Internet dan Keadilan Gender
Oleh: Abby Gina
Dalam berapa dekade terakhir perkembangan internet sangat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia. Sejumlah pemikir menyatakan optimisme terhadap kemajuan tersebut, seperti misalnya adanya perbaikan dalam sistem demokrasi, meningkatkan inklusifitas di masyarakat, keterlibatan publik secara luas dalam kehidupan politik, dan membuka kesempatan perbaikan ekonomi bagi berbagai kelompok rentan. Perkembangan internet diharapkan mampu mendorong transformasi bagi kelompok yang terpinggirkan, salah satunya adalah kelompok perempuan. Menurut Gajjala (1998) berbagai aliran pemikiran dalam teori feminisme meyakini bahwa teknologi adalah salah satu potensi besar untuk memberdayakan perempuan. Namun demikian optimisme tersebut tidak serta-merta terjadi. Sebab sejumlah penelitian di tingkat global dan nasional menunjukkan bahwa terjadi ketimpangan gender dalam akses dan pemanfaatan internet, termasuk salah satunya di Indonesia.
Data Susenas (2019), menunjukkan bahwa dalam 4 tahun terakhir yaitu dari tahun 2016 hingga 2019, jumlah pengguna internet perempuan baik di perkotaan maupun di perdesaan jumlahnya lebih rendah dari pada laki-laki. Data tersebut menunjukkan bahwa perkembangan internet bukanlah suatu yang bebas nilai atau netral, ternyata ada hambatan-hambatan tertentu yang menyebabkan perempuan belum dapat mengakses dan menikmati kemajuan internet secara optimal.
Sejumlah data menunjukkan bahwa internet memberikan kesempatan untuk pemberdayaan produktif, sepertinya ada dan menguatnya UMKM, peningkatan partisipasi politik, adanya bidang-bidang profesi baru dan lainnya. Riset World Web Foundation (2020) menyatakan bahwa meskipun kemajuan internet telah membuka peluang kemajuan ekonomi, pemberdayaan sosial dan meretas sejumlah batas demografi yang selama ini menjadi penghalang konektivitas dan akses informasi bagi miliaran orang. Manfaat internet belum sepenuhnya menyentuh dan memberdayakan kelompok yang terpinggirkan. Masih menurut riset yang sama, di banyak komunitas, perempuan 50% lebih sedikit kemungkinannya untuk daring dari laki-laki. Perempuan 30-50% lebih rendah kemungkinannya untuk menggunakan internet untuk pemberdayaan ekonomi juga politik.
Sejumlah sarjana feminisme, salah satunya adalah Wajcman (2004) percaya bahwa perempuan mengalami ketimpangan gender dalam teknologi digital. Dimensi gender di dalam teknologi adalah salah satu aspek yang perlu diperiksa. Hal-hal yang perlu diperiksa antara lain: Kesenjangan gender dalam akses TIK; Norma sosial-budaya sebagai penghambat keterlibatan perempuan di era revolusi digital; Bias dan limitasi yang inheren di dalam masyarakat pada sistem pendidikan membatasi kesempatan perempuan untuk memperoleh manfaat dari transformasi digital dan Representasi perempuan dalam kebijakan terkait TIK (Wajcman 2004).
Ada sejumlah tantangan atau aspek ketimpangan akses internet yang harus dikenali. Menurut Van Dijk (2005) tantangannya antara lain yaitu aspek mental, aspek material, aspek keterampilan yang dipengaruhi lewat literasi digital dan aspek pada penggunaan internet secara bermakna atau transformatif. Seluruh tantangan ini tentu bersifat kontekstual dan dapat dirasakan berbeda pada tiap kelompok. Tantangan pada aspek mental dan material seperti halnya rasa inferior terhadap internet dan tidak memiliki perangkat cenderung dialami oleh kelompok di wilayah perdesaan atau oleh kelompok dengan ekonomi rendah, sementara hambatan pada aspek keterampilan dan pengguanaan transformatif dialami oleh cukup banyak orang yang sudah mengenal dan mengakses sehari-hari.
Tantangan pada aspek literasi digital perlu direspons secara serius, sebab saat ini hampir semua praktik kehidupan dilakukan secara daring. Tanpa bekal yang memadai perempuan menjadi rentan terhadap berbagai kejahatan cyber berbasis gender, keamanan data pribadi tidak terproteksi dan sejumlah isu lainnya. Literasi digital yang baik bagi perempuan sangat diperlukan sebagai landasan untuk beraktivitas di ruang digital secara aman. Isu ini penting dan mendesak namun sayangnya masih sering terabaikan. Buktinya, sejumlah data temuan safeNET menunjukkan bahwa perempuan kerap menjadi target kekerasan seksual berbasis online. Bentuk kejahatan siber ini antara lain penyebaran data pribadi korban, penyebaran konten seperti foto/video pribadi untuk tujuan balas dendam atau pemerasan dari pasangan atau mantan pasangan.
Ketidakamanan dalam dunia digital kerap menghambat partisipasi bermakna dari perempuan. Kecemasan dan ketiadaan ruang aman membuat perempuan tidak dapat berpartisipasi secara utuh dalam kehidupan digital. Maka tantangan-tantangan ini perlu dikenali dan diintervensi. Sebab menurut para sarjana femninisme, ketimpangan gender digital adalah perpanjangan dari ketimpangan di dunia luring, ketika keduanya tidak direspons secara bersamaan maka cita-cita bahwa kemajuan digital akan mendorong masyarakat yang berkesetaraan gender dan partisipasi inklusif dalam demokrasi akan menjadi utopi belaka.
Maka setiap kita punya tanggung jawab setidaknya mengedukasi diri kita sendiri tentang manfaat, tantangan dan penerapan internet secara trasnformatif. Artinya seluruh optimisme terhadap kemajuan digital bisa dicapai ketika perempuan memiliki akses setara, memiliki keterampilan digital yang baik dan kesadaran juga tujuan untuk menggunakan pengetahuan tersebut untuk menjadi semakin berdaya. Misalnya menjadi berdaya dalam pengetahuan, dalam ekonomi, partisipasi publik dan lainnya. Kesetaraan dalam internet menjadi isu penting yang perlu kita respons bersama. Sebab hak atas internet saat ini telah menjadi salah satu aspek pemenuhan HAM. Dalam konteks kehidupan kewarganegaraan di Indonesia, keadilan dan kesetaraan dalam internet juga menjadi apa yang dicita-citakan konstitusi dan target capaian SDGs (Abby Gina)