berkembang sampai pada titik ini: masyarakat beradab yaitu yang percaya pada Tuhan yang tunggal.

Bias Teori Animisme

Secara sederhana, Tylor ingin menjelaskan bahwa masyarakat yang percaya pada adanya roh di alam disebut sebagai masyarakat terbelakang dan tidak beradab. Sebaliknya, jika masyarakat percaya pada Tuhan yang tunggal makai a disebut sebagai masyarakat yang beradab. Sekilas, pandangan ini tampak mulia, namun ia memiliki bias dan konsekuensi yang serius.

Jangan lupa bahwa narasi Tylor dibangun dengan pondasi nalar Eropa. Padahal tidak semua masyarakat di belahan dunia ini menggunakan struktur nalar yang serupa. Misalnya masyarakat adat yang ada di berbagai daerah di Indonesia. Apakah kepercayaan adat masyarakat yang terbukti bisa menjaga relasi harmoni antara manusia dan alam membuat mereka terbelakang. Jika perlu contoh, barangkali kehidupan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar di Jawa Barat merupakan salah satunya.

Poin yang hendak ditegaskan dalam konteks ini adalah bukan semata soal cara memahami relasi manusia dan alam, namun menghindari justifikasi pejoratif pada masyarakat adat maupun praktek yang seringkali dituduh animis. Pandangan teologis seseorang boleh berbeda. Namun tetap harus menghargai keragaman. Pada akhirnya, keragaman itulah yang menunjukkan pada kita bahwa hidup saling menghargai itu indah.

Poin terakhir, perlu ditegaskan kembali bahwa praktek-praktek masyarakat adat yang dituduh animis tersebut terbukti memberikan sumbangsih dalam melihat ulang cara manusia berelasi dengan alam. Karena itu, saya kira, teori animisme yang terlanjur sering diterima tanpa kritik (taken for granted) perlu ditinjau ulang. []

Gedong Maulana Kabir