Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Fellowship Sebuah Jalan Diseminasi

Oleh: Yuventia Prisca, S.Sos., M.Fil.

Hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) tergolong sebagai hak yang paling tua dan fundamental dalam kodifikasi hak asasi manusia universal (Ahmad 2016, 124). Di Indonesia sendiri, KBB telah lama diatur dalam pasal 29 ayat 1 & 2 UUD 1945 untuk menjamin kebutuhan asasi warganya dalam beragama dan beribadah. Jaminan hukum ini diperlukan di tengah kemajemukan agama dan kepercayaan di Indonesia, kendati praktik yang terjadi masih seringkali menemui benturan diskriminasi baik di tingkat akar rumput maupun institusi negara. Karena itu perluasan pemahaman akan arti penting kesetaraan antar penganut agama/keyakinan, perlu dilakukan secara sistematis kepada segala lapisan khalayak luas.

Salah satu lini efektif dalam melakukan penetrasi KBB, ada pada pendidikan tinggi. Kampus menjadi tempat yang sesuai untuk menyemaikan diskursus tingkat lanjut KBB. Berangkat dari kesadaran ini, Program Studi Pasca Sarjana Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menyelenggarakan program fellowship KBB kepada dosen terpilih di seluruh Indonesia, yang berlangsung selama kurang lebih tujuh bulan.

Konsep Fellowship

Program Fellowship KBB pada tahun ini merupakan penyelenggaraan yang keempat sejak pertama kali dilakukan pada 2019. CRCS sebagai pihak penyelenggara utama juga didukung oleh sejumlah perguruan tinggi dan lembaga advokasi HAM tanah air, seperti Sekolah Tinggi Hukum Jentera Jakarta, Pusat Studi HAM, Multikulturalisme dan Migrasi Universitas Negeri Jember, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Tak kalah penting pula bahwa kegiatan ini juga terlaksana berkat dukungan kerjasama dengan Universitas Oslo, Norwegia dan Universitas Brigham Young, AS.

Agar terpilih dalam program ini, peserta perlu mengirimkan proposal riset dalam bidang KBB. Dari sekitar tujuh puluh lebih proposal yang diterima panitia pada tahun ini, hanya dua puluh lima yang terpilih. Proposal berasal dari para dosen di berbagai bidang ilmu agama dan sosial-humaniora di Indonesia, mulai dari Aceh sampai Ambon. Tahun ini adalah yang pertama bagi Binus lolos dalam seleksi ini.

Zainal A. Bagir selaku Direktur Program Studi Agama jenjang doktoral, Universitas Gadjah Mada (International Consortium for Religious Studies/ICRS), menyatakan dalam laman resmi fellowship KBB CRCS UGM, bahwa fellowship KBB adalah sarana untuk merespon pertanyaan-pertanyaan kritis dalam praktik KBB, yaitu sejauh mana norma dan praktik KBB dipahami, dan bagaimana mengajarkan dan meneliti tema ini sehingga membentuk ekosistem yang memungkinan tersedianya layanan advokasi bagi pelanggaran KBB dan pencegahan potensinya.

Hal ini terealisasi dalam dua agenda pembelajaran KBB yang diikuti oleh para fellows (sebutan bagi peserta yang lolos seleksi). Pertama, penguatan konsep KBB dan unsur-unsur intrinsik dalam regulasi universal KBB. Hal ini ditempuh melalui kelas belajar daring selama delapan pertemuan dimulai pada bulan Mei hingga awal Juli. Kedua, penguatan tema riset KBB melalui kelas pelatihan menulis proposal riset dan international conference KBB – keduanya berlangsung di Yogyakarta – yang menampilkan hasil penelitian para penerima fellowship pada tahun-tahun sebelumnya.

Kelas Daring KBB: Pengalaman Bissu

Pembelajaran daring KBB selama delapan kali pertemuan itu memperkenalkan berbagai tema pokok dalam KBB. Beberapa di antaranya seperti norma-norma utama dalam KBB, prinsip universalisme dan partkularisme HAM, peran negara terkait jaminan KBB, pembatasan dan kaitan KBB dengan hak-hak asasi manusia lainnya, seperti hak berekspresi dan berpendapat. Kelas dipandu oleh fasilitator kompeten wacana KBB di Indonesia. Dari CRCS UGM terdiri dari Dr. Zainal Abidin Bagir, Dr. Iqbal Ahnaf dan Dr. Samsul Arifin. Lalu Dr. Suhadi Cholil dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Asfinawati dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Jakarta dan Renata Arianingtyas dari The Asia Foundation.

