Epifani – Penampakan Tuhan (Menghadirkan Tuhan dalam hidup kita)
Oleh: Dr. Arcadius Benawa
Dalam tradisi agama Katolik pada hari Minggu setelah hari raya Natal dirayakan hari raya Epifani atau dikenal juga hari raya tiga raja dari Timur yang datang untuk menyembah Sang Bayi Penyelamat yang lahir di kendang hewan di Betlehem. Ketiga raja itu dikenal dengan nama Melkior, Baltasar, dan Caspar. Selain itu yang diingat pula adalah persembahan yang dibawa oleh ketiga raja dari Timur itu yakni mur, emas, dan kemenyan. Semua yang dikisahkan dalam perayaan datangnya ketiga raja dari Timur itu sarat dengan makna.
Pertama, ketiga raja yang dalam tradisi lain juga sering disebut tiga sarjana itu menunjukkan bahwa mereka adalah kalangan elit, karena kekuasaannya ataupun karena kepandaiannya. Artinya bahwa dari kalangan elit pun Sang Bayi Penyelamat menjadi dambaan bila yang bersangkutan membiarkan dirinya dibimbing oleh Bintang Terang sebagai simbol Cahaya Ilahi.
Kedua, dalam proses membiarkan diri dibimbing oleh cahaya ilahi untuk menemukan Sang Juru Selamat, layaknya sebagai penguasa ataupun kaum cendekia tergoda untuk lebih mengandalkan perhitungan manusiawi. Untuk itulah mereka menggunakan jalur kekuasaan ataupun akses intelektual. Ketiga raja menghadap Raja Herodes yang memiliki para ahli yang bisa menjelaskan makna atas suatu peristiwa. Dengan demikian Allah juga tidak mentabukan jalan-jalan manusiawi untuk menghantar umat ciptaan-Nya untuk sampai pada-Nya.
Ketiga, persembahan mur, kemenyan, dan emas sebagai simbol bahwa ketiga raja itu berkenan menghaturkan Kesehatan jasmani, rohani, dan kejayaan serta kekayaan materinya bagi Sang Penyelamat. Artinya, tidak ada masalah kita mengupayakan Kesehatan, melakukan olah rohani ataupun perbadatan serta limpah materi ataupun kekuasaan, yang penting terdedikasi sebagai persembahan bagi Yang ilahi.
Ketiga makna itu secara signifikan dihayati oleh Santa Theresia Benedicta Felicita, OCD yang semula adalah filosof ateis yang dikenal bernama Edith Stein. Ia sebagai filosof ateis memandang bahwa Allah itu layak ditolak karena tidak masuk akal dan tidak bisa diindera oleh pancaindera. Paradigma dan keyakinannya itu berubah saat ia berjumpa dengan teman karibnya yang demikian tabah menyertai suaminya yang lumpuh karena stroke selama lebih dari sepuluh tahun. Edith Stein bertanya dalam kekaguman atas ketabahan, kesabaran, dan cinta kasih sahabat karibnya itu. “Kekuatan apa dan dari mana kamu peroleh sehingga kamu bisa setabah itu melayani suamimu selama sepuluh tahun lebih? Sahabat karibnya menjawab, “Dia yang tersalib itulah yang menguatkanku untuk memikul salibku ini!” Dan bagi Edith Stein jawaban sahabat karibnya itu bukanlah kata-kata saleh semata, tetapi nyata dihayati. Sejak ia melihat ketabahan ilahi dalam diri sahabat karibnya itulah Edith Stein bergolak hati dan kesadarannya. Bahwa sungguh ada daya ilahi itu sehingga manusia yang rapuh ini mampu menanggung beban yang sebetulnya tak tertanggungkan secara manusiawi. Sejak itu Edith Stein berkomitmen untuk menemukan daya dan cahaya ilahi itu, sehingga akhirnya ia pun mendedikasikan dirinya dalam biara Karmel dengan nama Suster Theresia Benedicta Felicita a Cruce.
Semoga kita pun membiarkan diri dibimbing oleh Cahaya Ilahi untuk siap sedia juga mempersembahkan mur, kemenyan, dan emas kita demi keselamatan umat manusia sebagaimana diteladankan Sang Kanak-kanak Yesus yang rela hadir dalam kehinapapaan demi keselamatan segenap umat manusia. Karena dengan demikianlah kita menjadi epifani of God, penampakan diri Allah pada manusia, ciptaan-Nya.