Komunikasi dan Agama dalam Pemikiran Habermas [Bagian 3]

Oleh: Yuventia Prisca, S.Sos., M.Fil.

Ruang dan Penalaran Publik

Lalu ketika agama diakui perannya, bagaimana agama dapat masuk ke dalam diskursus politik publik pada masyarakat sekular demokrasi modern, sementara sekularisme jelas menyingkirkan peran agama akibat pengalaman kelam agama di masa lalu. Namun, modernitas sebagai ibu kandung sekularisme, pada perjalanannya, toh tak luput dari celah kekurangan yang mendegradasi kemanusiaan. Baik agama maupun sekularisme telah menorehkan catatan kelam kemanusiaan. Meski begitu, tidak berarti keduanya dibuang begitu saja. Keduanya dapat saling mendukung dan memperkuat, yang oleh Habermas disebut sebagai masyarakat postsekular. Sebuah masyarakat di mana warga sekular dan komunitas agama dapat saling belajar untuk menumbuhkan kondisi masyarakat yang semakin menghormati martabat manusia. Warga sekular tidak antipati terhadap argumentasi keagamaan, sebaliknya warga religius dapat luwes terbuka dengan pendekatan demokrasi-sekular yang ingin melindungi kebebasan dan kesetaraan manusia. Gagasan agama dan sekuler sama-sama dianggap bermanfaat oleh Habermas dalam pertimbangan putusan kebijakan publik negara postsekuler demokratis. Keduanya dapat saling berdialog dan belajar untuk memajukan kualitas demokrasi masyarakat majemuk. Bagaimana caranya?

Ada dua sisi yang perlu diperlihatkan. Pada sisi agama, mereka perlu membuka diri terhadap gagasan perlindungan harkat dan martabat manusia dalam HAM, yang menghormati kesetaraan individu sebagaimana dijamin dalam negara sekuler liberal. Pada masa lalu, agama tidak memberi perhatian pada hal ini, karena terlalu berpusat pada ketaatan iman, yang abai terhadap kesejahteraan hidup manusia. Padahal perlindungan harkat dan martabat manusia karena manusia adalah citra Allah (dalam gagasan Imago Dei Kristianitas), bersumber dari agama itu sendiri (Menoh, 123). Maka yang diperlukan dalam masyarakat postsekular adalah agama merumuskan ajarannya untuk mendukung tuntutan perlindungan martabat manusia. Caranya dengan melakukan translasi di mana agama menerjemahkan gagasan partikularnya mengenai hormat terhadap martabat manusia ke dalam bahasa universal. Karena dengan demikian, agama mengintegrasikan dirinya dengan prinsip kesetaraan individu dan moral universal (Menoh, 124). Agama berdialog dengan ide kesetaraan yang diperjuangkan sekularisme dan mengalihbahasakannya ke dalam bahasa universal yang mencerminkan dukungan agama terhadapnya.

Pada sisi lain, warga sekuler diminta untuk menghargai keterlibatan agama dalam proses putusan kebijakan publik. Mereka jangan buru-buru alergi akibat stereotipe agama dalam dunia sekuler barat modern. Sebaliknya, mereka diminta Habermas juga membuka diri terhadap partisipasi agama dalam wacana publik sejauh rekan-rekan agama telah mengikuti ambang batas prosedur wacana publik dengan melakukan terjemahan bahasa partikular agama ke dalam bahasa universal politik yang bisa diterima segala latar belakang masyarakat. Keterbukaan warga sekuler terhadap peran agama, sebagaimana dijelaskan oleh Gusti Menoh, memperlihatkan kejujuran warga sekuler akan adanya keterbatasan sekularisme, kendati mengakar kepada kekayaan religius itu sendiri. Keterbatasan itu nyata dalam filsafat dan rasionalitas sekuler yang mudah sekali membuat rujukan absolut hanya berdasarkan pandangan tunggal, dalam hal ini adalah positivisme sains. Keberagaman dunia direduksi/diringkus hanya menjadi satu dimensi ke dalam dunia empiris-positivistik sains (Menoh, 147 – 148). Ini adalah kesalahan fatal yang dibawa oleh sains dan teknologi buah Renaissance dalam empat abad terakhir ini, yang hanya menjadikan manusia dan alam sebagai alat dan obyek untuk memuaskan kepentingan manusia itu sendiri. Dalam kondisi ini, merangkul agama yang bersedia belajar dan berkontribusi untuk problem manusia sekuler demi kemanusiaan itu sendiri, adalah pilihan bijak.

