Menginterupsi Pewarisan Narasi PKI

Oleh: Gedong Maulana Kabir

Seperti telah menjadi tradisi, setiap tanggal 30 September selalu muncul hiruk pikuk soal PKI (Partai Komunis Indonesia). Betapapun PKI telah dibubarkan pada 1966, namun masih ada pula yang mengkapitalisasi isu ini dengan menyebut bahwa: hantu PKI akan bangkit lagi.

Kendati demikian, sejarah selalu menemukan patahannya. Tuduhan kebangkitan PKI tak terbukti. Kecuali, beberapa pihak yang entah dari mana pada 30 September bisa tiba-tiba menemukan bendera palu-arit, buku tentang Marxisme, sampai lagu Genjer-genjer. Masalahnya, hanya karena ada itu semua, tidak lantas artinya PKI bangkit lagi. Lagi pula, toh biasanya dalam hitungan hari isu ini reda kembali.

Persoalan yang seringkali menyisakan tanya adalah mengapa narasi yang melelahkan emosi itu terus diwariskan? Celakanya, tuduhan kebangkitan PKI juga membawa serta tuduhan-tudahan yang lain. Misalnya, orang yang dituduh PKI dianggap atheis. Sudah komunis, atheis, anti-Pancasila pula. Betapa beratnya tuduhan ini.

Karena itu, sepertinya penting bagi kita untuk melihat ulang hubungan antara agama dan politik di Indonesia. Dalam persoalan ini, terutama melihat kaitan antara Islam, PKI, juga tuduhan atheism yang dialamatkan pada siapa saja yang dianggap memiliki kaitan dengan PKI.

Politik Aliran

Jika hendak dilacak, kita perlu memulainya pada awal abad ke-20 ketika muncul berbagai perkumpulan politik saat penjajahan Belanda. Misalnya, Budi Utomo lahir pada 1908, Sarekat Islam dibentuk pada 1911, tahun 1912 Muhammadiyah didirikan, PKI dibentuk pada 1914, Nahdlatul Ulama (NU) lahir kemudian pada 1926, sampai 1927 lahir Partai Nasional Indonesia (PNI).

Catatan Clifford Geertz dalam Agama Jawa (1960) menyebut bahwa munculnya perkumpulan politik tersebut akhirnya menegaskan apa yang kini disebut sebagai politik aliran. Ia merujuk pada integrasi sosial yang di Jawa dibagi dalam tiga varian: santri, abangan, dan priyayi.

Pada gilirannya, politik aliran ini terkanalisasi dalam empat partai politik: 1) PNI dengan basis massa priyayi, 2) PKI memiliki basis massa abangan (diasosiasikan dengan kelompok sinkretis juga Islam animis), 3) NU berisi kelompok santri, dan 4) Masyumi yang memiliki basis Muhammadiyah.

Situasi ini semakin memperuncing segregasi sosial di masyarakat. Priyayi dan abangan dianggap bersekutu dan berseberangan dengan kelompok santri. Kondisi polarisasi ini bahkan berkembang menjadi antagonisme santri vs. abangan, tandas Samsul Maarif dalam Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia (2018).

Pada 18 September 1948, PKI mendeklarasikan pemberontakan pada pemerintah RI sehingga konflik pecah di Madiun. Soekarno mengatasi situasi ini dengan dukungan pasukan TNI dan pasukan Hizbullah (Ricklefs, Mengislamkan Jawa, 2013). Aksi-aksi pemburuan terhadap semua yang berbau PKI kemudian meluas di seluruh Jawa. Dampaknya secara politis, pada tahun 1950-an partai-partai berhaluan Islam yang memiliki basis konstituen santri berhadapan langsung dengan PKI yang memiliki konstituen mayoritas abangan.

Politik Agama

Dalam eskalasi yang makin memuncak ini, politik agama juga semakin menegara. Depag kemudian dibentuk pada 3 Januari 1946. Dalam perkembangannya, Depag sebenarnya juga menyediakan direktorat untuk agama-agama lain, namun keberadaannya memiliki tujuan utama untuk memfasilitasi urusan santri (vs. abangan). Karena itu, bagi Geertz, kehadiran Depag merupakan episode lanjutan dari konflik antara santri vs. abangan (1960).

