Belajar Sistem Bernegara ala Bugis
Oleh: Sitti Aaisyah
Latoa adalah sebuah pemikiran dari jazirah Bugis, tepatnya sebuah lontara’ atau kitab yang diwariskan kerajaan Bone pada masa pemerintahan La Tenrirawe Bongkange, Raja Bone ke-7 (1560-1578). Latoa ini merupakan kumpulan petuah-petuah bijaksana dari raja-raja atau orang-orang bijaksana seperti Kajaolaliddo, Petta Matinroe Ri Tanana, dan lain-lain. Isi petuahnya beragam tema, namun yang utama adalah berkenaan dengan kewajiban raja kepada rakyatnya dan begitupun sebaliknya kewajiban rakyat kepada rajanya.
Secara garis besar, Prof. Mattulada mengelompokkan ke dalam tiga kesimpulan umum atas naskah Latoa, yakni:
- Manusia itu apapun dan bagaimanapun kedudukan dan derajat sosialnya, adalah makhluk yang sama derajatnya di hadapan Tuhan.
- Manusia itu, dalam tujuan hidupnya berhasrat untuk selalu berbuat kebaikan.
- Manusia itu, dalam membangun nilai-nilai dan pranata sosial kebudayaannya selalu berusaha mencapai keselarasan antara kepentingan kolektif dan kepentingan individunya.
Di dalam Latoa juga disebutkan sebuah sistem yang disebut Pangngadereng. Pangngadereng merupakan sebuah sisitem nilai dalam masyarakat Bugis yang tidak hanya mengandung nilai-nilai normatif yang mengikat melainkan lebih dari itu, bahwa orang tidak harus merasa terpaksa menjalankan adat namun juga melibatkan perasaan terdalam (mental dan spiritual) yang menganggap diri adalah bagian integral dalam sistem Pangngadereng. Hakikat terdalam Pangngadereng adalah memelihara dan menumbuhkan harkat serta nilai-nilai kemanusiaan dan ini dilandasi dengan prinsip siri’ (malu). Jika manusia menjalankan aturan adat hanya sebagai sebuah ritual atau kebiasaan hidup sehari-hari, maka hilanglah aspek Pangngadereng-nya. Sebab, yang ditekankan dalam sistem Pangngadereng adalah bagaimana membangun harkat manusia. Hidupnya sistem Pangngadereng di dalam masyarakat melahirkan adanya kebebasan untuk rakyat bisa memilih. Jika ada raja yang tiran, rakyat boleh membunuhnya atau menurunkannya dari tahta dan mengusirnya keluar dari negeri.
Dari pengertian tersebut, jelaslah bahwa nilai yang terkandung dalam Pangngadereng bukanlah aturan baku yang ajeg dan tidak bisa diubah-ubah sebagaimana pengertian adat-istiadat yang menjadi aturan normative. Sebaliknya, di dalam Pangngadereng memuat nilai yang sangat lentur dalam melihat perubahan konteks sosial masyarakatnya dan memiliki visi utama menjungjung tinggi pembelaan terhadap harkat dan martabat manusia. Jika hanya berpegang pada adat, maka hal ini dapat mengundang tirani oleh penguasa kepada rakyatnya, karena seringkali aturan adat menjadi alat untuk melegalkan keinginan atau ambisi penguasa dalam menstrukturkan kejahatan.
Adat harus dilengkapi dengan Pangngadereng sehingga menjadikan manusia dengan potensi akal budinya dapat merumuskan kehidupan yang baik dan harmoni dalam hubungannya dengan Tuhan, manusia, dan alam jagad raya. Adapun siri’ merupakan nilai essensi atau ikatan terdalam pada diri manusia untuk mempertahankan martabat dan harga dirinya. Siri’ bukan hanya dimaknai sebagai rasa malu yang hanya pada persoalan mentalitas atau emosional belaka. Siri’ merupakan hasil kontemplasi atau refleksi kritis dan atau olahan akal budi yang memadukan aspek rasionalitas, spiritualitas, dan kepekaan sosial. Maka dengan siri’, Pangngadereng mengusung nilai-nilai kebijaksanaan, keadilan, kejujuran, dan keberanian menegakkan kebenaran untuk menjaga harkat martabat manusia dalam kehidupan.