Tidak seperti pertemuan kelas pada umumnya yang sudah pasti diawali dengan penyampaian materi, kelas daring KBB mengambil jalur berbeda. Peserta justru mendengarkan dan berinteraksi dengan seorang Bissu, sebutan bagi pemuka agama tradisional Bugis, Sulawesi Selatan yang mengalami diskriminasi puluhan tahun lamanya. Bissu mengalami tekanan ganda. Pertama, dalam hegemoni agama arus utama yang dianut masyarakat mayoritas Bugis, Bissu dianggap sebagai perwakilan kepercayaan yang keluar dari pakem, jika tidak mau disebut sesat. Kedua, problematika gender Bissu. Seorang Bissu adalah seorang laki-laki yang berpembawaan perempuan sejak lahir.

Keberadaan Bissu yang tampak keluar dari jalur normal baik dari sisi agama maupun gender dalam anggapan umum masyarakat adalah dasar sekaligus justifikasi diskriminasi kepadanya. Dalam penuturannya, Bissu mengeluhkan sikap pemerintah daerah yang tidak melindungi mereka, bahkan justru membiarkannya terpinggir akibat desakan masyarakat yang menganggapnya salah. Padahal di sisi lain, Bissu juga masih diperlukan dalam perayaan-perayaan yang memerlukan peran Bissu sebagai pendoa pada kegiatan hajatan masyarakat. Jika diskriminasi ini terus dibiarkan, Bissu menyadari komunitas dan tradisi spiritual tradisional Sulawesi Selatan ini dipastikan perlahan akan berakhir.

Dari penuturan kisah Bissu, peserta tidak saja semakin menyadari bahwa jaminan KBB selalu sudah pasti menemui hambatan diskriminasi sebagai pelanggaran KBB yang seringkali dialami oleh minoritas, tetapi juga tumbuh sikap empati yang menghantarkan pada dorongan advokasi bagi kelompok minoritas. Abidin Bagir melihat cara pembelajaran yang meletakkan diskusi interaktif pengalaman pada pertemuan pertama kelas, justru sebagai cara menarik untuk menghidupkan semangat peserta konsisten mendalami tema KBB. Dengan menyentuh sisi afeksi peserta, pembelajaran menjadi menarik dan mengesankan.  

Pada pertemuan kelas terakhir, peserta diminta untuk membuat silabus atau rencana pengajaran mengenai KBB. Idealnya pembelajaran KBB dijalankan selama satu semester, tetapi jika tidak dimungkinkan, insersi ke dalam topik tertentu pada satu atau beberapa mata kuliah adalah salah satu cara yang dapat ditempuh. Tujuannya agar semakin banyak peserta didik semakin menyadari pentingnya untuk hormat terhadap KBB orang lain.

Workshop Penulisan

Sebanyak 25 peserta yang rutin mengikuti kelas daring, mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pelatihan penulisan proposal riset KBB. Kegiatan berlangsung selama tiga hari di Disaster Oasis, Kaliurang, Yogyakarta. Ada empat tim peserta yang masing-masing didampingi dua mentor. Para mentor tetap berasal dari fasilitator yang sejak kelas daring telah mendampingi peserta. Pada setiap kelompok, peserta menjelaskan tema riset KBB yang diminatinya, dan pertanyaan utama riset di dalamnya. Mentor memberi pandangannya agar riset yang diusulkan fellows betul-betul mengandung perspektif KBB sehingga menambah khazanah advokasi KBB. Inilah tantangan sekaligus peluang akademis bagi para dosen yang belum terbiasa dengan tema KBB.

Bagi penulis, metode diskusi di antara sesama penulis dengan pendampingan mentor dalam kelompok kecil sangat mengasyikan dan menginspirasi. Peserta tidak saja menyampaikan tema riset yang diminatinya, tetapi juga mendengarkan ide riset dari  peserta lain dan tanggapan mentor. Tidak saja itu, peserta juga dapat memberikan masukan terhadap ide riset peserta lain, bahkan menanggapi pandangan mentor. Peserta kemudian bebas mensintesiskan segala masukan kepadanya. Sungguh sebuah diskusi keilmuwan yang terbuka, egaliter dan penuh hormat. Penulis merasakan kultur keilmuwan yang deliberatif dan membumi.

