100% Katolik 100% Indonesia: Mewujudkan Indonesia yang Toleran Dengan Meneladani Sosok Van Lith

Oleh: Kenneth Hendra (SMA Katolik Ricci 1)

Indonesia adalah negara yang sangat beraneka ragam. Terdiri dari 1.340 suku bangsa dengan adat dan budaya yang unik dan berbeda satu sama lain, Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang kaya akan keanekaragaman budayanya. Tak hanya itu, Indonesia juga memiliki beragam kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya, mulai dari 6 agama resmi meliputi Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu serta berbagai aliran kepercayaan daerah seperti Kaharingan di Kalimantan dan Kejawen di Jawa. Keanekaragaman budaya dan kepercayaan di Indonesia seharusnya menjadi kekayaan Bangsa Indonesia dan sumber pemersatu Bangsa Indonesia.

Namun begitu, terkadang keanekaragaman bangsa Indonesia justru malah menjadi sumber perpecahan di tengah masyarakat. Menurut riset Setara Institute, 2020 merupakan tahun terbanyak tindakan intoleransi yang melanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari pelarangan perayaan agama tertentu, pelarangan pembangunan tempat ibadah, hingga perusakan tempat ibadah itu sendiri. Pelakunya pun bermacam-macam, mulai dari individu, ormas masyarakat, bahkan institusi tingkat nasional. Konflik antar etnis pun juga ikut menodai jejak sejarah Bangsa Indonesia, seperti Kerusuhan Mei 1998 yang banyak menyasar etnis Tionghoa hingga Kerusuhan Sampit antara suku Dayak dan Madura.

Di Artikel ini, kita akan melihat bagaimana Gereja Katolik melalui sosok Romo Van Lith memandang toleransi beragama & keberagaman budaya dan bagaimana umat Katolik masa kini bisa meneladani sosok Romo Van Lith SJ.

Biografi Romo Van Lith SJ

Romo Van Lith adalah seorang Misionaris asal Belanda yang membawa ajaran Katolik ke pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah. Van Lith lahir di Oirschot, Belanda, pada 17 Mei 1863. Saat berusia 12 tahun, Van Lith menyatakan keinginannya untuk menjadi seorang imam setelah terinspirasi oleh kisah St Fransiskus dari Asisi. Setelah itu, ia pun memasuki ordo Jesuit di Belanda dan menjalankan pendidikan teologi selama 3 tahun. Setelah menamatkan pendidikannya, Van Lith pun ditahbiskan menjadi imam dan dikirim ke Pulau Jawa untuk mulai menjalankan misi penyebaran ajaran Katolik di Nusantara. Dalam misinya, Van Lith tidak hanya menyebarkan ajaran Katolik saja, namun ia juga memajukan pendidikan bagi orang-orang bumiputera dan sangat mengapresiasi budaya lokal di pulau Jawa.

Van Lith tiba untuk pertama kalinya di Semarang, Jawa Tengah pada tahun 1896. Selama 1 tahun, ia terlebih dahulu mempelajari budaya & adat istiadat masyarakat Jawa terlebih dahulu sebelum menyebarkan ajaran Katolik kepada masyarakat Jawa. Setelah itu, ia pun memulai misinya dengan mendirikan banyak sekolah pendidikan khususnya di daerah Muntilan, Jawa Tengah. Ia berpendapat bahwa masa depan Gereja Katolik di Indonesia akan ditentukan oleh sumbangsihnya terhadap pendidikan kaum bumiputera di Indonesia. Van Lith sendiri banyak mengkritik & mengoreksi sistem pendidikan yang dibangun oleh Belanda pada saat itu. Menurut Van Lith, Pemerintah Belanda merasa sangat tahu dan mengerti apa yang diperlukan oleh orang Jawa. Ia menolak sistem pendidikan Belanda saat itu, dan ia berusaha untuk menerjemahkan model pendidikan untuk orang Jawa saat itu, yakni pendidikan lewat budaya. Sistem pendidikan yang didirikan oleh Van Lith merupakan perpaduan antara sistem pendidikan tradisional Jawa (padepokan) dengan pengajaran disiplin modern. Sekolah-sekolah Katolik ini tidak hanya menerima murid yang Katolik, namun juga murid-murid yang non-katolik.

