Komunikasi dan Agama dalam Pemikiran Habermas [Bagian 1]

Oleh: Yuventia Prisca, S.Sos., M.Fil.

Pada tahun 2015, sebuah buku berjudul Agama dalam Ruang Publik Hubungan antara Agama dan Negara dalam Masyarakat Postsekular Menurut Juergen Habermas, terbit. Buku yang telah dicetak ulang hingga tujuh kali sejak pertama kali diterbitkan, ditulis oleh Gusti Menoh, alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara tahun 2014. Buku ini hadir pada saat yang tepat di tengah Indonesia yang kala itu (bahkan hingga kini), bergulat dengan para demagog berjubah agama. Ruang publik sesak dipenuhi dengan kediktatoran agama yang beringas. Opini publik disetir oleh puritanisme agama yang memaksa. Masyarakat kian terbelah akibat narasi yang menjual surga dan neraka, serta kehormatan agama. Pertikaian dan ancaman perpecahan bangsa nyata tak terhindarkan.

Sebagai seorang akademisi yang membumi dan mencoba untuk terus relevan dalam gelombang realitas, Gusti Menoh melalui bukunya menyingkapkan pemikiran Juergen Habermas tentang agama dalam masyarakat sekuler Barat. Meski mengulas apa yang terjadi di Barat, gagasan agama dalam perspektif Habermas justru sangat tepat dalam merespon kondisi Indonesia yang disesaki oleh prilaku beragama yang semakin di luar akal sehat hingga kini. Dalam buku tersebut, Habermas ingin menegaskan panggilan kepada agama untuk berperan memajukan gagasan kewargaan demokratis majemuk. Pukulan terhadap agama pada kejayaan sekularisme di Barat karena menganggap agama justru mendegradasi manusia, adalah fakta historis. Meski demikian, tidak membuat agama terkubur abadi. Habermas adalah tokoh yang melihat agama memang tidak perlu dikubur hanya karena agama telah menorehkan sejarah kelam kemanusiaan. Ia dengan fair mengingatkan apa yang dibawa oleh agama dalam sejarah Barat. Di satu sisi, harus diakui agama (dalam hal ini Kristianitas) memang melakukan dosa kemanusiaan, tetapi di sisi lain, gagasan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia dan mencoret agama sebagaimana diperjuangkan oleh gerakan sekuler Barat, justru bertolak dari saripati Kekristenan itu sendiri. Artinya, agama sudah selalu mengandung kebaikan. Potensi baik dalam agama inilah yang ingin dikembangkan Habermas untuk memanggil peran positif agama dalam dunia Barat sekuler.  

Tulisan ini bermaksud untuk menegaskan gagasan-gagasan penting Habermas tentang peran positif agama yang telah dijelaskan secara lugas dan mengalir oleh Gusti Menoh. Karena itu, fokus tulisan ini terletak pada hubungan komunikasi dan agama dalam masyarakat postsekular menurut Habermas, karena dua hal inilah yang dominan dibicarakan dalam buku tersebut. Karena itu, tulisan ini diawali dengan membahas mengenai pentingnya peran berdiskursus (berdiskusi/berkomunikasi) warga sipil, yang disebut Habermas sebagai gagasan demokrasi deliberatif, lalu beranjak kepada argumen Habermas yang mengundang keterlibatan agama dalam masyarakat sekular dan diakhiri dengan prosedur agama dalam memberikan kontribusinya melalui ruang dan proses penalaran publik.

Demokrasi Deliberatif

Bagi mereka yang menekuni filsafat sosial-politik, tentu tidak asing dengan pemikir era kontemporer ternama asal Jerman, Jurgen Habermas. Karir penelitiannya dimulai di Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, Jerman. Sebuah lembaga riset sosial yang masyur dengan Mazhab Frankfurt, dengan tokoh perintisnya seperti Theodor W. Adorno dan Max Horkheimer. Di bawah binaan mereka berdua, Habermas mengembangkan orisinalitas pemikirannya, yang bersumber kepada Marxisme, namun tetap berjarak darinya untuk menemukan celah pembaharuan. Pembaharuan inilah yang mendasari Habermas menata pemikirannya mengenai komunikasi intersubyek dalam ruang publik, yang terkenal dengan Teori Tindakan Komunikatif (Theory of Communicative Action). Teori yang dijelaskan dalam dua jilid buku terbit pada tahun 1981 & 1983 itu, adalah buku babon pemikirannya yang serius menjelaskan tawaran pergeseran paradigma bekerja. Habermas memang mendasarkan pemikirannya kepada pandangan kritis Marx yang memahami bahwa dengan bekerja, orang menjadi terasing dari diri dan relasi sosialnya akibat kepentingan eksploitatif kapitalisme. Orang menjadi tidak bebas, terbelenggu. Dari pengertian itu, Habermas hendak melampaui Marx ke arah interaksi subjektif yang humanis. Menurut Habermas, bekerja yang membebaskan adalah bekerja yang berdasar kepada relasi komunikasi yang memungkinkan berbagai pihak mengambil kesepakatan bersama yang membebaskan pula. Bekerja adalah tindakan eksistensial yang memerdekakan ketika berada dalam ekosistem yang menyadari peran kekuatan komunikasi yang penuh hormat satu sama lain. Inilah esensi teori tindakan komunikatif Habermas sebagai basis dan corak berpikir orisinil Habermas yang punya minat besar pada komunikasi dan ruang publik.