Tema-tema riset KBB yang diangkat rekan-rekan fellows sangat beragam dan menarik. Tercatat di antaranya seperti hak untuk menikah beda agama, muatan persekusi terhadap minoritas di media sosial, kasus diskriminasi penganut Syiah di Sampang, Madura, diskriminasi terhadap siswa minoritas di lingkungan sekolah negeri, persekusi akibat perbedaan bentuk jilbab dan lain sebagainya. Selama tiga hari tersebut, peserta wajib menyelesaikan proposal riset yang semakin menemukan bentuk final, untuk kemudian direalisasikan hingga akhir tahun ini.

Penghayat Kejawen Urip Sejati

Mendalami konsep tidak berarti terasing dari kenyataan. Itulah yang dirasakan para fellows. Peserta tidak saja digembleng untuk menggulati konsep, namun ditarik ke dalam realitas KBB itu sendiri. Pada hari keempat seusai sesi workshop penulisan, para fellows menuju ke Bukit Menoreh, Magelang untuk menyaksikan langsung komunitas penghayat Kejawen Urip Sejati. Perjalanan kurang lebih dua jam dari Kaliurang terasa singkat karena diliputi atmosfer kekeluargaan di antara para fellows dan suguhan pemandangan yang indah.

Komunitas penghayat Kejawen Urip Sejati mendiami Bukit Menoreh di Dusun Onggosoro, Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, hanya berjarak kurang lebih lima belas kilometer dari komplek Candi Borobudur. Sebuah kawasan tanah peradaban Jawa yang dimulai ribuan tahun lalu. Peserta menuju ke kediaman sesepuh Kejawen Urip Sejati, Mbah Kamijan dengan mendaki lereng bukit dengan kemiringan empat puluh lima derajat. Selama pendakian, di tengah udara dingin kami seringkali menjumpai ibu-ibu berusia lanjut yang menyusuri bukit dengan memanggul tumpukan kayu sebagai kayu bakar dapur. Mereka sehat dan panjang umur!

Hingga pada akhirnya kami tiba di rumah Mbah Kamijan, disambut oleh beberapa anggota masyarakat penganut Kejawen dengan penuh kehangatan khas masyarakat desa. Sebagaimana dituturkan Mbah Kamijan, penghayat Kejawen Urip Sejati didirikan oleh Gusti Bandoro Pangeran Haryo Suryodiningrat sekitar tahun 1940an. Mereka diajarkan untuk menjadi orang Jawa yang sumeleh (rendah hati dan pasrah) dan semakin menyatu dengan dengan Tuhan (manunggaling kawula gusti) melalui sikap hidup yang selalu baik kepada sesama dan alam. Tidak ada indoktrinasi surga dan neraka yang memaksa, yang ada adalah berlakulah baik selama hidup.

Sebagian besar dari mereka adalah petani sederhana yang menghidupi nilai Kejawen. Terpancar dari gaya hidup mereka yang sangat bersahaja, penuh senyuman, merangkul orang lain dengan penuh kekeluargaan dan mencintai alam. Nilai inilah yang menjadi kekuatan mereka selama menerima perlakuan diskriminatif negara puluhan tahun lamanya akibat keputusan UU Nomor 1/PNPS/1965, yang kemudian diperkuat oleh TAP MPR Nomor IV/MPR/1978. Kedua norma negara ini menempatkan penghayat/aliran kepercayaan sebagai bukanlah agama. Berdasar dari norma negara itulah, para penghayat aliran kepercayaan bagaikan kaum ilegal dalam pengawasan Kejaksaan Agung (Ahmad 2016, 121) yang dikhawatirkan akan menimbulkan keresahan bid’ah dalam masyarakat.

Pada tahun 1994 sanggar ibadah Kejawen Urip Sejati dibakar massa yang marah dengan keberadaan mereka, akibat provokasi seseorang yang berasal dari luar dusun Onggosoro dan diperuncing oleh kelompok agama radikal yang menilai Kejawen adalah kepercayaan yang tidak sesuai dengan agama resmi Indonesia.  Tahun 1997, sanggar ibadah dibangun kembali.