Pada tahun 1904, Van Lith sempat berkunjung ke Kulon Progo, Yogyakarta. Di Sendangsono inilah Van Lith untuk pertama kalinya membaptis sebanyak 171 orang desa pada 14 Desember 1904. Peristiwa ini dipandang sebagai “kelahiran Gereja Katolik” di antara orang Jawa. Selanjutnya, pada tahun 1911, Van Lith secara resmi membuka sekolah seminari untuk calon imam yang pertama di Indonesia. Seminari yang didirikan Van Lith ini telah melahirkan pastor-pastor ternama, salah satunya Mgr Albertus Soegijapranata, uskup bumiputera pertama di Indonesia sekaligus seorang pahlawan nasional yang terkenal dengan motto “100% Katolik 100% Indonesia”. Dalam menjalankan misinya, Van Lith juga banyak memasukkan adat istiadat Jawa dalam liturgi umat Katolik. Sebagai contoh, ia menambahkan musik gamelan di setiap upacara keagamaan dan mendukung usaha merubah doa-doa serta nyanyian Katolik ke dalam bahasa Jawa.

Selain dalam hal pendidikan & penyebaran ajaran Katolik, Van Lith juga aktif di bidang politik. Pada tahun 1918, Van Lith ditunjuk untuk menjadi anggota Dewan Pendidikan dan Komisi Peninjauan Kenegaraan Hindia Belanda. Karena ia sangat vokal terhadap apa yang menjadi aspirasi kaum bumiputera, ia pun memiliki perbedaan yang sangat tajam dengan Pemerintahan Belanda. Van Lith pernah menulis untuk pemerintah Belanda: “Era dominasi ras putih sudah berakhir. Tidak untuk seterusnya satu orang kulit putih akan bertahan hidup di hadapan 100.000 orang Asia. Sikap arogansi-lah yang menjajah bangsa Jawa melulu karena mereka Jawa. Akuilah hak-hak pribumi jika kamu menginginkan hak-hakmu juga diakui. Dalam Gereja Kristus tidak ada Yahudi atau Romawi atau Yunani; oleh karena itu juga tidak ada Jawa atau Belanda.”

Pada 1920, kondisi kesehatan Van Lith kian memburuk, dan akhirnya pada 9 Januari 1926, ia tutup usia di salah satu rumah sakit di Semarang. Dalam surat terakhir Romo Van Lith menjelang tutup usia, ia dengan tegas menyatakan, jika bisa memilih, pilihannya jatuh ke Hindia Belanda (Indonesia) ketimbang negara asalnya di Belanda. Berkat jasa Romo Van Lith yang begitu besar, Ia mendapatkan anugerah penghargaan Tanda Kehormatan Satyalancana Kebudayaan dari Presiden Republik Indonesia sebagai bentuk apresiasi atas ketulusan perjuangan Van Lith dalam memajukan sistem pendidikan di Indonesia.

Teladan Van Lith bagi Umat Katolik Masa Kini

Sosok Van Lith sudah selayaknya menjadi teladan bagi semua umat Katolik di Indonesia dalam menjalankan toleransi beragama dan keberagaman budaya di Indonesia. Van Lith yang begitu mengapresiasi budaya masyarakat bumiputera & begitu vokal menyuarakan aspirasi orang-orang bumiputera seharusnya mendorong semua umat Katolik untuk melestarikan dan menghargai keanekaragaman budaya serta memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Van Lith yang juga menghargai perbedaan agama yang ada, termasuk menerima murid-murid non-katolik di sekolah yang ia dirikan, juga seharusnya mendorong umat Katolik untuk tidak membeda-bedakan agama dalam kehidupan bermasyarakat, namun juga tidak menghilangkan semangat pengabaran Injil yang sangat dihidupi oleh sosok Van Lith semasa hidupnya. Melalui sosok Van Lith, kita juga diajarkan untuk mengapresiasi betapa pentingnya pendidikan dalam kemajuan suatu bangsa. Melalui sosok Van Lith, kita juga diingatkan dengan pesan Bapak Proklamator, yakni: “Kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini.”

Kenneth Hendra