Sehat, Siapa Yang Tentukan
Pendahuluan
Pandemi Covid-19 telah telah meminggirkan peran individu sebagai subyekt atas hidupnya sendiri, pada satu pihak, namun saat yang sama memperkuat peran institusi negara pada pihak yang lainnya. Masyarakat tidak dapat memilih bagaimana ia harus menghadapi Covid-19 bagi diri sendiri. Sementara itu, negara menjadi institusi determinan yang mewajibkan semua warga negara untuk mengikuti protocol kesehatan yang satu-satunya ditentukan oleh negara dalam hal ini diwakili oleh pemerintah.
Dalam hal ini, negara satu-satunya institusi yang tidak hanya memiliki kekuasaan dan wewenang untuk mengatur kehidupan warga negara selama masa pandemic Covid-19. Tetapi juga menjadi institusi yang paling diakui memiliki pengetahuan yang paling kredibel tentang Covid-19. Oleh karena negara merupakan institusi yang paling kredibel, maka hanya negara yang dapat menentukan cara bagaimana warga negara harus berperilaku dalam menghadapi Covid-19.
Proposal ini tentu tidak hendak mendegradasi peran dominan negara terhadap warga negara dalam menghadapi Covid-19. Point utama yang mau diajukan dalam proposal kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat ini adalah bahwa tidak cukup negara sebagai satu-satunya institusi determinan yang menentukan bagaimana setiap individu berhadapan dengan Covid-19. Individu dalam konteks ini, harus diperan yang luas untuk menentukan bagaimana ia harus berperilaku dalam menghadapi Covid-19.
Tesis utama dalam kegiatan ini adalah bahwa negara pada prinsipnya memperlakukan setiap individu secara sama. Seolah-olah setiap individu memiliki kondisi yang sama. Padahal, dalam kenyataannya, setiap individu adalah pribadi yang unik. Keunikan ini tidak hanya berkaitan dengan karakternya, tetapi juga potensi tubuh materialnya.
Dalam konteks itu, institusi yang paling paham dan memiliki pengalaman terhadap tubuh adalah subyek itu sendiri. Itu berarti, subyek adalah actor utama yang harus menentukan bagaimana ia menghadapi pandemic Covid-19. Individu memiliki peran dan kemampuan berdasarkan pengalaman interaksinya dengan tubuhnya sendiri untuk menentukan bagaimana ia merespon setiap gejala kesehatan pada tubuhnya sendiri.
Permasalahan
Permasalahan utama yang menjadi focus utama dari kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat ini adalah bahwa selama pandemic Covid-19, individu melupakan posisinya sebagai subyek yang menentukan untuk meningkatkan kualitas kesehatannya sendiri untuk dapat beradaptasi menghadapi covid-19.
Kerangka Konseptual
Menurut Parson (dalam Turner, 1998), sebuah tindakan sosial selalu melibatkan beberapa unit tindakan. Unit-unit tindakan itu terdiri dari: 1) Aktor; seorang aktor adalah subjek individual. 2) Aktor memiliki goal setting. 3) Aktor memiliki berbagai macam alat untuk mencapai goal-nya. 4) Aktor dikonfrotasikan dengan berbagai macam kondisi situasional seperti faktor lingkungan, biologis, dan faktor lain-lain. Faktor-faktor situasional ini turut memengaruhi penentuan goal dan alat-alat yang digunakan untuk mencapai goal. 5) Aktor diatur oleh nilai-nilai, norma-norma, dan berbagai gagasan.
Nilai-nilai, norma-norma, dan berbagai gagasan tersebut sangat memengaruhi penentuan goal dan alat yang dipilih untuk mencapai goal. Dan, 6) tindakan yang melibatkan pembuatan keputusan subjektif tentang alat untuk mencapai goal. Semua ini ditentukan oleh gagasan-gagasan dan kondisi-kondisi situasional. Untuk memperjelas konsepsi Parson mengenai tindakan sosial yang dilakukan oleh seorang aktor, lihat gambar berikut.
Sumber: Gambar 2 Konsepsi Parson tentang Tindak Sosial (Sumber: Turner, 1998: 30)
Dari penjelasan di atas nampak jelas bahwa, Parson melihat goal yang dilakukan oleh seorang aktor dideterminasi oleh dua faktor penting, yakni kebudayaan (sistem nilai, norma, dan berbagai pandangan yang hidup dalam sebuah organisasi) dan kondisi-kondisi yang bersifat situasional. Berdasarkan penjelasan dan skema konseptual yang dikemukakan Parson di atas, maka tujuan yang hendak dicapai oleh seorang actor individu selalu ditempatkan dalam kerangka budaya dan kondisi yang bersifat situasional. Demikian pula instrumen atau alat atau strategi yang digunakan oleh seorang aktor untuk mencapai tujuannya juga dibatasi oleh dua faktor tersebut. Seorang aktor akan memilih sebuah instrumen yang paling efektif untuk mencapai tujuan-tujuannya. Meskipun demikian, instrumen yang digunakan untuk mencapai tujuan selalu diadaptasikan dengan kedua faktor determinan tersebut.