Para penghayat di Indonesia harus menipu identitas diri mereka dengan memilih agama tertentu dalam kolom agama KTP untuk memperoleh akses pemenuhan hak-hak warga negara. Keluarnya Putusan MK No.97/PUU-XIV/2016 mengakhiri derita diskriminasi penghayat, di mana negara akhirnya menyediakan kolom penghayat dalam KTP.

International Conference

Perjumpaan dengan komunitas Kejawen meninggalkan rasa empati mendalam untuk menyuarakan betapa sulitnya memperoleh perlakuan setara, meski dalam perkara menyembah adi kodrati. Kumpulan rasa empati inilah yang dirasakan oleh para fellows lainnya dan menjadi modal semangat untuk menjalani rangkaian kegiatan terakhir fellowship, yaitu pertemuan internasional pada tanggal 18 – 20 Juli di University Club Hotel, Universitas Gadjah Mada, Bulaksumur, Yogyakarta.

Konferensi yang berlangsung selama tiga hari tersebut terdiri dari tiga agenda utama. Hari pertama para fellows menjalani simposium buku, yang secara khusus membahas buku Shari’a and Human Rights (HAM dan Syariat) yang diterbitkan oleh Penerbit Mizan pada tahun 2022 ini. Buku ini menyediakan pemahaman kaitan agama – dalam hal ini Islam – dengan HAM, bahwa agama berposisi mendukung penghormatan KBB yang justru melindungi penganut dan agama itu sendiri. Pukul delapan malam, konferensi menghadirkan Heiner Bielefeldt, seorang pelapor khusus untuk PBB bidang KBB tahun 2010 – 2016 asal Jerman, yang menyampaikan pandangannya mengenai “Kontribusi Kebebasan Beragama bagi Perdamaian Masyarakat”.

Sementara itu pada hari kedua, konferensi fokus pada presentasi makalah riset para fellow tahun lalu dalam bentuk diskusi panel. Ada enam tim panel yang masing-masing memiliki tema riset KBB tersendiri. Di antaranya seperti: praktik KBB dalam perguruan tinggi, komunitas masyarakat lokal bahkan di sekolah/kampus berbasis agama Islam dan Katolik, norma-norma KBB, dan pemenuhan KBB di kalangan masyarakat difabel dan rentan (LGBT). Tema-tema riset KBB yang beragam membuat konferensi berlangsung hangat dan penuh antusias oleh para peserta konferensi.

Program fellowship yang telah berjalan selama empat tahun ini, memunculkan sebuah ide besar untuk mengumpulkan para fellows ke dalam sebuah asosiasi. Tujuannya agar tema KBB semakin luas disuarakan dan dikaji di jejaring perguruan tinggi dan sekitarnya. Pun untuk dapat menambah analisis akademis bagi layanan advokasi KBB kepada masyarakat. Fokus inilah yang dibahas pada hari terakhir konferensi.

Penutup

Bagi penulis pribadi, seluruh kegiatan program fellowship merupakan pengalaman yang sangat menarik dan bermanfaat. Gagasan jaminan KBB dalam konteks Indonesia sebelumnya dipahami penulis terbatas hanya pada pasal 29 ayat 1 & 2 UUD 1945 sebagai realisasi landasan ideologis pada sila pertama Pancasila. Namun, setelah mengikuti program fellowship ini, penulis menjadi mengenal lebih jauh unsur-unsur intrinsik penting dalam KBB, terutama delapan komponen penting inti norma universal KBB dan dokumen Rencana Aksi Rabat yang memuat batas-batas minimal kebebasan ekspresi keagamaan guna menganalisis apakah sebuah ekspresi keagamaan menyebarkan kebencian dan hasutan atau tidak terhadap penganut agama lain. Tidak kalah penting bahwa penulis memperoleh jejaring mitra dosen dan aktivis HAM baik tingkat pada nasional maupun internasional, yang tentu saja jika digunakan dengan proporsional, akan menjadi keuntungan bagi CBDC. Konkretnya, bahwa CBDC dapat menjadi mitra strategis bagi CRCS Universitas Gadjah Mada dan jejaring internasionalnya untuk mendukung diseminasi norma dan studi kasus KBB di ruang akademik Binus.  

Yuventia Prisca, S.Sos., M.Fil