Meninjau Ulang Animisme

 Oleh: Gedong Maulana Kabir

Dampak dari teori animisme terbukti telah mendiskreditkan praktek yang banyak dilakukan oleh masyarakat lokal. Sebenarnya, ini bukan hanya persoalan teorinya yang diterima tanpa kritik (taken for granted), namun juga sekaligus membuktikan bahwa teori ini begitu hegemonik. Ia bukan hanya digunakan dalam narasi akademis, bahkan telah menjadi bagian dari wacana publik. Padahal, dalam dunia akademis—tepatnya studi agama, teori animisme Tylor telah mendapatkan banyak kritik.

Kritik tersebut dilontarkan bukan hanya karena teori animisme yang diklaim universal tersebut tidak mencocoki semua fenomena keagamaan yang kompleks dan beragam di dunia ini, namun juga karena teori animisme melabeli masyarakat lokal (kadang juga disebut masyarakat adat, agama leluhur, kepercayaan, maupun sebutan yang lain) secara pejoratif dan memosisikannya seolah-olah inferior terhadap agama mainstrim—secara teoritis monoteis.

Dampak lainnya adalah teori ini turut memberikan klaim moral terhadap siapa saja yang mendapat label animis. Mereka dianggap terbelakang dan tidak beradab. Karena itu, ketika teori ini yang awalnya lahir di ‘Barat’ kemudian memberikan justifikasi moral pada kolonialisme yang dilakukan di ‘Timur’. Praktek penjajahan tersebut diantaranya diklaim sebagai ‘proyek pemberadaban’ bagi wilayah yang dianggap tidak beradab. Ingat, diantara justfikasi moral dari kolonialisme adalah Gospel: Kristenisasi.

Karena implikasi yang demikian panjang, maka kritik atas teori animisme menemukan signifikansinya.

Hierarki Kosmos

Animisme melihat kehidupan di dunia ini secara hierarkis. Posisi yang di bawah dikuasai dan dikontrol oleh posisi yang ada di atasnya. Jika dijelaskan secara sederhana, maka dikenal ada tiga domain dalam kehidupan ini, yakni nature, culture, dan supernatural.

Domain nature (alam) diisini oleh batu, pohon, binatang, air, laut, gunung, dan seterusnya. Secara hierarkis, posisi nature ada di wilayah paling bawah. Hal ini dikarenakan alamdipahami sebagai sesuatu yang tidak memiliki pikiran. Karena itu alam dikuasai dan dikontrol oleh domain di atasnya.

Di atas alam ada culture. Yang dimaksud culture adalah domain di mana manusia berada. Karena itu, segala yang dilakukan oleh manusia kemudian disebut sebagai budaya. Posisi manusia yang berada di atas alam dijustifikasi oleh kemampuan manusia untuk berfikir. Atas dasar itu, manusia dianggap memiliki kuasa untuk mengontrol alam. Tetapi, manusia bukanlah yang paling berkuasa.

Pada domain tertinggi ada supernatural. Inilah domain di mana konsep-konsep tentang roh, dewa, Tuhan, spiritual, sampai yang sakral berada. Karena berada dalam hierarki tertinggi, maka domain ini dianggap yang paling berkuasa atas segala yang berada di bawahnya (baik manusia maupun alam).

Dalam hierarki semacam ini, relasi manusia kepada yang supernatural (supranatural) selalu dikerangkai dalam konteks ibadah. Ibadah dinilai benar sejauh ia dilakukan pada yang supranatural. Sehingga apa yang dipahami sebagai ibadah selalu harus dilihat dalam konteks relasi hierarkis yang di bawah (culture—manusia) kepada hierarki di atasnya (supernatural—Tuhan, Dewa dan lain sebagainya).

Di sisi lain, relasi antara manusia dengan alam dipahami sebagai relasi antara subjek dan objek. Manusia disebut sebagai subjek lantaran kemampuan untuk berfikir. Sementara alam disebut sebagai objek karena tidak memiliki kemampuan untuk berfikir. Dalam tata pikir ini, manusia dibenarkan untuk mengontrol alam baik dalam sisi positif (misalnya konservasi) maupun dalam sisi negatif (misalnya eksploitasi).