Saat menyebut istilah abangan, sebenarnya secara politis ia juga mencakup kelompok kebatinan. Dalam perkembangannya, kelompok ini sekarang disebut sebagai kepercayaan. Situasi ketegangan  tersebut juga bisa dilihat jejaknya dalam UU No. 1/PNPS 1965. Pada penjelasan UU bagian umum (2) dituliskan:

“Telah nayata, bahwa pada akhir-akhir ini hampir di seluruh Indonesia tidak sedikit timbul aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum Agama. Diantara ajaran-ajaran/perbuatan-perbuatan pada pemeluk alira-aliran tersebut sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai Agama. Dari kenyataan teranglah, bahwa aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang menyalahgunakan dan/mempergunakan Agama sebagai pokok, pada akhir-akhir ini bertambah banyak dan telah berkembang ke arah yang sangat membahayakan Agama-agama yang ada.”

Kondisi ini semakin menggambarkan bagaimana kelompok abangan, kebatinan/kepercayaan yang dianggap sebagai pengikut PKI semakin dipinggirkan oleh negara. Sementara kelompok Islam, yang sebelumnya dikategorikan sebagai santri, semakin jauh menginfiltrasi negara. Inilah yang kemudian melahirkan politik agama di Indonesia.

Puncak dari ketegangan ini adalah ketika terjadi penculikan enam Jendral TNI pada 30 September 1965. Peristiwa ini menimbulkan respon berupa serangan anti-komunis, dan PKI sebagai partai politik dibubarkan. Peristiwa ini kemudian disusul dengan Jendral Suharto yang menjadi presiden RI dan mengawali babak baru resim Orde Baru.

Babak baru ini ditandai dengan penumpasan PKI yang dilakukan oleh penguasa menggunakan instrumen militer dengan dukungan kelompok Islam. Karena PKI menguatkan basis di akar rumput sampai kelompok kesenian, maka kelompok abangan dan kebatinan juga dituduh menjadi bagian dari PKI. Konsekuensinya, mereka turut menjadi sasaran genosida. Menurut Fact Finding Commission, jumlah korban mencai 78.000. Oei Tju Tat yang didapuk sebagai ketua tim menyebut angka yang lebih tepat adalah jika ditambah 0: 780.000 jiwa.

Meski jumlah pasti korban genosida terhadap orang-orang yang dituduh sebagai PKI tidak diketahui secara pasti, namun peristiwa tersebut telah melahirkan trauma yang serius dalam kehidupan bernegara. Konflik ini jelas memperlihatkan konflik vertikal yang meluas menjadi konflik horizontal.

Belajar dari Sejarah

Hal pertama yang harus dilakukan adalah negara perlu mengakui sejarah kelam ini. Pemerintah boleh berganti, namun negara tetap. Karena itu, pengakuan atas fakta sejarah ini sebenarnya tak merendahkan harkat dan martabat pemerintah sedikitpun. Posisi negara menjadi sentral dalam hal ini karena tragedi genosida 1965 adalah konflik vertikal. Ini adalah buah konflik politik. Dan karena itu, negara perlu meminta maaf.

Proses itu juga perlu dibarengi dengan upaya menghilangkan bias narasi sejarah yang mendiskreditkan banyak korban. Misalnya, mereka yang dibunuh karena dituduh sebagai bagian dari PKI tidak pernah melalui proses pembuktian di pengadilan. Eksekutornya, bukan hanya negara (militer), namun juga menggunakan tangan sipil (Islam).

Ini terjadi karena sejak awal komunisme dicitrakan sebagai ideologi anti-Tuhan. Misrepresentasi ini menjadi senjata ampuh untuk mengadu domba masyarakat sipil antara kelompok komunis dan kelompok Islam yang sebelumnya memang berkontestasi secara politis. Situasi ini jelas merugikan kelompok Islam. Sebaliknya, kelompok abangan, kebatinan/kepercayaan juga terus menjadi sasaran pengawasan karena dianggap bukan agama dan diasosiasikan dengan PKI.

Situasinya kini sudah berubah. Setelah putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 tentang judicial review Undang-Undang Administrasi Kependudukan, kelompok kepercayaan kini bisa mencantumkan identitas kepercayaannya dalam KTP dan KK. Ini artinya, dalam politik agama di Indonesia, kelompok kepercayaan—meski dibedakan dengan agama—tetap harus dipenuhi hak-haknya. Kelompok kepercayaan yang dulu dituduh menjadi bagian dari PKI tanpa proses peradilan, kini telah diakui legalitasnya oleh negara.

Atas dasar ini, maka dibanding mengkhawatirkan kebangkitan kembali hantu PKI, lebih baik kita merayakan kehidupan bernegara yang adil. Penuhi hak-hak warga negara, apapun agama dan kepercayaannya. Secara sosial, terima keragaman agama dan kepercayaan, tanpa perlu membeda-bedakannya. Mata rantai pewarisan narasi kebencian dengan sentimen agama harus diputus. Soal rumor kebangkitan PKI, abaikan saja. Itu hoax. []

Gedong Maulana Kabir