Pandemi dan Online

Oleh: Arcadius Benawa

Kita masih ingat bagaimana ketika pandemi covid-19 merebak menerjang seluruh dunia. Semua kegiatan mengalami lockdown atau tiarap. Kegiatan tatap muka dihentikan, entah di kampus/sekolah, kantor, di tempat ibadah, maupun di keramaian umum, seperti di pusat perbelanjaan, hiburan, dan lain-lain. Umat pelbagai agama tidak bisa mengikuti kegiatan peribadahan di tempat ibadah, karena tempat ibadah ditutup. Demikianpun perkuliahan, perkantoran, perbelanjaan, dan lain-lain.

Dalam kondisi yang serba darurat seperti itu, kita mencari terobosan alternatif. Maka muncullah kegiatan online. Peribadatan, perkuliahan, perkantoran, perbelanjaan dibantu dengan aplikasi on line, entah dengan zoom atau google meet, dan lain-lain media.

Situasi tidak bisa bertemu langsung dengan tatap muka harus disikapi dengan berbagai cara. Situasi baru harus ditanggapi dengan cara baru. Anggur baru harus ditempatkan ke dalam kantong yang baru pula.

Tak kurang Paus Fransiskus pun mengingatkan bahwa iman melalui media “bukanlah Gereja.” Dalam homili Paus Fransiskus di Kapel St. Marta pada 17 April 2020, Paus berkata, “Misa online dan komuni spiritual tidak mewakili Gereja. Ini adalah Gereja dalam situasi sulit yang Tuhan izinkan, tetapi cita-cita Gereja selalu bersama orang-orang dan dengan sakramen.”

Di dalam Gereja dikenal istilah “Ecclesia Semper Reformanda” yang berarti bahwa Gereja selalu harus memperbaharui diri. Kondisi pandemi covid-19 adalah situasi baru dan situasi sulit bagi Gereja dan bagi siapapun, baik dalam dunia pendidikan maupun di dunia usaha, bahkan dunia hiburan sekalipun.

Untuk menolong umat agar tetap setia pada imannya, maka dibuatlah peribadatan secara online. Demikianpun untuk pendidikan, maka diselenggarakanlah pembelajaran secara online. Untuk perkantoran diselenggarakanlah mekanisme work from home. Kendati tidak ideal, tetapi bisa menolong kita dari kesulitan keadaan entah untuk berdoa bersama, belajar, bekerja, ataupun berbelanja.

Setelah situasi kini relatif kembali normal, maka ibadah, belajar, dan bekerja, serta berbelanja dengan tatap muka bisa dijalankan kembali. Kita diajak berkumpul kembali untuk mendengarkan sabda Tuhan dan memetik buah-buah peribadatan, belajar bersama di sekolah/kampus, bekerja di kantor, berinteraki di pusat-pusat perbelanjaan, ataupun di tempat hiburan, meski tetap dengan menjunjung tinggi protokol kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Situasi yang tidak tetap ini mengingatkan kita pada ajakan Yesus agar manusia tidak terpaku pada aturan yang mati. Aturan untuk manusia, bukan manusia untuk aturan. Ia memberi gambaran tentang kain penambal baru dan anggur yang baru. Kain baru tidak cocok ditambalkan ke kain yang tua. Nanti akan mengoyakkannya. Demikian pula anggur baru tidak cocok ditaruh di kantong yang lama. Kantong lama akan koyak dan anggur akan terbuang. Anggur baru harus disimpan pada kantong yang baru pula, agar kedua-duanya aman.

Dengan kata lain, kita diajak untuk pandai-pandai menyikapi hal-hal baru. Perubahan selalu siap menghadang di hadapan kita. Sangat bijaklah kalau kita berpegang pada prinsip yang dikemukakan oleh Santo Paulus untuk “Fortiter in Re dan Suaviter in modo”. Artinya, kita diminta untuk bersikap tegas dalam hal-hal yang prinsip atau substansial, tetapi lembut atau luwes dalam caranya.

Yang pasti kita harus tetap beribadah, belajar, bekerja, berbelanja, tetapi caranya bisa luwes mengikuti kondisi real. Oleh karena itu, ketika kondisi sudah mulai normal kembali, marilah kita juga kembali pada cara-cara yang normal dan wajar dalam beribadah, belajar, bekerja, ataupun berbelanja.

Marilah kita pandai-pandai menyikapi perubahan-perubahan dalam kehidupan kita, supaya kita makin bijak dalam membedakan mana yang prinsip atau substansial dan mana yang hanya terkait dengan cara atau model atau metode. Dengan demikian kita tidak menghabiskan energi, biaya dan tenaga serta waktu untuk hal yang tidak prinsipial/substansial. Semoga.

Arcadius Benawa