Keadilan Sosial Feminisme
Oleh: Abby Gina
Keadilan adalah tema yang menarik dan sering dibincang secara lintas disiplin. Isu keadilan telah menjadi ide yang diperiksa sejak jaman Yunani kuno hingga sekarang. Berbagai filsuf mencoba menarasikan apa itu keadilan dengan mengontekstualisasikannya dalam kehidupan bernegara, komunitas atau dalam relasi interpersonal. Dalam perkembangan ribuan tahun, telah banyak narasi tentang keadilan. Pendekatan universalisme percaya bahwa keadilan dibangun dengan berpegang pada pemenuhan hak individu, penghargaan moral setara bagi setiap orang dan penghargaan timbal balik bagi setiap orang. Keadilan dilandaskan pada isu kesetaraan atau kesamaan. Sementara pendekatan lain yakni dari keadilan yang diusung pemikir moral partikularisme melihat bahwa keadilan perlu dinarasikan dengan mengacu pada nilai, pemahaman dan kesepakatan yang berlaku di suatu komunitas. Dengan demikian daripada mengutamakan keadilan universal, aliran pemikiran ini justru menawarkan konsep keadilan yang mengakomodasi pengalaman dan aspirasi komunitas yang bisa jadi berbeda satu dengan lainnya.
Menariknya, dari berbagai teori arus utama yang membincang soal keadilan, pengalaman dan kepentingan perempuan kerap luput atau tidak berbunyi dalam teoresasi keadilan. Idealnya ide keadilan dimulai dari perbincangan konkret tentang situasi-situasi yang tidak adil. Inilah yang menjadi landasan perbincangan keadilan yang berpusat pada distribusi hak, kepemilikan properti, jaminan agar hak individu tidak direnggut secara sewenang-wenang oleh orang lain dan/atau negara dan berbagai isu lainnya. Tetapi isu-isu ketidakadilan yang kerap terjadi pada perempuan kerap dianggap bukan basis pengetahuan tentang keadilan.
Para pemikir feminisme percaya bahwa karena jenis kelamin dan gendernya, sejak awal perempuan tidak dilibatkan dan diakui sebagai warga negara seutuhnya. Karena tersingkirnya perempuan dari percakapan moral tentang keadilan, konsekuensinya adalah tersingkir pula lah pengetahuan dan aspirasi perempuan dalam produk-produk legal yang dihasilkan dalam kehidupan kewarganegaraan. Pengalaman ketidakadilan dan diskriminasi sering dipandang sebagai pengalaman yang tidak valid dan berada di luar domain perbincangan keadilan yang bersifat publik (Gina 2021). Isu ketidakdailan terhadap perempuan kerap dimasukkan dalam domain privat sehingga tidak perlu diatur dalam regulasi.
Cara pandang yang bias inilah yang menjadi landasan sulitnya berbagai proses legalisasi kebijakan yang mengangkat isu kesetaraan gender. Sebagai contohnya sulit dan peliknya proses pengesahan RUU Pencegahan Tindak Pindana Kekerasan Seksual terhadap Perempuan. Isu ini adalah isu ketidakadilan terhadap tubuh perempuan. Landasan pengajuannya adalah pengetahuan tersituasi atau pengalaman konkret perempuan di ranah privat atau publik, tapi hingga saat ini RUU tersebut belum kunjung disahkan. Produk hukum yang lekat dengan pengalaman perempuan menjadi sebuah terobosan hukum yang penting untuk merespons proses peradilan yang tidak adil bagi korban. Mengapa? Sebab dalam sistem hukum yang ada saat ini, persoalan kekerasan seksual khususnya dinarasikan dari perspektif dan pengalaman para pembuat hukum yang tidak sensitif gender. Inilah mengapa perempuan korban kekerasan seksual menjadi sulit untuk memproses kasusnya apalagi mendapatkan keadilan.
Pengesahan RUU Pencegahan Tindak Pindana Kekerasan Seksual menjadi penting untuk disahkan demi penegakkan keadilan dalam kehidupan kewarganegaraan. Sebab jika tidak kunjung disahkan maka akan semakin banyak angka kekerasan seksual yang terjadi dan tidak terproses sebagaimana mestinya. Sebaliknya jika produk hukum tersebut dilegalisasi, korban akan memiliki payung hukum yang jelas untuk memproses berbagai kasus kekerasan seksual yang selama ini tidak bernama dan tidak dikenali oleh produk hukum yang ada sebelumnya.
Bicara tentang keadilan dan pemenuhan hak sebagai manusia dan warga negara, kita tahu bahwa dalam HAM, setiap orang berhak untuk hidup bebas kekerasan dan diskriminasi. Amanat konstitusi dan Pancasila juga menunjukkan bahwa dalam kemanusiaan adil beradab merujuk bahwa tidak sepantasnya siapa pun mengalami kekerasan dan diskriminasi. Namun ironisnya isu ketidakadilan gender dalam kasus kekerasan seksual kerap masih dianggap persoalan moralitas belaka dan bukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam perspektif feminisme, pengesahan terhadap RUU TPKS ini menjadi sangat penting. Mengapa? Sebab dengan adanya regulasi hukum, negara telah menciptakan alat untuk mendorong transformasi sosial ke arah berkeadilan gender, menghadirkan kesadaran atas penghargaan integritas tubuh manusia termasuk perempuan dan penghargaan atas perbedaan. (Abby Gina)