Harga Karya Cipta Orang Lain

Oleh: Hari Sriyanto

Kemajuan teknologi telah memudahkan kita dalam melakukan berbagai hal, termasuk juga dalam proses belajar – mengajar. Hadirnya internet memudahkan kita mencari jawaban-jawaban atas soal-soal (pertanyaan-pertanyaan perkuliahan). Tak membutuhkan waktu yang lama untuk copy paste jawaban yang kita butuhkan dari internet.

Menyikapi hal tersebut, saya selalu mengingatkan kepada mahasiswa saya, mengenai etika saat kita meng-copy paste jawaban dari internet. Saya tegaskan saat melakukan copy paste dari internet  harus mencantumkan sumber website yang diambil. Langkah ini harus dilakukan sebagai bentuk menghargai karya cipta orang lain. Saya katakan, mencantumkan sumber jawaban tersebut, tidak hanya untuk mata kuliah yang saya ajar ; Charracter Building, tetapi berlaku untuk semua mata kuliah, bahkan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari.

Saya contohkan, seringkali kita  melihat tayangan di televisi yang mencantumkan sebuah logo di pojok layar televisi, saat televisi tersebut mengambil gambar dari sumber lain. Ex : Youtube. Peringatan saya kepada mahasiswa  tersebut, dengan mempertimbangan berbagai hal. Selain sebagai bentuk menghargai karya cipta orang lain, juga sebagai salah satu cara membiasakan mahasiswa agar tidak menjadi generasi plagiat atau pelanggar hak Cipta. Melanggar hak cipta, bisa diibaratkan melakukan pencurian milik orang lain.

Pelanggaran hak cipta berarti melanggar hak moral dan hak ekonomi pencipta. Terdapat banyak kegiatan yang termasuk ke dalam kategori pelanggaran suatu hak cipta, beberapa diantaranya mengutip karya tulis seseorang ke dalam karya ciptaannya sendiri, atau dikenal dengan plagiarism, mengambil gambar atau video ciptaan orang lain untuk dicantumkan dan dimodifikasi dalam karya ciptaannya sendiri, memperbanyak karya ciptaan orang lain tanpa izin dan digunakan untuk kepentingan komersial serta kegiatan lainnya.

Indonesia pernah mendapat julukan sebagai salah satu negara pembajak Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) “terbaik” di dunia. Dalam berbagai kasus, Indonesia dikenal sebagai negara yang banyak mengambil karya orang lain tanpa ijin. Dari waktu ke waktu, orang Indonesia melakukan pembajakan atas karya orang lain, untuk berbagai tujuan, termasuk tujuan komersiil. Saya masih ingat, tahun 1985 musisi Inggris Bob Geldof yang menginisiasi konser LIVE AID untuk menggalang dana bagi Ethiopia yang dilanda kelaparan, marah besar terhadap Indonesia. Kemarahan Geldof muncul karena hasil konser amal tersebut di-copy ke dalam kaset tanpa ijin (dibajak), oleh pelaku industri musik di Indonesia. Kaset bajakan tersebut tidak hanya diedarkan di Indonesia tetapi juga di beberapa negara di Asia.

Pembajakan atas karya seni dari negara lain, semakin marak di era 90-an hingga awal 2000-an, saat Compact Disc (CD) sedang digandrungi masyarakat. Kala itu, kita dengan mudah menjumpai penjual CD atau VCD bajakan di pinggir-pinggir jalan, menjajakan barang bajakan tersebut dengan harga murah. Hal itulah memunculkan stigma bahwa Indonesia merupakan negara yang suka membajak karya bangsa lain.

Julukan negatif terhadap Indonesia terkait pembajakan dan pelanggaran hak cipta, harus segera dihentikan. Bagaimana caranya ? Ada banyak hal yang bisa dilakukan, yang utama adalah menyadarkan masyarakat untuk menghargai karya orang lain. Memberi kesadaran masyarakat ini bisa melalui jalur formal dan non formal, ataupun melalui pesan-pesan di berbagai media. Masyarakat harus sadar bahwa mengambil karya orang lain tanpa seijin si pencipta, merupakan bentuk pencurian yang melanggar norma agama dan hukum. Apabila kesadaran masyarakat mulai tumbuh, dengan sendirinya mereka tidak lagi melakukan perbuatan yang merugikan orang lain tersebut.

Selain itu, yang tak kalah pentingnya adalah penegakkan hukum terhadap pihak-pihak yang melakukan plagiat atau membajak karya pihak lain. Kita memiliki Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU HC). Dalam Undang-undang tersebut diatur tentang apa itu hak karya cipta, dan bagaimana hak cipta harus  dihargai, serta bagaimana sanksi yang diberikan kepada pelanggarnya. Sanksi pidana yang memberatkan pelaku pelanggaran akan bisa memberikan efek jera.

Secara pribadi, saya  percaya, warga bangsa yang mengaku pancasilais ini anti pembajakan, anti pelanggaran hak cipta. Membajak karya orang lain memang mudah dan menguntungkan,  tapi bagaimana bila posisi kita berada di pihak yang dirugikan ? Bagaimana kalau karya cipta kita, diambil orang tanpa meminta ijin kita ? Karya cipta kita disalahgunakan untuk tujuan tertentu ? Pastilah kita tidak rela, dan bisa jadi akan membuat kita kendor atau patah semangat untuk berkarya.

Untuk itu mari kita hargai karya orang lain, apapun bentuknya. Bila kita mengambil karya orang lain harus meminta ijin kepada penciptanya, atau setidaknya mencantumkan nama si penciptanya. Bila tidak meminta ijin, itu berarti kita melakukan pencurian. Menghargai karya orang lain merupakan cara etis yang harus kita lakukan. Mari kita mulai dari diri kita sendiri. Bila masing-masing dari kita tidak lagi melakukan plagiat ataupun membajak karya cipya orang lain, setidaknya bisa menghilangkan stigma negatif bangsa Indonesia sebagai  bangsa pembajak. (Hari Sriyanto / D2715)

Hari Sriyanto