Tanggung Jawab Sebagai Karakter Utama

Oleh: Simon Mangatur Tampubolon, S.Th.,S.Pdk.,M.A

Kalau Rene Descartes mengatakan “Cogito ergo sum,” aku berpikir maka aku ada, sementara Imanuel Levinas mengatakan “ Respondeo ergo sum” – aku bertanggung jawab, jadi aku ada – Orang lain  itu dipahami sebagai titipan Yang Tak Berhingga di atasnya kita memiliki tanggung jawab untuk menjadikannya sesama dengan cara “bertanggung jawab”. Tanggung jawab itu muncul ketika saya berhadapan muka dengan yang lain. Dengan menghadapkan wajah kepada orang lain, kita mengalami perjumpaan yang menggerakan totalitas diri kita untuk bertanggung jawab kepada orang lain, sehingga kita akan menjadi pribadi yang proaktif untuk mengarahkan muka kepada orang lain, bukan karena dia, tetapi karena kita. Karena itu dalam diri kita muncul pertimbangan untuk membagikan perhatian, waktu, energi, dan harta benda saya bagi yang lain. Aku bertanggung jawab, aku ada. Intinya keberadaan kita ditentukan oleh keputusan dan sikap kita untuk bertanggung jawab. Levinas menyatakan: Kutemukan Allah dan tanggung jawabku dalam wajah sesamaku.

Dasar Teologis Tanggung Jawab Sebagai Karakter Utama : Di Manakah Engkau?

Pertanyaan pertama yang diajukan Tuhan pasca kejatuhan Adam dan Hawa adalah: Dimanakah Engkau?, situasi itu digambarkan sebagai berikut:

8  Ketika mereka mendengar suara Tuhan Allah yang sedang berjalan di dalam taman, di suatu hari yang sejuk, maka manusia dan istrinya itu menyembunyikan diri mereka dari TUHAN Allah di antara pepohonan di taman. 9 Akan tetapi, TUHAN Allah memanggil manusia itu dan berkata, “Di manakah engkau?” 10  Jawab manusia itu, “Aku mendengar Engkau sedang berjalan dalam taman, dan aku takut karena aku telanjang, karena itu aku bersembunyi.” (Kej. 4:8-10)

Pertanyaan; “Di manakah engkau? Tentunya bukan menunjukkan ketidaktahuan Allah, karena Allah Maha Tahu, pertanyaan itu justru menunjukkan pelajaran penting tentang “eksistensi manusia” bahkan dihadapan Allah. Yang diminta Tuhan dibalik pertanyaan itu adalah tanggung jawab manusia. Dengan menggunakan pertanyaan “di mana”, maka kita dapat mengerti keberadaan kita bukan persoalan lokasi, melainkan tanggung jawab. Sehingga, benarlah “Respondeo Ergo Sum” – Aku bertanggung jawab, aku ada -.

Tetapi sayang, jawaban Adam dan Hawa menunjukkan sikap mereka yang tidak bertanggung jawab, dituliskan demikian:

11 Firman-Nya: “Siapakah yang memberitahukan kepadamu, bahwa engkau telanjang? Apakah engkau makan dari buah pohon, yang Kularang engkau makan itu?” 12  Manusia itu menjawab: “Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan.” 13  Kemudian berfirmanlah TUHAN Allah kepada perempuan itu: “Apakah yang telah kauperbuat ini?” Jawab perempuan itu: “Ular itu yang memperdayakan aku, maka kumakan.” (kej.4:11-13)

Adam tidak mau bertanggung jawab, ia memilih untuk menyalahkan Hawa. Bahkan sesungguhnya Adam memilih untuk menyalahkan Tuhan, bukankah dia berkata: “Perempuan yang Kautempatkan…” di sini Adam seolah melemparkan kesalahan kepada Tuhan sebagai pihak yang menempatkan perempuan itu. Demikian juga Hawa, tidak mau bertanggung jawab, ia memilih menyalahkan ular. Mungkin peradaban dan kehidupan akan berbeda pasca kejatuhan Adam dan Hawa, bila mereka bertanggung jawab atas dosa mereka.

Tidak terlalu jauh dan lama, generasi selanjutnya dari Adam dan Hawa, yaitu Kain, menunjukkan sikap yang tidak bertanggung jawab ini. Dikisahkan dalam kitab Kejadian pasal 4, bagaimana Kain membunuh adiknya dan tidak mau bertanggung jawab akan hal tersebut. Dalam kisah itu, pasca Kain membunuh Habel, pertanyaan Tuhan adalah: “Di manakah Habel, saudaramu?…” (Kej.4:9)

Sekali lagi, yang dituntut disini bukan persoalan lokasi, melainkan eksistensi yang ada melalui tanggung jawab Kain terhadap keberadaan Habel. Dan, jawaban Kain sungguh menunjukkan sikap yang tidak bertanggung jawab, ia berkata: “Aku tidak tahu. Apakah aku penjaga saudaraku?” (Kej. 4:9)

Kisah Kain dan Habel ini membawa tanggung jawab kita selangkah lebih maju, kita tidak sekedar bertanggung jawab dan kita ada, tetapi juga kita bertanggung jawab dan sesama kita ada. Tuhan bertanya: “Di manakah Habel, saudaramu?, Pertanyaan ini menyiratkan kepada kita bahwa tanggung jawab kita menentukan juga keberadaan orang lain dalam kehidupan kita.

Simon Mangatur Tampubolon, S.Th.,S.Pdk.,M.A