Hidup di tengah Covid 19
Oleh: Dr. Andy Gunardi
Tidak terasa Covid 19 sudah hadir di Indonesia selama dua tahun. Pada awal mula peristiwa Depok, yaitu penamaan pertama kali virus ini menginfeksi orang Indonesia sangat “menghebohkan”. Orang-orang menganggap mereka sebagai penderita penyakit menular dan mematikan serta perlu dikucilkan. Berita ini tersiar ke seluruh tanah air menjadi momok yang menakutkan. Setia pada yang terkena virus ini, mereka bukan hanya harus melawan virus itu, melainkan juga menghadapi tekanan sosial yang menyertainya.
Pada putaran kedua, penyakit ini semakin mewabah dan jutaan orang sudah terkena olehnya. Sikap orang menjadi berubah, yaitu tidak lagi mengucilkan orang yang terkena melainkan menjadi biawa untuk mendengar kerabat atau kenalan terkena Covid 19 dan menyadari perlunya karantina. Perekonomian juga berdampak besar bagi masyarakat. Banyak orang yang mengalami dampak, berjuang dengan cara-cara baru untuk bertahan hidup.
Saat ini gelombang ketiga sudah melanda Indonesia. Kita sudah mendengar orang yang kita kenal dan mungkin saudara yang terserang virus ini. Di gelombang ketiga ini, virus Covid dikabarkan tidak seganas gelombang kedua, yaitu varian delta, sehingga Ketika mendengar sahabat atau kerabat terkena virus ini menjadi tidak terlalu “was was”.
Dalam permenungan mengenai peristiwa yang terjadi, kita dapat melihat dalam perspektif individu terhadap lingkungan yang ada di sekitar kita. Karena memang manusia melihat dan mengambil makna berdasarkan referensi dirinya sendiri yang akan diolah menjadi pengetahuan.
Pada saat awal ketakutan dialami oleh diri kita, karena ada sesuatu yang sama sekali baru dan pemberitaan mengenainya masih belum pasti, terlebih virus ini belum ditemukan obatnya. Berita ini semakin menakutkan Ketika melihat media yang beredar dan tidak diketahui sumber kebenarannya mengenai orang-orang yang terkena virus dan tiba-tiba meninggal di jalan, serta pemberitaan lainnya. Pada saat itu kita dikuasai oleh ketakutan di mana sebagai pribadi manusia tidak mampu untuk mengontrol situasi yang ada. Hal ini seperti seseorang yang dinarasikan adanya hantu di malam hari Ketika melewati kuburan jeruk purut. Pada saat melewatinya kita dikuasai oleh narasi itu dan membuat diri kita ketakutan.
Hal yang terlupakan di dalam situasi yang demikian adalah adanya keberadaan Tuhan yang mengatasi segala sesuatu di alam semesta. Kita mengalami absen kehadiran Tuhan saat itu sehingga ketakutan menguasai diri kita. Mengenai ini kita teringat pemimpin Gereja Katolik, yaitu Paus Fransiskus berkeliling vatikan sambil membawa monstran (yang berisikan hosti dan dipercaya sebagai kehadiran Kristus di dunia). Ia mengatakan kata-kata yang menenangkan, yaitu jangan takut. Makna implisit yang ada di dalamnya adalah jangan sampai ketakutan menguasai kita, karena ada Tuhan di sini.
Sebagai orang beriman, kita merefleksikan bahwa peristiwa penurunan kualitas mematikan dari Covid 19 merupakan karyaNya yang diberikan kepada manusia. Melalui peristiwa penyebaran virus ini kita diingatkan hal yang kadangkala terlupakan bagi manusia yang mulai mapan dalam hidupnya, yaitu kematian. Hidup tidak akan selamanya, oleh karena itu kualitas hidup dan kepercayaan menjadi penting.
Berangkat dari peristiwa ini kita dapat mengatakan bahwa dalam masa Covid 19 ini kita tidak perlu takut berlebihan, karena ada Tuhan di sini. Yang kedua peristiwa covid 19 membuat kita menyadari bahwa ada kematian, sehingga kita diingatkan untuk Kembali kejalanNya dan mendengarkan serta melakukan perintahNya sebagai bagian untuk mendapatkan keselamatan abadi pasca kehidupan di dunia. Salam sehat