Mengapa Belajar Pancasila?
Oleh: Sitti Aaisyah
Ada seorang mahasiswa bertanya, mengapa kita harus mempelajari Pancasila? Bukankah Pancasila telah diajarkan sejak tingkat Taman Kanak-Kanak? Lalu, untuk di tingkat perguruan tinggi, apa urgensinya mempelajari kembali Pancasila? Bukankah semua orang menghapal Pancasila namun tetap saja kelima landasan negara tersebut tidak terwujud dalam kehidupan praksis? Masihkah kita bisa berbangga dengan ideologi Pancasila?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut menggelitik sekaligus menantang kita untuk memikirkan kembali Pancasila sebagai ideologi, yaitu sebagai fondasi utama penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara; dan juga Pancasila sebagai sebuah produk pemikiran falsafati yang selalu terbuka untuk diinterpretasi dan direinterpretasi di setiap zaman. Pancasila meski sakral sebagai ideologi bangsa, kualitas yang tidak bisa ditawar untuk digantikan lagi, karena mengganti ideologi ini artinya merubuhkan fondasi negara, Pancasia dengan segala kesaktiannya dan multi interpretasi dalam pendekatannya menjadikan falsafah negara ini memiliki nilai lebih sehingga Pancasila tidak pernah tertutup dari kemungkinan pemberian makna baru yang lebih mampu menjawab persoalan kekinian.
Seiring bertambahnya usia, manusia mengalami perkembangan pola pikir, termasuk kemampuan menalar, tergantung dari bagaimana lingkungan dia bertumbuh. Di masa kanak-kanak, pendidikan umumnya diajarkan secara dogmatis. Di era kekuasaan Stalin, rezim mengajarkan komunisme dan khususnya paham anti ketuhanan kepada anak-anak dengan meminta anak-anak yang sedang kelaparan meminta roti langsung kepada Tuhan. “Mintalah langsung kepada Tuhan jika Tuhan memang itu ada” perintah gurunya. “Apakah Tuhan itu ada dan memberikan roti yang kalian butuhkan?” Anak-anak murid menjawab tidak. Lalu kemudian Sang guru melengkapi ajaran dogmatisnya dengan meminta murid meminta roti kepada dirinya dan segera membagikan roti kepada anak-anak. Demikianlah cara dogmatis yang instan mengenai ajaran anti Tuhan diajarkan kepada anak-anak. Cerita yang berbeda, seorang ibu yang mencoba mengajarkan kepada anaknya agar tidak takut dengan suara guntur, petir dan kilat karena adanya Tuhan yang menjaga. Namun ketika badai datang, suara guntur bergemuruh tiada henti-henti sang anak pun bertanya, Tuhannya ada dimana? Demikianlah kemampuan penerimaan anak-anak yang hanya bisa menagkap ajaran dogmatis, tanpa perlu penalaran dan hanya dengan pembuktian secara langsung dan sederhana.
Pada level usia yang lebih tua, Pancasila diajarkan dengan menggambarkan nilai-nilai yang berada di balik teks dan simbol setiap silanya. Perguruan tinggi adalah lingkungan pendidikan yang memposisikan mahasiswa sebagai individu yang otonom berpikir dan mampu menalar lebih baik. Tentunya pembekalan dengan perangkat ilmu logika sebagai landasan dari berpikir kritis menjadi syarat utama dari masyarakat ilmiah. Maka tentu saja harapannya, mahasiswa mempelajari kembali Pancasila tidak dengan cara dogmatis tetapi dengan menggali nilai-nilai falsafah Pancasila untuk memperkuat karakter kebangsaan dalam menjawab persoalan bangsa hari ini, seperti budaya korupsi, politik uang, rasisme, intoleransi dan ketidakadilan.