Teodise – Membela Keadilan Tuhan

Oleh: Arcadius Benawa

Sebetulnya tidak tepat judul artikel mini ini. Pasalnya artikel ini tidak pertama-tama mau berteodise. Artinya, artikel mini ini tidak mau mengupas tuntas dengan membela keadilan Allah ala Leibniz waktu merespon kelompok Agnostik yang mempersoalkan keadilan Allah maupun orang-orang yang merasa mendapat ketidakadilan dari Allah. Artikel ini sekadar mau mempertanyakan keadilan kita yang mudah mempertanyakan keadilan Tuhan. Kalau kita jujur, kecenderungan seperti itu bukankah lebih karena egoisme atau keirihatian kita pada nasib orang yang lebih baik dari kita atau yang menurut kita, kitalah yang mestinya diberi kehidupan yang lebih baik oleh Tuhan daripada dia dan kamu.

Buah Salib adalah Penebusan Dosa Keselamatan (sumber: Istimewa)

Untuk mengupas sedikit akan kecenderungan kita itu, di sini ada kisah menarik yang barangkali bisa membantu kita untuk bercermin mengapa kita lebih mudah mempertanyakan keadilan Tuhan daripada kita sendiri lebih bisa menerima realitas yang mesti kita terima dengan ucapan syukur.

Alkisah adalah Arthur Ashe, seorang petenis kulit hitam dari Amerika yang pernah memenangkan tiga gelar juara Grand Slam, yaitu US Open (1968) Australia Open (1970), dan Wimbledon (1975). Tetapi karirnya sebagai petenis harus terhenti pada tahun 1979. Pasalnya, ia terkena serangan jantung dan harus menjalani operasi bypass. Setelah dua kali operasi, tak disangkanya sama sekali ternyata darah yang ditransfusikan pada Arthur Ashe terjangkit virus HIV. Arthur Ashe pun terjangkit HIV. Menyimak nasib yang harus dihadapi Ashe, seorang penggemarnya merasa tidak bisa terima. Ia pun mengirim surat kepada Ashe dan berkata, “Ini tidak adil. Mengapa Tuhan membiarkanmu terjangkit HIV yang jelas-jelas bukan karena kesalahanmu?” Arthur pun membalas surat tersebut dengan sederhana, “Di dunia ini ada 50 juta anak yang ingin bermain tenis. Di antaranya ada 5 juta orang yang bisa belajar bermain tenis, 500.000 orang belajar menjadi pemain tenis profesional, 50.000 orang datang karena untuk bertanding, 5000 orang mencapai turnamen Grand Slam, 50 orang berhasil sampai ke Wimbledon, empat orang di semifinal, dua orang berlaga di final. Dan ketika saya mengangkat trophy Wimbledon, saya tidak pernah bertanya kepada Tuhan ‘Mengapa saya?’ Jadi, ketika sekarang saya dalam kesakitan, tidak seharusnyalah saya bertanya kepada Tuhan, ‘Mengapa saya harus terjangkiit HIV?'” Sebuah jawaban yang sederhana, tetapi memberi makna yang mendalam.

   Bukankah kita pun sering bertanya kepada Tuhan dalam doa ataupun dalam hati, “Mengapa saya harus mengalami hal ini?” yakni pada saat kita mengalami hal-hal yang buruk. Kita menganggap Tuhan itu tidak adil, karena Tuhan telah membiarkan kita mengalami derita ini. Kita protes bahkan marah pada Tuhan. Tetapi adilkah kita sendiri dalam bersikap kepada Tuhan? Apakah kita pernah bertanya kepada Tuhan, “Mengapa saya harus mengalami hal-hal yang baik atau menerima berkat yang demikian besar dan istimewa ini? Bahkan tak kurang dari seorang nabi Yeremia pun pernah menggugat Tuhan, “Mengapa aku keluar dari kandungan, melihat kesusahan dan kedukaan, sehingga hari-hariku habis berlalu dalam malu?” (Yeremia 20:18).

Jujur harus kita akui bahwa seringkali kita hanya menginginkan hal yang baik, bahkan seakan-akan kebaikan itu memang menjadi hak kita yang harus dipenuhi Tuhan. Tetapi dengan bercermin dari pengalaman Arthur Ashe, melalui surat balasannya kepada penggemarnya itu tadi, kita dapat memetik pelajaran yang sungguh berarti. Bagaimana Arthur Ashe tetap kuat dalam menghadapi semua permasalahan tanpa menyalahkan Tuhan. Kita pun diingatkan akan semangat Nabi Ayub yang berseru, “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil. Terpujilah nama Allah!” Ungkapan itu dikeluarkan dari mulut Ayub ketika teman-temannya mendesak dia untuk meninggalkan Allah yang tak peduli dengan penderitaan Ayub yang habis-habisan. Kita tahu ungkapan Ayub itu dilestarikan oleh umat Islam saat harus menerima kabar duka akan kematian saudara, teman, atau sahabatnya. Inna lilahi wa inna lilahi rojiun. Kita diajak untuk selalu mengingat kebaikan Tuhan saat kita mengalami hal yang buruk juga. Karena kebaikan Tuhan tidak bisa kita nilai hanya melalui sepotong kejadian buruk semata. Kita perlu yakin bahwa Tuhan senantiasa mampu merangkai semua kejadian yang kita alami, entah itu yang baik ataupun yang buruk. Semua tentu hanya untuk kebaikan kita orang-orang yang amat dikasihi-Nya. Oleh karena itu dalam filosofi Jawa berlaku ungkapan bijak “Necep legining pait” (Mencecap rasa manis di dalam yang pait). Atau dalam filosofi bahasa Inggris bahwa selalu ada blessing indisguise (di dalam musibah tentu ada barokah). Jadi, marilah kita berlatih untuk menyingkirkan prasangka buruk kita pada Tuhan karena kasih Tuhan kepada kita tidak bisa kita nilai hanya melalui kejadian buruk. Tuhan Yesus pun wafat disalib, namun justru dengan wafat-Nya di salib itulah Ia menebus dosa kita, menyelamatkan umat manusia.

Arcadius Benawa