Dalam menetapkan tujuan tindakan dan alat yang akan digunakan untuk mencapai tujuan itu, seorang aktor diorientasikan oleh dua aspek mendasar, yakni aspek motivasional dan nilai. Menurut Parson aspek motivasional terdiri dari tiga komponen, yakni: kognitif yaitu kebutuhan untuk informasi; katetik yaitu kebutuhan untuk dukungan emosional; dan evaluatif merupakan kebutuhan assessment.
Seperti aspek motivasional, aspek nilai juga terdiri dari tiga komponen, yakni: kognitif yaitu kebutuhan untuk evaluasi dengan standar-standar yang obyektif; apresiatif yaitu evaluasi dengan standar-standar estetik; dan moral yaitu evaluasi dengan menggunakan standar-standar mengenai yang benar dan yang salah.
Berdasarkan dua aspek yang mendorong seorang aktor dalam menetapkan tujuan dan memilih alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut, Parson mengemukakan bahwa ada tiga tipe tindakan yang biasa dilakukan oleh seorang actor. Ketiga tipe tindakan tersebut adalah tindakan instrumental, ekspresif, dan moral. Tindakan instrumental diorientasikan untuk merealisasikan tujuan- tujuan yang eksplisit secara efisien. Sedangkan tindakan ekspresif merupakan tindakan yang diarahkan untuk kepuasan-kepuasan emosional. Dan tindakan moral dikonsentrasikan untuk merealisasikan standar-standar tentang kebenaran dan kesalahan. Jenis tindakan yang akan dipilih oleh seorang aktor individual, menurut Parson, sangat tergantung pada aspek orientasi yang lebih kuat: motivasional atau nilai. Sebagai contoh, jika motif kognitif lebih kuat dan nilai kognitif lebih lemah dari motif kognitif, tindakan aktor individu tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan instrumental. Demikian juga sebaliknya, jika suatu tindakan diorientasikan oleh nilai moral, jenis tindakan tersebut bersifat moral. Demikian seterusnya.
Berdasarkan penjelasan Parson tersebut, maka aktor yang menetapkan tujuan hidupnya dan strategi yang digunakannya untuk mencapai tujuan tersebut bukan merupakan seorang individu yang bebas. Sebab, tujuan dan sarana-sarana yang ia tetapkan dan pilih untuk mencapai tujuannya itu mecerminkan pandangan-pandangan, nilai-nilai, dan norma-norma yang yang hidup dalam masyarakat. Di samping itu juga dideterminasi oleh faktor-faktor yang bersifat kondisional.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka artikel yang menjadi dasar bagi kegiatan Pengabdian pada Masyarakat ini berangkat dari asumsi bahwa setiap individu adalah subyek yang dapat menentukan cara bagaimana ia harus hidup sehat dalam beradaptasi terhadap penularan Covid-19.
Menurut Weber (Wallace dan Wolf, 2006: 200), setiap individu memiliki interpretasi terhadap suatu situasi dan individu yang sama memiliki makna subjektif terhadap suatu peristiwa. Dalam kaitan dengan ini, Weber, seperti diulas oleh Perdue (1986: 177), mengemukakan bahwa suatu tindakan sosial selalu terjadi pada dua kondisi yang saling berhubungan satu dengan lain. Pertama, orang memiliki makna subjektif yang berasal dari gagasan-gagasan yang sebelumnya nampak dalam dunia pengalaman mereka. Kedua, sebuah tindakan memiliki makna sosial bila aktor mempertimbangkan perilaku dari orang lain yang ditentukan oleh harapan-harapan mereka. Dengan kata lain, demikian komentar Perdue, pemikiran (thought), kognisi, dan orientasi kepada yang lain merupakan sesuatu yang krusial untuk membentuk perilaku sosial. Lebih tegas dari Weber, Jean- Jacques Rosseau (Perdue, 1986: 157) mengemukakan bahwa “man was born free, and he is everywhere in chains”. Peran individu yang aktif dalam hubungan sosial dapat kita temukan juga dalam pandangan William Isaac Thomas (Wallace dan Wolf, 2006: 202). Thomas terkenal dengan konsepnya mengenai “definition of the situation”. Menurutnya, individu memiliki kekuasaan untuk mengabaikan suatu stimulus yang mereka terima pada saat sebelumnya. Definisi terhadap situasi memiliki konsekuensi behavioral yang penting. Bila seseorang mendefinisikan sesuatu itu riil, maka sesuatu itu riil dalam konsekuensinya. Oleh karena itu, Thomas menegaskan bahwa kita tidak pernah memahami aktivitas manusia, kecuali kita berusaha memahami makna subjektif dan definisi situasi seorang aktor
Sehat Menurut Siapa
Beberapa hari yang lalu ada seorang yang mengirim saya pesan chat. Orang itu memberitahu saya bahwa sekarang ini dia sedang mengikuti autophagy seperti yang dianjurkan. Dia semangat mengikutinya, dan merasakan perubahan yang sangat baik. Pada kesempatan yang pertama, ia sangat bahagia dengan perubahan yang diharapkannya.
