Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan
Oleh: Yustinus Suhardi Ruman
Sila ke-4 Pancasila, “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan” merupakan sila dengan rumusan yang lebih panjang bila dibandingkan dengan ke-4 sila lainnya. Sangat jelas dari sila ini bahwa negara Indonesia tidak dipimpon oleh satu golongan agama, oleh satu golongan orang kaya (oligarkhi), oleh satu gologang ras dan etnis. Selain itu, negara Indonesia juga tidak dipimpin oleh para bangsawan atau salah satu raja. Indonesia juga tidak dipimpin oleh satu kekuatan bersenjata. Bangsa Indonesia dipimpin oleh “hikmat kebijaksanaan”.
Pada umumnya, bahkan pada dasarnya, sila ini biasa dipakai sebagai dasar rujukan untuk membahas demokrasi Indonesia yang berdasar pada Pancasila. Dasar demokrasi Pancasila adalah “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan.” Sila-sila lain biasanya juga disebut, namun tidak ditempatkan sebagai prinsip utama yang digunakan untuk menjelaskan demokrasi Pancasila. Sila-sila lain itu disebut semata-mata sebagai nilai yang harus dimuati oleh demokrasi.
Awalnya, sila ini dirumuskan dengan sangat singkat oleh Soekarno dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai pada tanggal 1 Juni 1945. Setelah mengajukan prinsip kebangsaan, internasionalisme, Soekarno mengajukan prinsip mufakat atau demokrasi sebagai prinsip ke-3 dari Indonesia Merdeka. Usai menerangkan dasar ke-2 dari Indonesia merdeka yakni Internasionisme, Soekarno bertanya dan menerangkan;
Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan
Soekarno menyakini, negara Indonesia merdeka dibangun oleh “semua buat semua”. Instrumen demokratis yang memungkinkan terbangunnya negara Indonesia oleh “semua dan buat semua” itu adalah mufakat. Tanpa mufakat, tidak mungkinlah Indonesia merdeka dibangun oleh semua dan buat semua. Tanpa demokrasi, Indonesia merdeka tidak akan menjadi negara “semua buat semua”.
Demokrasi yang dimaksudkan oleh Soekarno adalah demokrasi perwakilan. Menurut Soekarno, setiap golongan harus memperjuangkan kepentingan golongannnya melalui Lembaga Perwakilan Rakyat. Ada dua langkah agar perjuangan itu sukses.
Langkah Pertama adalah tahap proses elektoral. Setiap golongan harus berjuang atau dalam kata-kata yang digunakan Soekarno sendiri, “bekerja sehebat-hebatnya”, mengirimkan wakil sebanyak-banyaknya untuk duduk di Lembaga Perwakilan Rakyat. Pernyataan Soekarno tentang langkah pertama ini dapat kita temukan dalam pidatonya terkait umat Islam berikut ini;
Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar daripada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan-utusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian terbesarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan Rakyat 100 orang anggotanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula.
Tentu, pernyataan itu tidak secara ekslusif terkait dengan umat Islam. Pernyataan itu, juga ditujukan kepada semua golongan. Orang Kristen, orang Buddha, Orang Hindu, Katolik dan golongan-golongan lainnya seperti para buruh harus “bekerja sehebat-hebatnya” untuk mendudukan sebanyak mungkin wakilnya di kursi Lembaga Perwakilan Rakyat.
Langkah kedua adalah perjuangan pasca proses elektoral. Pasca proses elektoral, para utusan golongan yang telah menduduki kursi di Lembaga Perwakilan Rakyat harus berjuang “sehebat-hebatnya”, kata Seokarno. Pernyataan Soekarno ini dapat kita temukan dalam isi pidatonya berikut ini;
Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjuangan paham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjuangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara Islam dan saudara-saudara Kristen bekerjalah sehebat-hebatnya.
Secara terminologis, langkah kedua ini dikenal dengan demokrasi deliberatif. Dalam demokrasi deliberatif, setiap pikiran dapat diperdebatkan. Lalu kemudian, pikiran yang paling rasionallah yang diambil untuk sebuah keputusan. Suatu keputusan diambil bukan berdasarkan banyaknya dukungan, tetapi berdasarkan gagasan yang paling baik dan masuk akal. Kesan deliberatif dalam pidato Soekarno tersebut terdapat dalam kata-katanya, “perjuangan sehebat-hebatnya.”
Namun sebuah keputusan deliberative diperlukan sebuah kemufakatan. Kemufakatan adalah unsur pembeda deliberasi yang praktekan oleh bangsa Barat dengan apa yang dipikirkan Soekarno bagi demokrasi Indonesia merdeka. Sebuah mufakat tidak hanya memerlukan pemikiran yang rasional seperti yang dipraktekan di negara-negara liberal.
Mufakat juga melibatkan suatu kebajikan tertentu yang bersumber dari nilai-nilai luhur bangsa. Oleh karena itu, keputusan yang diambil tidak saja bersifat rasional, tetapi juga memuat dimensi moral yang berkar kuat dalam budaya bangsa. Ini adalah kekuatan utama demokrasi yang dipraktekan oleh Indonesia merdeka. Rasionalitas itu harus diterjemahkan secara moral dari sisi Ketuhanan, Kemanusiaan, Koeksistensi, Keadilan. Rasionalitas dalam demokrasi tidak boleh bertentangan dengan dimensi-dimensi moralitas ini.
Selain itu, mufakat juga menuntut dialog. Dialog berbeda dengan deliberatif secara substantif. Deliberasi menghasilkan pemikiran yang paling baik untuk diambil sebagai keputusan, sedangkan dialog menghasilkan kepercayaan. Setiap pihak yang terlibat dalam mufakat itu saling percaya antara satu dengan yang lainnya meskipun apa yang diputuskan berbeda dari apa yang mereka harapkan.
Sampai di sini, demokrasi perwakilan memuat tiga elemen dasar yakni deliberasi, dialog dan mufakat. Dalam Lembaga Perwakilan Rakyat setiap golongan bekerja atau berjuang sekeras-kerasnya melalui jalan delibarasi, dialog dan mufakat.
Dalam sidang PPKI rumusan dasar ketiga ini menjadi sila ke-4 dengan rumusan yang lebih panjang yakni “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan”.
Meski memiliki rumusan yang panjang, spirit utama dari sila ini adalah “himat kebijaksanaan”. Hikamat kebijaksanaan akan menuntun setiap musyawarah yang dilakukan oleh para wakil rakyat. Atau dalam perspektif Soekarno, hikmat kebijaksanaan akan menuntun setiap deliberasi, dialog dan musyawarah yang dilakukan oleh para wakil rakyat untuk Indonesia yang lebih baik.
“Hikmat kebijaksanaan” dipersonifikasi pada individu-individu yang menjadi pemimpin bangsa yang lahir melalui proses elektoral sebagaimana yang dijelaskan oleh Soekarno dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Mereka diharapkan menjadi guru moral bagi bangsa. Guru moral yang menjaga semangat, kemauan, keinginan setiap golongan untuk menjadi Indonesia.Singkatnya demokrasi harus memperkuat kebangsaan atau nasionalisme Indonesia.