Anti Kekerasan Pada Perempuan

Oleh: Nikodemus Thomas Martoredjo, S.S.,M.M.,M.Si

Pada dasarnya, kekerasan bisa terjadi di mana saja dan kapan pun waktunya. Kekerasan itu dapat dialami dan dilakukan oleh siapa pun, tak terbatas usia, jenis kelamin, atau status sosial. Hanya saja dalam hal ini kaum perempuan menjadi kelompok paling rentan menjadi korban kekerasan. Menurut data dari World Health Organization (WHO), satu dari tiga perempuan di seluruh dunia pernah menjadi korban kekerasan, baik secara fisik maupun seksual, yang dilakukan oleh pasangan mereka. Artinya, ada sekitar tiga puluh persen perempuan pernah mengalami peristiwa tak menyenangkan tersebut.

Sebagai perbandingan kita bisa lihat kejadian tersebut di beberapa negara. Di Inggris misalnya, berdasarkan data Crime Survey for England and Wales, delapan puluh persen korban kekerasan yang dilakukan secara berulang adalah perempuan. Sedangkan di Indonesia, menurut catatan Komnas Perempuan pada 2020, kekerasan terhadap istri (KTI) menempati urutan pertama yakni sebanyak 3.221 kasus (50 persen) dari seluruh total kasus kekerasan pada perempuan. Kemudian diikuti kekerasan dalam pacaran sebanyak 1.309 kasus (20 persen).

Bila kita membahas tentang kekerasan, secara khusus kekerasan seksual, maka di situ terjadi adanya suatu hak dari diri seseorang yang dilanggar. Kekerasan seksual dapat diartikan sebagai setiap perbuatan yang bersifat fisik atau non fisik mengarah pada hubungan atau fungsi alat reproduksi secara paksa dengan ancaman yang mempunyai atau tidak mempunyai tujuan tertentu untuk mendapatkan keuntungan yang berakibat penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan kerugian secara ekonomis. Seperti kita ketahui bahwa HAM berlaku universal artinya berlaku untuk semua orang. Setiap orang memilki hak yang sama, perlindungan yang sama, bebas dari rasa takut dan ancaman sehingga semua bisa hidup dengan nyaman.

Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat menemukan dengan mudah pelanggaran – pelanggaran hak asasi yang dimiliki kaum perempuan seperti contohnya: kekerasan berbasis gender yaitu kekerasan yang secara spesifik dialami oleh perempuan karena adanya relasi gender yang tidak setara atau bisa dikatakan diskriminasi gender contohnya diskriminasi yang dilakukan di tempat kerja. Juga ada kekerasan seksual contohnya pemerkosaan, perbudakan, pelecehan seksual dan aborsi. Diskriminasi berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender. Dan lain sebagainya pelanggaran hak kaum perempuan.

Segala bentuk perbuatan kekerasan pasti memiliki keterkaitan dengan tindak pidana atau hukum yang mengatur hal tersebut. Untuk tindak pidana kekerasan seksual sendiri diatur dalam undang (Draf DPR 8 Desember tahun 2021 RUU TPKS).  RUU TPKS ini memiliki tujuan perlindungan atau payung hukum yaitu mempidanakan dan merehabilitasi pelaku, lalu menjamin tidak berulangnya kekerasan seksual, serta menangani, melindungi dan memulihkan korban, dan juga mencegah segala bentuk kekerasan seksual, untuk mewujudkan lingkungan tanpa adanya kekerasan.

Dalam kasus kekerasan seksual setidaknya ada 3 hal penting pemenuhan kebutuhan korban kekerasan seksual agar mencapainya akses keadilan. Yang pertama adalah kebutuhan pemenuhan hak korban atas penanganan yang baik, contohnya hak atas penguatan psikologi, hak mendapatkan pendampingan dan bantuan hukum dan lain sebagainya. Lalu kebutuhan pemenuhan hak korban atas perlindungan, dan kebutuhan pemenuhan hak korban atas pemulihan contohnya pemulihan fisik, psikologis, ekonomi.

Oleh karena itu dengan segala cara perlu diupayakan bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan HAM, khususnya Hak Asasi Perempuan di Indonesia. Juga perlu meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dengan memberikan perlindungan hak sasi perempuan secara maksimal.

Nikodemus Thomas Martoredjo