Persatuan Indonesia

Oleh: Yustinus Suhardi Ruman


Sila Persatuan Indonesia cenderung dirujuk pada sila Kebangsaan yang dikemukakan oleh Soekarno dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau BPUPK pada tanggal 1 Juni 1945. Pada saat itu, Soekarno menempatkan sila Kebangsaan sebagai prinsip pertama dari Indonesia merdeka. Ada kesan bahwa, Soekarno memiliki interese yang cukup besar terhadap sila kebangsaan. Hal ini ditunjukkan dengan penjangannya penjelasan Soekarno tentang prinsip kebangsaan dibandingkan dengan keempat prinsip-prinsip lainnya. Berikut adalah tabulasi jumlah kata yang digunakan oleh Soekarno saat mengajukan sila kebangsaan dibandingkan dengan sila-sila yang lainnya.

Sumber: Ditabulasi dari pidato Soekarno 1 Juni 1945

Tabulasi tersebut, jelas menunjukkan perhatian Soekarno yang sangat besar tentang prinsip Kebangsaan Indonesia sebagai dasar Indonesia merdeka. Kebangsaan yang dimaksudkan oleh Soekarno tidak berbasis pada golongan tertentu atau identitas sosial tertentu, melainkan suatu kebangsaan yang dibangun di atas semua golongan atau semua identitas sosial. Di atas prinsip kebangsaan seperti itu, negara Indonesia didirikan. Soekarno mengatakan bahwa kita mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, – tetapi “semua buat semua”.

Untuk mendalami makna kebangsaan yang dimaksudkan, Soekarno mengutip pernyataan Joseph Ernest Renan (1823 –1892). Ernest Renan adalah dikenal sebagai astrawan, filolog, filsuf dan sejarawan Prancis. Selain Renan, Soekarno juga mungutip Otto Bauer (1881 – 1938) Bauer adalah seorang politikus asal Austria. Ia dianggap sebagai salah satu pemikir sosialis kiri utama dari kelompok Austro-Marxis. Selain itu juga sebagai pemberi inspirasi awal untuk gerakan Kiri Baru dan Eurokomunisme dalam upaya mereka untuk menemukan “jalan ketiga” menuju sosialisme demokrat.

Menurut Renan, sebagaimana yang dikutip Soekarno, syarat bangsa ialah “kehendak akan bersatu”. Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu. Berdasarkan definisi ini, sebuah bangsa adalah sekumpulan orang yang memiliki kehendak untuk bersatu. Tanpa kehendak untuk bersatu, maka suatu bangsa tidak akan terbangun. Lalu dari Otto Bauer, Soekarno mengutip bahwa sebuah bangsa adalah persatuan komunitas yang senasib, community of fate.

Pandangan yang dikemukakan Renan dan Bauer tersebut, sebagaimana yang sebut Soekarno menunjukkan bahwa sebuah bangsa atau lebih tepatnya Indonesia merdeka tidak didirikan di atas prinsip-prinsip agama, ras, atau golongan tertentu, baik bangsawan (Monarki) maupun golongan orang kaya (Oligarkhi).

Indonesia merdeka didirikan diatas kehendak bersama, suatu kehendak untuk bersatu. Bersatu karena senasib. Inilah yang menjadi dasar bagi bapak-bapak dan mama-mama bangsa untuk meninggalkan identitas sosial asali mereka masing-masing demi sebuah identitas bersama yakni Indonesia. Indonesia adalah sebuah identita bersama untuk semua keberagaman. Indonesia adalah artikulasi dari kehendak bersama untuk berada bersama.

Bagi Soekarno, kehendak untuk bersatu adalah dasar kebangsaan Indonesia. Kehendak bersatu itu sangat mendasar, namun kehendak bersatu itu tidak hanya berkaitan dengan orang-orang atau manusia. Indonesia bukan hanya kumpulan orang-orang yang saling berkehendak untuk bersatu secara sosiologis, orang-orang tersebut secara geografis dan ekologis juga bersatu dengan tanah air di mana mereka berpijak. Sampai di sini, kebangsaan menyangkut persatuan antara orang dan tanah air. Setiap warga bangsa tidak hanya memiliki ikatan persamaan nasib antara satu dengan yang lainnya, melainkan juga, memiliki ikatan yang tidak terpisahkan dengan tanah airnya.

Pada sidang PPKI, sila Kebangsaan ini direformulasi menjadi sila Persatuan Indonesia. Persatuan Indonesia, bukanlah persatuan agama, persatuan ras, persatuan etnis, persatuan golongan kaya atau bangsawan. Persatuan Indonesia adalah persatuan kehendak, persatuan kemauan untuk bersatu.

Orang Jawa, orang Sumatera, orang Kalimantan, Orang Sulawesi, Orang Sunda, Betawi, Bali, Islam, Hindu, Protestan, Katolik, Buddha, Kong Hu Chu, aliran kepercayaan dan semua yang ada di atas tanah air Indonesia memiliki kehendak yang sama untuk hidup bersama, memiliki kemauan yang sama untuk bersatu. Kehendak untuk persatuan tersebut disebabkan oleh nasib sejarah yang sama.

Sebelum kemerdekaan, nasib yang menimbulkan kehendak untuk bersatu terartikulasi dalam pengalaman sejarah yang sama yakni dijajah oleh bangsa-bangsa lain. Bangsa Portugis, bangsa Inggris, bangsa Jepang dan Belanda adalah bangsa-bangsa yang pernah menjajah dan mengeksploitasi tidak hanya orang-orang yang kemudian mengikrarkan diri menjadi Indonesia, tetapi juga tanah air yang menyimpan dan menumbuhkan beragam sumber kekayaan alam.

Bangsa-bangsa itu telah pergi dan kita telah berdiri sebagai satu bangsa yang juga merdeka. Kita telah berdiri sejajar dengan mereka sebagai bangsa yang berdaulat dan merdeka. Oleh karena itu, persoalan yang kita hadapi kini adalah bagaimana kita merawat kehendak bersama untuk bersatu, bagaimana kita menciptakan nasib yang sama sebagai dasar bertumbuhnya kembangnya kehendak bersatu menjadi lebih solid dan kuat.

Persoalan yang kita hadapi itu mestilah dijawab dengan berbagai kebijakan-kebijakan pembangunan, kebijakan sosial, kebijakan ekonomi, kebijakan politik, kebijakan budaya yang kondusif bagi terciptakanya nasib yang sama. Setiap orang orang Indonesia harus memiliki pengalaman pendidikan yang sama, pelayanan kesehatan yang sama, kesempatan yang sama dalam melakukam mobilitas sosial baik horizontal maupun vertical, kesempatan yang sama untuk merealisasikan hak-hak politik, hak sipil dan sosial yang sama. Dengan kebijakan-kebijakan itu, api kehendak untuk bersatu tetap akan menyala menerangi perjalanan Indonesia menuju masa depan yang lebih baik.

Persatuan Indonesia dengan demikian, bukan saja berisi kenangan sejarah bersama di masa lampau, tetapi juga pengalaman yang sama pada saat ini, dan selanjutnya harapan yang sama tentang masa depan yang lebih baik.

Yustinus Suhardi Ruman