Komunikasi dan Agama dalam Pemikiran Habermas [Bagian 2]

Oleh: Yuventia Prisca, S.Sos., M.Fil.

Agama bagi Habermas

Hal menakjubkan bagi Habermas sebagai seorang filsuf sosial politik, ia membuka diri seluas-luasnya kepada tema ilmu sosial apapun, termasuk agama di dalamnya. Pemikirannya mengenai agama berjalan dinamis, dengan tiga tahap perkembangan di dalamnya (Menoh, 96 – 110). Tahap pertama, pada masa awal pemikirannya tahun 1970-an, Habermas sejalan dengan pemikir sekuler barat lainnya yang menolak keterlibatan agama dalam kebijakan publik. Sebagai sebuah gerakan yang diterima masyarakat Eropa, sekularisme mendesak agama untuk semakin ke pinggir dari ruang publik. Tempat agama cukup di dalam ruang privat, yakni dalam keluarga, hidup pribadi seseorang atau komunitas agama itu sendiri tanpa perlu tampil di ruang publik. Agama adalah dunia kehidupan (Lebenswelt) yang sudah harus dilampaui dalam kebijakan publik sebab agama adalah entitas sakral yang sulit berjalan bersama dengan desakan rasional masyarakat Eropa barat. Dalam periode pemikirannya ini, Habermas menilai akibat proses sekularisasi, agama perlahan-lahan akan lenyap dalam sendi-sendi kehidupan manusia barat modern. Religion is going to be vanished.

Meski, agama terus didesak ke pinggir, agama tetap eksis. Karena itu pada tahap berikutnya, pada 1985 – 2000, Habermas mulai menyadari kekuatan agama yang mampu menyediakan “kebutuhan eksistensial” manusia. Agama memberi topangan bagi hidup sehari-hari manusia, sehingga agama memiliki daya untuk menyatukan pengikutnya. Namun, kesadaran akan kekuatan agama, tidak serta-merta membuat Habermas menyetujui peran agama dalam diskursus kebijakan publik, apalagi menjadi dasar hukum modern. Sebab, menurut Habermas, agama memiliki gagasan partikular yang bisa bertentangan dengan rasionalitas demokrasi modern, bahkan di antara agama-agama itu sendiri. Dengan partikularitasnya, di satu sisi, agama tak dipungkiri menjadi magnet yang berdaya menyatukan, di sisi lain, agama tak terbantahkan juga dapat memisahkan keberagaman manusia berdasar klaim kebenaran yang dibawanya. Maka, meski oleh Habermas agama telah dipandang positif karena memenuhi kebutuhan spiritualitas manusia sebagai bagian kebutuhan eksistensi manusia, agama tetap berada di luar pagar arena politik publik, persis karena partikularitas di dalam dirinya yang mungkin tidak kompatibel dengan gagasan kemanusiaan universal dan politik demokrasi modern, yang ditandai dengan tumbuhnya kesadaran akan perlindungan HAM, dukungan terhadap kesetaraan individu, dan pengakuan adanya kemajemukan nilai.

Dari situ modernitas tampak memenangkan manusia. Sains dan teknologi berkembang sebagai buah manis modernitas. Kapitalisme industrial pun kian menggelembung. Modernitas menjadi ambivalen. Di satu sisi, manusia adalah subyek kehidupan berkat akal budinya, tetapi di sisi lain, ia justru meringkus dirinya menjadi obyek. Pada sisi yang paling mengkhawatirkan, manusia tak lain adalah makhluk egois yang mendukung manusia lain menjadi alat bagi tujuannya. Martabat manusia kian tidak berharga. Solidaritas tenggelam dalam timbunan individualisme dan fanatisme akut. Dengan melucuti dan membuang sakralitas, modernitas justru mengizinkan manusia merendahkan martabatnya sendiri sebagai makhluk luhur. Berharap kepada modernitas untuk mengubah keadaan, justru pilihan yang tidak masuk akal, karena ia sendiri telah menjadi irasional dengan mengorbankan manusia.

Di sinilah Habermas melihat agama mampu menjadi penetralisir. Habermas mengingatkan bahwa pengakuan dan perlindungan terhadap martabat manusia, otonomi manusia, emansipasi kepada kebebasan dan keadilan, adalah tema-tema pergulatan filsafat yang justru berasal dari kekayaan etis agama, dalam hal ini tradisi Yudeo-Kristen (Menoh, 106). Kita mesti jujur mengakui hal itu. Kesetaraan dan kemanusiaan sebagai nilai pokok dalam HAM sebagai produk sekularisme, tak lain bersumber dari pemahaman Imago Dei Kristianitas bahwa manusia adalah citra Allah sehingga wajib menghormati martabat manusia. Artinya, peradaban yang menempatkan manusia sebagai pusatnya dalam cita-cita modernitas dan sekularisme, justru mengakar kepada tradisi agama. Namun, modernitas menolak untuk mengakui bahwa cita-citanya bersumber dari agama, bahkan membuang agama.  Modernitas menjadi ahistoris yang justru menjerumuskan dirinya sendiri.

Habermas sangat mencemaskan kepekaan solidaritas masyarakat modern yang kian longgar, diperburuk dengan persaingan kapitalisme global yang semakin mengikis rasa empati sesama (Menoh, 107). Dalam arus yang berlawanan dengan sekularisme, agama mulai dipandang Habermas memiliki kekuatan untuk mencegah keadaan menjadi lebih buruk. Bagi Habermas, agama tidak saja mampu menyatukan pengikutnya, tetapi juga berdaya kuat mengarahkan kesadaran moral para pengikutnya untuk memperkuat kepekaan solidaritas. Dengan pengaruhnya, agama mampu menciptakan perubahan dunia menjadi lebih baik sebab agama, menurut Habermas tidak saja merupakan sistem nilai, melainkan pandangan dunia yang memotivasi kuat penganutnya. Kepada agama, perubahan masyarakat bisa diharapkan.

Dengan pemahaman demikian, Habermas memang mengakui peran positif agama. Agama tidak lagi dipinggirkan, apalagi dibuang. Agama justru dirangkul guna menyumbangkan kontribusinya memperkuat tatanan sosial masyarakat modern. Perspektif Habermas terhadap agama telah bergeser ke arah positif yang dimulai pada tahun 2000an hingga kini. Sejak itulah Habermas merumuskan sikapnya bahwa agama masuk ke dalam ruang politik publik.

Yuventia Prisca, S.Sos., M.Fil.