Peran positif agama dalam merespon tantangan masyarakat sekuler, dengan menerjemahkan bahasa religius sebagai kosa kata partikular ke dalam bahasa universal, tidak berarti mencerabut akar religiusitas, melainkan sebuah penyesuaian yang perlu dilakukan agama agar bisa masuk ke dalam mekanisme sekuler yang menuntut netralitas unsur-unsur agama pada proses pertimbangan dan isi kebijakan publik. Proses kebijakan publik inilah berlangsung di sebuah arena, yang disebut Habermas sebagai ruang publik (public sphere). Ia membagi ruang publik menjadi dua wilayah: informal dan formal. Ruang publik formal adalah wilayah berlangsungnya politik formal seperti pada parlemen, peradilan, pidato politik kenegaraan dan administrasi negara (Menoh, 137 ). Sementara, ruang publik informal adalah wilayah diskusi publik oleh komunitas masyarakat dengan kesamaan minat dan pandangan. Bagi Habermas, ruang publik informal sah untuk diisi dengan narasi keagamaan karena ia didiskusikan dalam ruang nir-kekuasaan negara untuk memutuskan kebijakan publik. Hal ini meringankan syarat agama akan perannya pada masyarakat sekuler karena ruang publik informal memungkinkan agama menjadi dirinya sendiri.

Berbeda halnya dengan ruang publik informal, ruang publik formal adalah wilayah dengan kekuasaan formal lembaga-lembaga negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang menentukan kebijakan publik. Watak fundamental mekanisme negara demokratis sekuler bahwa ia harus netral dari agama, sebagai wujud imparsialitas negara (tidak memihak). Persis di sini, ketika agama turut serta memberikan sumbangannya terhadap problem publik, agama wajib menerjemahkan gagasan partikularnya ke dalam bahasa universal yang tidak bias agama lagi sebagai syarat terlibat dalam arena diskursus publik sekuler. Proses agama menerjemahkan dirinya ke dalam bahasa universal inilah, yang oleh Habermas, disebut sebagai penalaran publik. Ruang publik formal adalah lokasi krusial ketika agama terlibat memberikan sumbangannya, dan karena itu memerlukan alih bahasa partikular agama kepada kosa kata universal. Harus diakui ini adalah terobosan Habermas memasukkan agama dalam dunia sekuler Barat. Agama bisa masuk dalam ruang publik formal mengenai diskursus politik dan hukum modern sejauh ia bersedia menerjemahkan doktrin partikularnya ke dalam kosa kata umum yang dapat dipahami segala kalangan, dan dengan demikian peran positif agama semakin diperhitungkan dalam lanskap manusia Barat modern yang sudah terlanjur sinis terhadap agama. Dengan kata lain, agama hanya dapat berperan sejauh ia bersedia menyesuaikan dirinya dengan tuntutan universalitas masyarakat kontemporer yang semakin berwajah majemuk, dan ini dapat berlangsung jika agama dan warga sekuler mau terbuka untuk saling belajar dan berdialog satu sama lain menimba unsur-unsur positif dari keduanya. Komunikasi terbuka dan hormat di antara keduanya sangat diperlukan.

Lantas apa artinya bagi Indonesia? Meski Indonesia bukan negara sekuler yang memprivatisasi agama, apa yang ditawarkan Habermas sangat baik untuk mengatur sirkulasi dan batas agama dalam ruang politik formal. Agama ketika dibawa dalam ruang politik formal entah itu oleh kelompok agama ataupun oleh pelaku politik dalam membicarakan persoalan publik dan hukum di tengah masyarakat demokratis majemuk seperti di Indonesia, wajib untuk membawa dirinya sedemikian rupa agar dapat diterima oleh banyak kemajemukan unsur dalam masyarakat Indonesia. Agama hanya dapat bekontribusi jika ia mampu melampaui partikularitasnya, menuju kepada pandangan umum yang bermanfaat bagi kemanusiaan universal. Karena dengan demikian, agama tidak sempit hanya mengacu kepada dirinya saja, melainkan membuka diri untuk bermanfaat kepada yang lain. Dan ini mensyaratkan agama juga bersedia terbuka berdialog (berkomunikasi) dan belajar dengan keragaman unsur masyarakat termasuk agama itu sendiri agar semakin kaya denga bahasa kemanusiaan universal. Siapkah insan agama di Indonesia memulainya?

Yuventia Prisca, S.Sos., M.Fil.