Pandemi Menguji Pengetahuan Moral Kita
Oleh: Sitti Aaisyah
Sering kita mendengar ungkapan “tidak ada yang abadi”, khususnya ketika terjadinya bencana atau kematian. Segala sesuatunya akan sampai pada masa kebinasaannya. Makhluk yang bernyawa akan mati dan belum ada yang bisa mengabarkan kepada kita alam kematian itu seperti apa. Karenanya kematian adalah sebuah enigma, manusia tidak mengetahuinya namun melalui keyakinannya yang bersumber dari ajaran agama, manusia menata makna hidup dan membangun pandangan tentang arti hidup dan kehidupan.
Ada adagium dari Heraclitos, seorang filsuf abad ke-5 SM, yaitu pantha rai yang artinya segala sesuatunya mengalir. Sesugguhnya yang abadi hanyalah perubahan itu sendiri. Dunia sudah begitu tua, mengalami metamorfosa dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Menurut teori penciptaan dalam agama samawi, awalnya adalah Adam dan Hawa yang terlempar ke dunia dalam keadaan telanjang karena dijebak iblis. Keduanya kemudian mulai mengenal rasa malu dan belajar menutupi tubuhnya dengan dedaunan. Adam dan Hawa kemudian beranak pinak melewati era batu, era bercocok tanam, era perdagangan, era industrialisasi, era modern dan sampai hari ini era digital (mungkinkah kita menamainya demikian?)
Sepanjang sejarah kehidupan, selalu ada momentum penting yang menjadi tikungan sejarah atau tonggak perubahan arah sejarah. Misalnya di dunia pemikiran, ada Plato dan Arisoteles yang menjadi peletak batu fondasi filsafat, Nicolaus Copernicus yang menentang kedaulatan gereja pada eranya dengan teorinya “Matahari sebagai pusat tata surya”, Galileo Galilei yang melanjutkan teori Copernicus dan melengkapinya dengan pernyataan “Bumi beredar mengelilingi matahari” dll. Dalam kehidupan sebagai bangsa, suku Indiana tersingkir digantikan sebuah negara modern AS, kerajaan-kerajaan nusantara ditaklukkan VoC sehingga pemuda-pemuda bersatu mengusir penindasan dan tirani lalu bersepakat membentuk negara Republik Indonesia, jatuh dan bangkitnya berbagai peradaban-peradaban dunia, antara lain Babilonia, Roma, Maya, Mesir, Han Cina, Ottoman, dlsb.
Inilah gerak linear kehidupan yang niscaya, bahwa perubahan akan selalu terjadi sampai akhir masa yang tidak ada bisa menebak kapan tibanya. Persoalan yang tidak bisa lagi dijangkau oleh nalar adalah wilayah Tuhan, itu kata Kant. Termasuk pandemi yang kita hadapi saat ini, merupakan sebuah titik penting tikungan sejarah yang merubah perilaku dan pemahaman manusia, termasuk menimbulkan rasa penasaran kita, pasca pandemi kehidupan akan seperti apa?
Di masa pandemi, semua orang berada dalam kesulitan karena mengalami perubahan atau pembatasan gerak yang diakibatkan oleh sebuah makhluk sangat mikro yang bisa memberi ancaman serius kepada dunia. Tiba-tiba manusia menjadi takut dan ringkih, khawatir akan kebinasaannya, merasa bahwa kiamat begitu dekat dan nyata.
Ketika berbicara tentang kematian, tiba-tiba aspek psikologis terdalam kita tersentuh dan naluri kita menjadi awas untuk berupaya melakukan proteksi diri. Toh kita juga adalah binatang, yang punya insting kuat ketika ada ancaman yang mendekat. Namun, apakah selalunya kita hanya berbicara tentang diri kita sendiri atau ego kita sendiri? Apakah sang aku berdiri sendiri tanpa terkait dengan hal-hal di luar sang aku?
Seorang filsuf Prancis, Emmanuel Levinas (1906 – 1995) menggunakan terminologi pertemuan antar wajah untuk menjelaskan pandangan intersubjektivitasnya. Levinas berkata bahwa manusia memiliki hasrat untuk mengenali dengan intim dan atau mengetahui yang lain, yaitu sesuatu yang ada di luar diri yang entah dimana, pulau yang kita tinggali namun dirasa asing. Yang asing ini adalah liyan yang senantiasa memiliki dan mengantarkan perubahan dan menstimulus sang aku sebagai seorang pemikir dapat mengenali makna dan merasakan adanya koneksitas yang kuat. Wajah-wajah yang tampil ke hadapan kita mengirimkan pesan akan kondisi psikologisnya yang kemudian masuk dan menyentuh sensitifitas kita seakan kondisinya wajah itu adalah kondisi wajah kita sendiri. Ini adalah kemampuan intersubjektivitas manusia, membangun dialog antar wajah yang sejatinya wajah itu sendiri adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kesadaran intersubjektivitas ini melahirkan sebuah afeksi alih-alih tanggung jawab. Ungkapan sufistik yang terkenal ketika menggambarkan cinta, aku melihat diriku pada dirimu. Ungkapan ini senada dengan proyek etika Levinas, aku melihat wajahku pada wajah-wajah yang lain.