Gambar ritual adat Ulur-Ulur di telaga Buret Tulungagung: Sumber: https://www.idntimes.com/news/indonesia/bramanta-pamungkas/alasan-tradisi-ulur-ulur-di-tulungagung-tetap-digelar?page=all

Persis di titik inilah ketika ada masyarakat yang berelasi dengan alam secara berbeda dan spesial, maka praktek itu dianggap aneh. Misalnya, ketika manusia membawa sesajen pada sumber mata air. Kaca mata relasi hierarkis ini akan memahami praktek ini sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Jika hendak melakukan konservasi pada sumber mata air, maka cukup rawat wilayah tersebut. Jika hendak melakukan eksploitasi, maka tinggal ambil air itu sebanyak-banyaknya lalu kemas dan jual.

Titik pangkal anggapan keanehan ini adalah manusia yang punya kemampuan untuk berfikir seharusnya tidak memperlakukan alam secara spesial. Agar praktek ini dianggap masuk akal, maka teori animisme memberikan penjelasan: tidak mungkin alam diperlakukan secara spesial sampai diberikan sesajen. Jika itu sampai terjadi, maka pasti ada sesuatu di balik alam yang melampaui alam. Sesuatu yang melampaui alam itu kemudian disebut sebagai supranatural: roh.

Karena dikerangkai demikian, maka praktek membawa sesajen ke sumber mata air disebut sebagai praktek animis. Teori ini percaya bahwa praktek tersebut dianggap sebagai praktek penyembahan manusia terhadap roh penunggu sumber mata air. Praktek ini secara teologis dianggap salah karena—sebagaimana klaim evolusionis animisme—seharusnya manusia menyembah Tuhan yang tunggal. Sementara para praktisinya dianggap sebagai manusia yang primitif dan terbelakang.

Kritik atas Animisme

Kritik pertama bersumber pada cara memahami subjek. Animisme Tylor sangat dipengaruhi oleh dualisme ontologis Cartesian yang menganggap bahwa manusia adalah subjek otonom karena kapasitasnya untuk berpikir. Sementara alam dipahami sebagai objek karena ketiadaan kapasitas untuk berpikir. Tylor yang memahami agama secara esensial menganggap bahwa hal ini berlaku secara universal. Padahal, tidak semua masyarakat mengamini pandangan ini.

Irving Hallowel membuktikan hal tersebut melalui penelitiannya pada masyarakat Ojibwa di Kanada. Dia memperluas cakupan subjek dengan memilih konsep personhood yang dipahami sebagai bukan hanya manusia (human person), namun juga alam (non-human person)—lihat selengkapnya dalam Irving Hallowel, Ojibwa Ontology, Behavior, and World View, (1960). Ini artinya, alam tidak lagi dipahami sebagai benda dan objek, melainkan sebagai person.

Gagasan ini juga tidak memahami subjek secara otonom, namun secara relasional. Hubungan antara manusia dan alam menjadi tidak lagi bisa dilihat sebagai relasi antara subjek dan objek (individual) namun harus dilihat dalam konteks relasi antar subjek (intersubjektif) dan antar person (interpersonal) yang setara. Dalam bahasa Nurit Bird-David ini disebut sebagai epistemologi relasional.

Bird-David melakukan penelitian pada masyarakat pemburu Nayaka di India. Dia melihat relasi antara person manusia dan person non-manusia (disebut sebagai Devaru) bukanlah relasi penyembahan. Relasi mereka adalah adalah relasi etis, tanggung jawab, dan timbal balik. Identitas person manusia dipahami bukan karena eksistensi pada dirinya sendiri (self), namun karena relasinya dengan person yang lain; baik manusia maupun non manusia (Nurit Bird-David, “Animism” Revisited: Personhood, Environment, and Relational Epistemology, 1999).

Evaluasi teoritis di atas pada akhirnya menawarkan cara baru bagi kita untuk melihat berbagai praktek lokal yang sebelumnya diklaim sebagai animis dan dan bernada pejoratif. Epistemologi relasional memberikan penghargaan bagi siapa saja yang berhasil menciptakan hubungan yang harmonis dan konstruktif dengan person baik manusia maupun non-manusia. Relasi ini juga memberikan alternatif positif dalam melihat hubungan antara agama dan lingkungan. []

Gedong Maulana Kabir