Idhul Adha – Perayaan Iman & Belarasa

Oleh: Arcadius Benawa

Perayaan Idhul Adha sudah berlangsung ribuan tahun. Tahun ini memasuki tahun ke 1443 H. Asosiasi perayaan Idhul Adha selalu terkait dengan pengenangan kisah saat Nabi Ibrahim (dalam tradisi Islam) atau Abraham (dalam tradisi Kristiani) harus mengorbankan anaknya sebagai bukti ketaqwaannya kepada Allah. Kita tahu bahwa dalam kisah selanjutnya Ibrahim tidak diizinkan untuk menyembelih putranya melainkan diganti dengan domba. Dan itulah yang selanjutnya dilakukan oleh Umat Islam setiap kali merayakan Idul Adha dengan mengorbankan kambing, domba, atau sapi.

Sumber Istimewa

Menyimak kisah Ibrahim itu muncul pertanyaan. Mengapa Allah yang memberi perintah “Jangan membunuh” kepada Musa dan keturunannya justru memerintahkan Ibrahim untuk mengorbankan putranya?

Mayoritas penafsir dan pengkaji kitab suci mengidentifikasi bahwa kisah tentang Ibrahim ini ditulis oleh tradisi para Imam/Priest/Presbiter (tradisi P),  yang muncul pada masa sekitar tahun 400-an sebelum Masehi, yakni pasca pembuangan Israel ke Babilonia. Periode pasca pembungan ke Babilonia merupakan periode krisis yang berat bagi bangsa Israel baik dari sisi politik, ideologi, maupun mental dan spiritual. Pengalaman pembuangan adalah pengalaman kehancuran total sebagai bangsa sekaligus keyakinan keagamaan. Pasalnya, kenisah atau Bait Allah (Baitullah) itu diyakini sebagai pusat kehadiran Yahweh dan pusat kekuatan bangsa dalam menghadapi musuh-musuh politik. Maka dengan hancurnya tempat kediaman Yahweh itu , di manakah kehadiran Yahweh itu? Apakah Ia telah meninggalkan bangsa Israel? Apakah Ia yang dianggap sebagai sesembahan utama dan sumber kekuatan bangsa juga telah terkalahkan oleh dewa-dewi sesembahan para musuh?  Jika Yahweh telah menjanjikan kemakmuran dan pertolongan, mengapa bangsa Israel justru tercerai berai dan bahkan dibuang ke negeri asing dan hidup sebagai budak? Itulah pengalaman krisis fundamental yang dialami oleh Israel pada masa itu. Akibatnya, ketika mereka boleh kembali ke negeri asal mereka, dibutuhkan sesuatu yang dapat kembali meneguhkan identitas kebangsaan dan spritual mereka sebagai orang-orang yang dipilih dan mendapatkan jaminan perlindungan dari Yahweh, Allah sesembahan Israel.

Rupanya, pada masa krisis seperti itu, sebagian orang Israel telah menyeberang atau melibatkan diri dalam ritual-ritual bangsa-bangsa tetangga demi mendapatkan keselamatan, ketenangan, atau kemakmuran. Salah satu bentuk ritual keagamaan yang dijalankan adalah mengorbankan manusia demi mendapatkan keselamatan (Yeremia 7: 30-31).

Dalam konteks krisis seperti itulah kisah tentang Ibrahim yang mengorbankan putranya ini ditulis oleh tradisi para Imam. Kisah ini tentu saja tidak mencerminkan fakta historis tentang apa yang dilakukan oleh Ibrahim, melainkan lebih merupakan kisah teologis, metaforis, ideologis dan edukatif. Kisah ini berfungsi sebagai upaya untuk meneguhkan kembali identitas dan karakter bangsa yang religius dalam menghadapi krisis fundamental. Identitas dan karakter itu ada pada sosok Ibrahim, sang tokoh besar dan utama, pendiri bangsa yang pada generasi berikutnya diteguhkan dan dilanjutkan oleh Musa.

Karena penulis narasi ini adalah tradisi Para Imam, sangatlah masuk akal jika perhatian utamanya diarahkan kepada persoalan ibadah dan ritual serta hukum. Maka kisahnya pun berkaitan dengan hal-hal ritual keagamaan, yakni ritual pengorbanan, terutama jenis korban bakaran. Perintah Allah kepada Ibrahim untuk mempersembahkan putranya sebagai korban bakaran, sepantasnya dibaca sebagai cerminan sekaligus sindiran tentang praktik mengorbankan anak kepada dewa-dewi agama-agama asing yang lazim dilakukan oleh sebagian orang Israel pada masa itu sebagaimana terefleksikan dalam teks Yeremia 7:30-31. Karena ayat ini bersifat sebagai sindiran dan cerminan dari praksis masyarakat masa itu, sangat dipahami  bahwa dalam ayat itu Ibrahim menunjukkan ketaatan mutlak tanpa protes sedikitpun, karena bagi tradisi para Imam, sikap kritis itu tidak menjadi perhatian. Perhatian utamanya adalah menyindir dan mencerminkan praksis serta paham sosial tentang pengorbanan manusia.

Pesan kritis dan edukatifnya adalah bahwa orang-orang Israel yang benar-benar percaya dan setia kepada Allah tak akan pernah boleh melakukan persembahan anak sebagai korban bakaran yang lazim dilakukan oleh para penyembah dewa-dewi asing.  Allah telah menyediakan anak domba jantan yang tanduknya tersangkut di antara belukar. Artinya, Allah sendiri lebih menghendaki anak domba jantan sebagai korban bakaran maupun korban persembahan. Sebagai penegasan identitas di tengah krisis, kisah ini juga hendak menyatakan penegasan bahwa dalam situasi apapun, orang Israel hendaknya tetap setia kepada iman akan Allah yang memberi jaminan. Ia adalah “Allah yang menyediakan”. Allah yang memberikan jaminan dan perlindungan bagi kehidupan manusia beriman.

Dengan demikian kisah ini juga demi membangun masyarakat Israel yang mengedepankan akal dan sikap kritis dalam menghadapi situasi krisis. Bagi tradisi para Imam, membunuh anak sebagai korban persembahan adalah tindakan yang sangat tidak masuk akal dan tidak bertanggung jawab. Persembahan korban bakaran dan korban sesembahan hendaknya mewarisi tradisi leluhur yakni berupa anak domba jantan karena selain dapat memenuhi fungsi religius, persembahan itu juga dapat berfungsi sosial, yakni menjadi sarana untuk berbelarasa atau berbagi dengan orang-orang di sekitar, terutama mereka yang kurang beruntung. Menyantap daging korban bersama-sama dengan seluruh komunitas juga merupakan wujud dari ungkapan identitas kebangsaan dan religius orang Israel pada masa itu. Perlu meneguhkan kembali keyakinan bahwa mereka adalah anak turun Ibrahim yang tetap mewarisi panggilan dan pilihan Allah untuk menghadirkan diri sebagai bangsa yang berkualitas, setia dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang telah disemai dan dikukuhkan dalam hukum Musa. 

Arcadius Benawa