Pendidikan dan Tabularasa

Oleh: Dika Sri Pandanari, S.Fil., M.Sos.

Peningkatan pemahaman memiliki dua tujuan: yang pertama, untuk peningkatan pengetahuan kita; dan kedua, untuk memungkinkan kita menyampaikan atau menyebarkan pengetahuan itu kepada orang lain

John Locke

John Locke merupakan seorang filsuf dan fisikawan Inggris yang mengembangkan berbagai
metode penelaahan pengetahuan serta bentuk pendidikan. Salah satu pertanyaan terbesar
Locke mengenai pengetahuan ialah apa arti rasio manusia?

Locke berpendapat bahwa seluruh pengetahuan manusia berasal dari pengalaman dan observasi, atau dengan kata lain tidak ada pengetahuan a priori (tanpa bukti). Ia berpendapat bahwa manusia terlahir seperti pelat kosong atau kertas putih, ialah suatu bidang yang belum memiliki catatan apapun di atasnya. Teori tersebut dikenal sebagai Tabularasa dan Locke selanjutnya dikenal sebagai filsuf beraliran empirisme. Para filsuf empirisme berpendapat bahwa sistem berpikir manusia ditentukan dari pengalaman atau ingatan yang terekam seturut dengan penerimaan informasi. Karenanya empirisme menolak pengetahuan manusia yang tidak didasari oleh pengalaman maupun evidensi. Hal ini memiliki konsekuensi bahwa pengetahuan yang dipercaya didapat melalui wahyu merupakan pengetahuan yang tidak valid. Hal ini menjadi landasan dari permasalah klasik antara sains dan kepercayaan.

Rasio manusia dalam empirisme merupakan kemampuan pergulatan filosofis yang bertitik tolak dari pengalaman keseharian melalui pengalaman inderawi. Atas penelaahan Locke mengenai Tabularasa dan pengetahuan empiris, ia selanjutnya menyimpulkan bahwa pengalaman inderawi perlu dikelola melalui proses pendidikan. Bagi Locke pendidikan merupakan jalan terbaik untuk mendasari pengetahuan manusia atas yang baik dan yang benar, sehingga manusia dapat membangun kehidupan yang baik seturut dengan kondisi alamiahnya. Pernyataan tersebut selanjutnya melahirkan rumusan sistem pendidikan yang dirumuskan Locke dalam empat tujuan pendidikan.

Pertama, pendidikan bertujuan untuk mendasari modalitas manusia dalam membangun kesejahteraan hidup, baik secara pribadi maupun dalam masyarakat. Dengan pendidikan manusia dapat memahami cara mengelola sumber daya atau bersosialisasi. Pengetahuan tidak hanya berfungsi sebagai perangkat bertahan hidup melainkan juga membantu manusia untuk memperoleh hidup yang benar, penuh keutamaan-kebijaksanaan.

Kedua, pendidikan bertujuan untuk memberi manusia kemampuan kecerdasan agar dapat
menguasai ilmu pengetahuan sesuai dengan tingkatannya. Locke memandang bahwa pengetahuan adalah upaya untuk menghapuskan kebodohan, di mana kebodohan ialah hal yang dapat menimbulkan kerugian bagi diri sendiri dan masyarakat. Dengan kecerdasan yang bertingkat maka manusia dapat mengembangkan diri serta pengetahuannya untuk menghadapi berbagai konteks hidup yang silih berganti.

Ketiga, pendidikan menyediakan alternatif karakter dasar bagi manusia agar manusia dapat mempertahankan kondisi baik dari kehidupannya. Setiap manusia diarahkan pada usaha untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya atau mengetahui kekurangan serta kelebihan dalam dirinya. Pengetahuan bukan hanya mengenai pengalaman manusia dengan dunia di luar dirinya melainkan juga pengalaman manusia saat bertemu dengan dirinya. Dengan tujuan ini pendidikan akan mengarahkan manusia untuk memenuhi kriteria normatif sebagai pribadi yang dewasa dan bertanggung jawab. Dalam pendidikan, seluruh perilaku yang merugikan coba direduksikan melalui contoh dan informasi.

Keempat, ialah bahwa pendidikan harus menjadi sarana sekaligus upaya untuk memelihara sistem pemerintahan serta pengelolaan masyarakat sosial. Tanpa pendidikan yang layak, masyarakat tidak akan memahami konsep kesetaraan, kesatuan, keadilan dan berbagai hal yang dibutuhkan sebagai syarat hidup bersama. Locke melandasi fungsi rasio sebagai alat untuk memahami kebenaran. Karena manusia merupakan tabularasa yang harus diwarna dan diukir melalui pengalaman maka upaya pendidikan. Metode pendidikan yang tepat harus memosisikan peserta didik pada praktik moral dan sains sehingga wacana peserta didik terbuka untuk kemungkinan-kemungkinan baru.

Dika Sri Pandanari, S.Fil., M.Sos.