Habermas memang sangat tertarik dengan ciri khas manusia sebagai makhluk komunikatif. Ada tukar gagasan rasional dalam perbincangan antar seseorang atau kelompok. Karena itu, komunikasi yang penuh respek menjadi basis relasi intersubyektif yang sehat, tidak saja relevan dalam ruang lingkup bekerja, tetapi juga pada wilayah politik sebagai arena lahirnya kebijakan publik. Bagi Habermas fungsi politik dalam menjamin bonum commune warga, hanya dapat berlangsung dengan memadai, lagi-lagi jika menyadari hakikat manusia/masyarakat sebagai insan yang berdiskusi. Hakikat manusia sebagai makhluk komunikatif inilah yang digunakan Habermas mengembangkan sebuah prinsip tentang pentingnya berdiskusi dalam wilayah politis, yang disebutnya sebagai demokrasi deliberatif.

Habermas membayangkan watak hakiki manusia sebagai insan komunikatif juga berlaku pada proses lahirnya kebijakan publik. Ada proses diskusi rasional di antara warga sipil dalam mempertimbangkan dasar dan substansi lahirnya kebijakan publik. Dengan kata lain, demokrasi deliberatif merupakan keterlibatan warga untuk berdiskusi rasional menyampaikan opini dan argumentasi mereka terhadap problem dan kebijakan publik. Deliberatif mengakar pada istilah latin deliberatio, yang berarti mempertimbangkan sebuah perkara secara rasional, atau berdiskusi secara terbuka. Dalam konteks Indonesia, demokrasi deliberatif mengacu kepada musyawarah untuk mencapai mufakat (Menoh, 81). Artinya, keterlibatan warga untuk berpendapat adalah sumber legitimasi demokrasi itu sendiri, dan menjadi prosedur yang wajar dalam negara demokratis. Titik tekan demokrasi deliberatif bukan pada kesepakatan bersama yang terbentuk dari kehendak mayoritas warga, melainkan tersedianya mekanisme dan ruang percakapan publik bagi warga sipil di mana tukar gagasan di antara warga berlangsung secara rasional, kritis dan bebas.

Pandangan ini sekilas tampak biasa saja, dan tidak mengejutkan. Namun, bagi demokrasi Barat yang diarahkan oleh dua arus utama filsafat politik: liberalisme dan republikanisme, di mana keduanya cukup berlawanan, demokrasi deliberatif sebagai pendekatan yang mengutamakan diskursus rasional, menjadi sesuatu yang sangat diperlukan bagi tradisi politik barat di tengah masyarakat Barat yang semakin majemuk disertai dengan tantangan sosial yang semakin kompleks dewasa ini. Demokrasi deliberatif ingin berfungsi menjadi prosedur diskursus yang mengandung elemen-elemen positif, seraya membuang ekses negatif dari kedua tradisi politik itu. Liberalisme yang mengutamakan perlindungan terhadap hak-hak individual melalui peran negara sebagai wasit dengan regulasi yang dihasilkannya, membuat negara menjadi instrumen pelindung hak-hak individual warga (Menoh, 67). Sementara pada republikanisme yang kuat dengan tradisi komunitariannya, warga bukanlah atom-atom egois seperti halnya dalam liberalisme, melainkan mengebawahkan kepentingan dirinya dan mengutamakan kepentingan dan identitas bersama. Kekuatan negara berasal dari kesatuan negara dengan kehendak bersama warga (Menoh, 71 – 73). Republikanisme akan terus eksis dalam ruang kultural warga yang homogen, sehingga mudah memiliki kesatuan kehendak bersama. Namun, bukankah warga negara dewasa ini sudah sangat majemuk, sehingga ini menjadi tantangan terbentuknya kehendak bersama.

Berangkat dari identifikasi dua tradisi politik ini, demokrasi deliberatif hendak tampil sebagai mekanisme diskursus yang mengatasi liberalisme dan republikanisme, yaitu sebagai sebuah mekanisme percakapan publik secara rasional mengenai persoalan dan tantangan masyarakat dengan melepaskan tuntutan diri dan komunitas yang berlebihan. Apa yang ditawarkan oleh demokrasi deliberatif ini kian sesuai dengan kondisi masyarakat Barat yang semakin plural dengan adanya arus migrasi dan perdagangan global. Demokrasi deliberatif membuka ruang komunikasi secara terbuka dan adil bagi segala unsur warga manapun untuk menyampaikan pandangannya terkait problem sosial yang dihadapinya. Salah satu unsur itu adalah agama. Apakah ini mungkin dalam iklim Barat sekuler? Justru ini yang menarik diketahui dari Habermas.

Yuventia Prisca, S.Sos., M.Fil.