Manusia Mahluk Yang Mulia?

Oleh: Christian Siregar

Allah telah menyatakan bahwa manusia adalah mahluk paling mulia di muka bumi dengan kesempurnaan yang melebihi makhluk lain atas karunia-Nya. Demikianlah pendapat orang beragama secara umum.

Dalam agama Kristen:

Mazmur 8: 2-10 pemazmur mengatakan, “Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi! Keagungan-Mu yang mengatasi langit dinyanyikan. Dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu telah Kauletakkan dasar kekuatan karena lawan-Mu, untuk membungkamkan musuh dan pendendam. Jika aku melihat langit-Mu,  buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu;  segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya: kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga binatang-binatang di padang; burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi arus lautan. Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi!”

Dalam agama Islam:

Allah Ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahluk yang telah Kami ciptakan.” (Al-Israa’ : 70).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah menjelaskan, “Karena Allah telah mengkhususkan manusia berupa kedudukan dan keutaman yang tidak ada pada makhluk lainnya”. (Taisir Karimi Rahman hal. 463, Muassasah Risalah, cet, I, 1420 H, Asy Syamilah)

Bahkan ulama menjelaskan bahwa manusia lebih mulia dari malaikat. Ahli tafsir terkemuka, Imam Ibnu Katsir Rahimullah menjelaskan, “Ayat ini menjadi dalil bahwa jenis manusia lebih utama dari jenis malaikat”. (Tafsir Ibni Katsir 5/97, Darut Thayyibah, cet ke-II, 1420 H, Asy Syamilah).

Benarkah manusia sebagai mahluk ciptaan Allah yang paling mulia?

Pandangan ini terkesan cenderung atau terlalu antroposentris, menempatkan manusia sebagai pusat kehidupan di samping Allah. Manusia sebagai yang paling berkuasa di muka bumi, pengatur utama dalam tata kelola alam semesta. Ibarat Tuhan sebagai Chief Executive Officer (CEO) dan manusia ciptaanNya sebagai direktur pelaksana. Kelemahan pandangan seperti ini adalah bukti kegagalan manusia sebagai subyek yang dipercaya Allah untuk mengatur dan mengelola kehidupan ini menjadi lebih baik dan semakin baik. Lihatlah bagaimana bangsa manusia dikuasai oleh keinginan jahatnya dan melakukan aksi korupsi, KDRT, bully, human trafficking, eksploitasi SDA (air, tanah, hutan dan sebagainya), eksploitasi tenaga kerja, aksi-aksi anarkis dan berbagai aksi lain yang sangat jelas di depan mata kita telah mengakibatkan banyak kerusakan pada pranata alam dan tatanan sosial kehidupan.

Manusia abdi Allah

Manusia sebagai epifani, gambar atau ciptaan Allah yang mulia (bukan paling mulia, sebab entitas lainnya juga memiliki kemuliaan masing-masing) semestinya sadar bahwa tugasnya sebagai yang dimuliakan Allah adalah menjaga, merawat dan melestarikan kehidupan, termasuk alam, bukan malah merusaknya. Manusia dengan akal budinya adalah partner, rekan sekerja Allah, untuk memelihara semesta dan segala isinya. Sebab itu kesadaran nurani bahwa manusia adalah abdi Allah menjadi penting direnungkan kembali. Sebagai abdi tugas manusia adalah mengabdi dan bukan mengumbar nafsu berahi, kebiadaban, keserakahan dan eksploitasi yang serba merusak tatanan kehidupan. Sebab dalam hal itulah, dalam pelaksanaan peran dan tugas manusia sebagai abdi yang menjaga relasi dan merawat kehidupan, keluhuran dan kemuliaan Tuhan yang sesungguhnya nampak.

Pisau adalah simbol kekuasaan yang memiliki dwi fungsi, untuk membunuh atau membedah dengan tujuan menyelamatkan

Christian Siregar