Namun, bersamaan dengan itu, bobot tubuhnya berkurang atau menurun. Ia kelihatan kurus. Setiap kali ia pergi ke kantor, ia selalu ditanyanyi oleh rekan-rekan kantornya; apakah ia sehat, atau kamu sakit apa? Hari pertama, saat pertannyaan itu sampai padanya, ia menjawab dengan penuh kegembiraan bahwa ia merasa sangat sehat dan baik. Namun beberapa hari dan minggu kemudian, petannyaan itu terus muncul dari rekan-rekannya. Ia mulai stress, mempertannyakan sikap untuk autophagy; apa benar?
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa masyarakat memiliki standar umum, common sense terhadap kesehatan. Ukuran kesehatan yang paling umum adalah gemuk. Gemuk sehat, dan kurus sakit. Ukuran kesehatan adalah masih bernapas; bukan pada produktivitas relasi (relasi dengan sesama dan alam).
Jadi sehat itu adalah gemuk dan bernapas. Sialnya, sebagai individu yang terdidik sekalipun mudah terjebak dalam pandangan seperti itu. Sampai dalam kondisi seperti itu, kita mendefinisikan sehat itu menurut masyarakat, menurut apa kata orang.Terkait kasus di atas; kepada orang yang mengirim saya chat itu, saya berpesan kalau besok ada lagi yang bertanya, apa kamu sakit? Jawab saja iya saya sakit. Toh sakit juga tidak buruk. Saya masih berinteraksi dengan anda, datang kantor tepat waktu, dan masih dapat menyelesaikan tanggungjawab saya. Nanti mereka akan tahu bahwa sehat adalah soal produktivitas, bukan ukuran tubuh dan soal bernapas.
Sehat Dalam Serikat Konfigurasi Kasih (SKK)
Sehat menurut SKK lebih ditekankan pada hasil interaksi kita dengan diri kita sendiri. Interaksi dengan tubuh dan jiwa kita. Kita adalah agen yang menentukan, agen yang potensial, agen yang mampu berdialog dengan diri kita sendiri, dengan tubuh dan jiwa kita.
Kita dianugerahi kemampuan untuk sadar. Sadar tentang tubuh. Kita sadar apa yang sedang dialami ditubuh kita. Kita merasakan denyut jantung kita, aliran darah, apa yang terjadi pada lambung kita saat menelan sesuatu, apa yang terjadi pada genggorakan kita, dan lidah kita, dstnya. Kita juga bahkan sadar terhadap dinamikan jiwa kita; senang, marah, stess dan lain sebagainya. Dalam kesadaran itu, seolah-olah dalam satu diri (self) ada tiga entitas; tubuh, jiwa dan saya (?).
Saya Adalah Pencipta
Pencipta dalam huruf “p” kecil. Kita mencipta situasi kita sendiri. Kita yang menciptakan realitas kehidupan kita. Kita juga dapat menciptakan lingkungan hidup kita sendiri. Lingkungan di mana orang lain dapat belajar dari hidup kita. Untuk soal ini; ada tiga hal yang perlu menurut saya kita miliki (1) kesabaran, (2) keberanian, (kepercayaan).
Dasar dari ketiga hal ini adalah relasi yang baik dengan diri kita sendiri. Relasi yang intens, dan intim membuat kita dapat menyadari dengan sangat baik siapa kita sebenarnya. Dan bukan tidak mungkin, sampai pada tingkat tertentu dapat melihat Allah yang bertahta dalam diri kita.