Dari Formalisme Agama Menuju Sikap Toleran

Formalisme agama dapat dikatakan sebagai suatu penghayatan pola keagamaan yang hanya berhenti pada aspek legalistik formalnya, namun tidak sampai menyentuh aspek substansi atau isi dan makna yang sejati serta hakikat yang sesungguhnya dari beragama itu. Para formalis agama, dalam praktiknya, hanya beragama secara buta, tidak refleksif, tidak kritis dan tidak cukup inklusif atau toleran terhadap kelompok lain di luar itu.

Ukuran yang dipakai untuk menilai dirinya maupun orang lain terletak pada dogma, ajaran, aturan, norma dan hukum tertulis yang ketat dan kaku. Mereka sering kali gampang menilai orang lain buruk dan negatif serta curiga pada orang lain di luar kelompoknya. Akibatnya, mereka mengabaikan nilai-nilai mendasar dan penting dalam kehidupan bersama dalam kondisi harmonis dan selaras. Penganut formalis agama dalam hidupnya dapat saja merendahkan dan mensubordinasi kelompok lain yang melakukan hal-hal baik lain di luar aturan dan norma. Mereka sering kali abai terhadap relasi intersubjektivitas yang mengandung nilai-nilai humanis, pluralis, toleran dan inklusif.

Kaum formalis agama sering kali juga dapat saja mengklaim diri berposisi lebih tinggi dari pada orang atau kelompok lain di luar mereka secara rohani. Muncul kesombongan rohani/religius dalam diri mereka karena hampir seluruh totalitas praksis harian mereka dipenuhi dengan unsur penggunaan simbolisme agama sebagai titik tumpu dan kriteria penilaian moral. Mereka menggunakan simbol-simbol agama hampir di semua ruang kehidupan mereka, termasuk di ruang-ruang publik eksistensi mereka. Mereka dapat saja bersikap munafik dalam hidup beragama. Penggunaan simbol itu hanya sebatas formal saja (agar terlihat baik), namun tidak sungguh bermakna dalam kehidupan internal batiniah mereka. Terjadi pendangkalan rohani, karena bukan nilai substansi yang mereka kejar, tetapi nilai artifisial, aksidental, popularitas dan egoisme diri yang diutamakan.

Umumnya mereka tidak peduli pada sesama, kurang solider, kurang berbagi, kurang berempati, kurang berpraksis untuk membangun kehidupan nyata dan peningkatan kualitas kehidupan manusia secara komprehensif. Mereka gampang melakukan pengadilan sosial dan pengadilan moral kepada orang lain dengan ukuran dan kriteria formalis itu. Akibatnya mereka dapat saja mudah berkonflik atau berseteru dengan kelompok yang berbeda pandangan.

Orang yang formalis juga sering tidak kritis dalam beragama. Karena hanya norma dan aturan yang dijadikan patokan hidup, maka mereka seolah taat buta dan malas berpilkir, kurang refleksif dan hanya menunjukkan ketaatan buta terhadap aturan, simbol dan ajaran agama tanpa bersikap rasional apalagi bersikap kritis atas agama dan imannya. Mereka bisa saja atas nama norma/hukum agama melakukan tindakan kekerasan pada kelompok lain di luar mereka. Akibatnya terjadi pendangkalan dalam praktik agama yang dihayatinya. Formalis beragama berpikiran tertutup, eksklusif, kurang toleran dan cenderung monoperspektif dalam mengevaluasi diri mereka maupun orang lain.

Sikap formalisme itu di satu sisi baik, karena menunjukkan kedisiplinan dan ketaatan pada norma agama secara konsisten. Namun seharusnya tidak berhenti sampai di tahap ini saja. Orang yang beragama dan beriman das sollen (seharusnya) merefleksikan dan mengolah dunia batinnya agar kehidupan rohani/religiusnya dipenuhi dengan kekayaan nilai religius yang substantif yakni menjalin relasi yang seimbang dengan Tuhan, sesama manusia, alam dan dirinya sendiri serta menunjukkan sikap/tindakan bertanggun jawab untuk menciptakan situasi kerukunan, persaudaraan, perdamaian dengan semua orang apapun agama, suku dan etnisnya dalam realitas sosialnya.

Oleh karena itu sudah seyogyanya orang beragama bertolak lebih ke dalam lagi untuk mengolah kehidupan religiusnya, tidak hanya sebatas tahap formalis saja, tetapi jauh menyentuh aspek yang lebih dalam dan lebih bermakna positif-konstruktif bagi kehidupan, kemanusiaan dan peradaban. Ia melampaui yang formalis dan menjangkau yang substansif. Ia melampaui norma menuju nilai yang hakiki dan bermakna. Ia lebih toleran, inklusif dan solider dengan sesama dalam seluruh dinamika kehidupannya. Beranilah berlangkah keluar dari ketertutupan rumah formalisme menuju keterbukaan lapangan toleransi.

Frederikus Fios